Bagikan:

JAKARTA - Penjajahan Belanda banyak mudarat bagi kaum bumiputra. Kekayaan bumi Nusantara diambilnya. Sedang kaum bumiputra diperas bak sapi perah. Kondisi itu diperparah dengan Belanda mengkategorikan kaum bumiputra sebagai rakyat kelas tiga di Hindia-Belanda. Alias statusnya disamakan bak hewan peliharaan. Ketidakadilan Belanda membuat kaum bumiputra banyak menggelorakan pemberontakan. Bukan dengan senjata api. Kaum bumiputra memilih golok sebagai simbol perlawanan.

Satu-satunya yang dipikirkan oleh penjajah Belanda akan bumi Nusantara melulu keuntungan. Nasib kaum bumiputra sendiri dianggap nomor kesekian. Perihal itu tak penting-penting amat bagi mereka. Lagi pula, mereka menganggap dengan memberikan sebagian keuntungan kepada pejabat dari kalangan bumiputra sudah lebih dari cukup. Mereka yang menerima bulir-bulir keuntungan dari penjajahan antara lain, bupati, demang, kepala desa, dan lain sebagainya.

Mereka ditugaskan oleh Belanda untuk menarik pajak atau upeti. Dengan kata lain, mereka ikut menindas bangsa sendiri. Mereka hidup foya-foya. Sedang rakyat terpaksa berada dalam kubangan kesedihan dari penindasan. Hasil panen kaum bumiputra banyak diambil olehnya. Sebaliknya, pajak semakin ditinggikan.

Golok pada awalnya adalah alat kerja yang digunakan para petani di Nusantara. (WIKIMEDIA COMMONS)

Perlakuan semena-mena itu acap kali membuat kaum bumiputra sakit hati. Terutama kaum ulama yang pernah menimbah ilmu di Makkah. Bekal pemahaman pan-Islamisme yang anti imprealisme dan kolonialisme dijadikan ajian untuk melawan.

Mereka segera mengumpulkan jelata yang terkena imbas kebijakan Belanda. Perlawanan terhadap Belanda dianggap sebagai harga mati. Sekalipun secara segi persenjataan kurang unggul. Mereka memilih terus berjuang walau kalah. Narasi kekalahan itu lebih terhormat dibanding harus tunduk kepada Belanda.

“Dalam semua kasus, para pemimpin dan pengobarnya adalah haji. Pemberontakan itu dilhami oleh Islam dan dipimpin oleh Islam. Tim-tim yang masing-masing terdiri atas 40 orang diseleksi. Sumpah-sumpah dituntut dan dilakukan, dengan semua peserta dengan sungguh-sungguh sepakat, secara tertulis, untuk melakukan pembunuhan. Para pejuang dipilih, yang ahli dalam teknik-teknik pencak-seni bela diri Hindia Belanda.”

“Dan bersenjatakan pedang dan tombak serta pisau bengkok tajam mengerikan yang disebut golok, yang semuanya baru dan dibuat oleh para pengrajin logam yang bersimpati di Batavia. Jubah-jubah putih dan sorban-sorban putih dibuat dan dikumpulkan untuk para pejuang. Daftar-daftar target diseleksi-semuanya orang Eropa, semuanya kafir,” ungkap Simon Winchester dalam buku Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883 (2006).

Golok Alat Melawan

Kasus pungutan pajak yang semena-mena banyak memunculkan gelora perlawan dan pemberontakan terhadap Belanda. Pemberontakan acap kali digelorakan oleh pemuka agama Islam. Pun ada keunikan dalam tiap pemberontakan. Mereka yang melawan tak menjadikan senjata api sebagai senjata utama. Mereka justru memilih golok untuk berjuang. Karenanya, golok jadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap penjajah.

Pada pemberontakan di Tambun (1869) dan Ciomas (1888), misalnya. Golok jadi senjata utama untuk melawan Belanda. Bahkan dianggap sakral. Adanya golok membuat nyali para kaum bumiputra yang melawan menjadi meninggi. Sekalipun akhirnya perlawanan dapat diredam.

“Dalam pemberontakan di Tambun pada 1869 disebutkan dengan tegas bahwa pemberontak hanya memiliki golok, tanpa sejata api. Dalam pemberontakan yang paling dibicarakan di tanah Ciomas pada 1888 juga.”

“Perbedaan kekuatan antara pemberontak dan pengemban kekuasaan kolonial masih lebih memilukan. Saat itu 75 laki-laki tak berdaya ditembaki dari atas sebuah jurang. Pada pembrontakan-pemberontakan seperti itu tak terlihat adanya senjata api di antara penduduk,” tegas Margreet Van Till dalam buku Batavia Kala Malam: Polisi, Bandit, dan Senjata Api (2018).

Lukisan legenda jagoan Betawi asal Condet, Entong Gendut. (KEMENDIKBUD/Database Orang Betawi)

Keserakahan pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga dirasakan oleh jago Betawi, Entong Gendut. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Belanda membuat peraturan yang semena-mena terhadap kaum tani di kampungnya, Condet. Peraturan pajak itu dikeluarkan pada 1912. Isinya Belanda memberikan ruang sebesarnya kepada tuan tanah untuk menindak petani yang gagal bayar pajak lewat pengadilan.

Peraturan itu justru menjelma sebagai alat memiskinkan petani. Tiada petani yang mampu lolos dari hukuman pengadilan. Mereka dibuat bangkrut. Sebab, hartanya banyak disita atau dijual oleh pengadilan. Reaksi tuan tanah justru senang dengan kebijakan pemerintah kolonial. Keuntungan mereka tetap terjaga. Pun hal itu jadi ruang buat tuan tanah menaikkan pajak.

Kabar itu membuat Entong Gendut berang. Ia mengajak petani lainnya melakukan perlawanan. Golok jadi mayoritas senjata yang digunakan oleh Entong Gendut dan pengikutnya. Ajian perlawanan itu sempat membuat Belanda kelimpungan. Ia mampu memenangkan pertarungan. Sekalipun akhirnya, Entong Gendut berhasil ditembak mati pada 1916.

“Usai sembahyang Entong Gendut keluar. Di tangannya ia menggenggam tombak ditutupi kain putih, goloknya yang setia itu nampak terselip di pinggang. Di tangan satunya lagi ada bendera merah dengan gambar bulan sabit berwarna putih. Sorot matanya begitu berani, menatap tajam ke arah wedana dan marsose-marsose yang mulai diliputi rasa takut.”

“la membalas teriakan wedana dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan tunduk pada siapapun termasuk Belanda. ‘Sabilullah... Sabilullah...!’ pasukannya mengamini. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Tapi kemenangan ada di pihak Entong Gendut. Marsose-marsose banyak yang mati, wedana pun menjadi tawanan,” tutup Ibnu Umar Junior dalam buku Entong Gendut, Djati, Kumpeni (2007).