Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 44 tahun yang lalu, 19 April 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef mengeluarkan SK terkait Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Kebijakan itu dilakukan supaya mahasiswa Indonesia lebih aktif dalam proses pembelajaran, bukan malah aktif berpolitik.

NKK/BKK hadir karena belakangan mahasiswa aktif memberikan kritik kepada rezim Orde Baru. Barang siapa yang menolak NKK/BKK maka akan dilemahkan dari panggung kampus.

Tiada yang memungkiri kejatuhan pemerintahan Soekarno berawal dari aksi demonstrasi mahasiswa. Segenap dari mahasiswa angkatan merasa jenuh dengan pemerintahan Bung Karno pada 1966. Mereka menganggap kebijakan daripada Bung Karno jauh dari kata menyejahterakan rakyat. Lagi pula, sikap Bung Karno yang enggan mengambil tindakan tegas kepada Partai Komunis Indonesia makin memperkuruh suasana.

Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari 1974), salah satu peristiwa yang menyulut penerbitan kebijakan NKK/BKK oleh Pemerintahan Orde Baru. (WIKIPEDIA)

Mahasiswa pun berang. Mereka memilih turun ke jalan untuk menyuarakan penderitaan rakyat. Tuntutan mahasiswa lalu dikerucutkan dalam Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Pertama, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), rombak kabinet, serta turunkan harga.

Aksi tersebut cukup panjang. Segenap rakyat Indonesia pun bersimpati kepada mahasiswa. Termasuk sebagian kalangan aparat penegak hukum. Dukungan itu tak lain karena aparat penegak hukum merasa kebijakan pemerintah juga memperparah kondisi kehidupan mereka pribadi.

Pemerintah pun sempat ambil sikap. Mereka mencoba mendengarkan kemauan rakyat. Tapi apa daya. Harga-harga yang telah melambung tinggi tak bisa dibendung oleh pemerintah. Demontrasi Tritura makin tak dapat dibendung. Mereka yang mendukung semakin meningkat. Pun Tritura jadi gerbang dari lengsernya Bung Karno pada kemudian hari.

“Kesalahan yang cukup fatal dalam kepemimpinan Bung Karno adalah kurangnya perhatian terhadap kesejahteraan rakyat, terutama kebutuhan sehari-hari. Saya ingat Bung Karno pernah berkata bahwa kebutuhan rakyat bukan hanya roti saja, tetapi kebutuhan spiritual. Memang betul. Tapi dia lupa, tanpa makanan yang cukup, rakyat akan merasa tidak puas. Urusan perut adalah kebutuhan primer manusia. sudah sejak dulu ada ungkapan: the stomach cannot wait.”

“Selain itu, ia cenderung otoriter dalam menggunakan kekuasaannya. Sayangnya para pemimpin lain di sekitarnya hanya menjadi yes man saja. Hanya sedikit yang berani berbeda pendapat dengannya, seperti Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Roem, Moh. Natsir, dan Subandio Satrosatomo. Namun, mereka malah harus menyinkir atau disingkirkan,” kenang Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).

Buah Kritikan Kepada Orde Baru

Kekuasaan Orde Lama lalu digantikan oleh Orde Baru (Orba) di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Ia paham benar kekuatan mahasiswa. Semua itu karena Soeharto menyaksikan sendiri bagaimana kekuatan mahasiswa dapat menggulingkan Bung Karno. Apalagi, Soeharto dikenal akrab dengan mahasiswa.

Belakangan, mahasiswa mulai melempar kritik kepada Orba. Pemerintah dianggap tak mampu memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Alih-alih membantu rakyat, pemerintah justru sibuk menghamburkan uang untuk proyek mercusuar. Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah salah satunya.

Presiden Soeharto, pemimpin era Orde Baru yang represif terhadap gerakan mahasiswa. (PERPUSNAS)

Suara kritikan mahasiswa makin kuat. Soeharto segera menyadari hal itu. Ia tak ingin bernasib sama seperti pendahulunya, Bung Karno. Kekuatan mahasiswa mulai digembosinya secara perlahan. NKK/BKK pun digulirkan sebagai ajian utama. Soeharto mengeluarkan kebijakan itu lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef pada 1978.   

“Selain membungkam koran, tahun 1969 Pemerintah Orba mengaktifkan BKSPMI (Badan Kerja Sama Pers Mahasiswa Indonesia) untuk menandingi (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) IPMI. Bak pelita kehabisan minyak, IPMI makin lama makin surut dan padam menjelang tahun 1982.”

“Selanjutnya, program Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) tahun 1978 makin membatasi ruang gerak pers kampus. Pak Rektor Satari diam-diam menentang program ini masuk ke kampus IPB sampai beliau dihentikan oleh Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” ungkap Yan Lubis dalam buku Baranangsiang (2019), tentang NKK/BKK yang menjadi catatan sejarah hari ini, 19 April 1978.