Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 62 tahun yang lalu, 17 April 1960, Presiden Soekarno mendapatkan gelar kehormatan (Honoris Causa) Doctor of Engineering dari Universitas Budapest, Hongaria. Gelar kehormatan itu jadi bukti bahwa belajar tak harus mengenal usia. Bung Karno telah membuktikannya.

Hobi membaca buku Bung Karno ada di baliknya. Aktivitas membaca buku buat pemikiran insinyur teknik itu terbuka. Pun dari membaca buku, ia mampu menjelma sebagai salah satu tokoh yang mampu membawa Indonesia lepas dari belenggu penjajahan.

Perkenalan Soekarno dengan H.O.S. Tjokroaminoto banyak membentuk karakternya. Sosok bapak kos Bung Karno itu tak saja jadi mentor dalam mengenalkan agama Islam, tapi juga mengenalkannya kepada buku-buku. Segala macam bahan bacaan yang ada di rumah kosnya bebas dibaca oleh Soekarno.

Mulai saat itu buku-buku Tjokroaminoto mulai meracuni pikiran Bung Karno. Dari ide-ide pembebasan hingga semangat untuk memerdekaan bangsa. Saban hari Soekarno menghabiskan waktunya untuk membaca buku. Kalaupun buku milik Tjokroaminoto tak lagi memuaskan hasrat ingin tahunya, maka Soekarno akan bertandang ke perpustakaan milik kelompok Theosofi di Surabaya.

Presiden Soekarno saat meninjau sebuah pameran buku di Jakarta. (WIKIMEDIA COMMONS)

Bung Karno dapat dengan bebas membaca segala macam buku koleksi perpustakaan itu. Sebab, Bung Karno memiliki hak istimewa karena ayahnya, Raden Soekemi adalah anggota Theosofi. Makin hari, kesukaan Bung Karno membaca buku semakin meningkat. Saat menjadi mahasiswa di Bandung apalagi.

Membaca buku adalah hal yang tak boleh dilewatkan olehnya. Kesukaannya akan buku menuntun Bung Karno untuk lulus kuliah tempat waktu. Insinyur teknik itu terus hidup dengan buku. Sekalipun saat ia masuk penjara Banceuy, kemudian Sukamiskin. Ia mengaku kekayaan satu-satunya yang dimilikinya adalah buku. Itulah modal yang Bung Karno bawa saat diasingkan ke Ende, Flores bersama istrinya, Inggit Garnasih pada 1934.

"Kenapa dipilih Flores? Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satu‐satunya kekayaan pribadiku yang kami bawa. Kebanyakan para pemimpin diasingkan ke Digul. Itu makanya, kuterangkan sambil mengeluarkan buku‐buku sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku dapat mengajar Ratna Djuami (anak angkatnya) di rumah.”

“Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan memperoleh kehidupan yang enak di sana. Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat Sukarno dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka Negeri Belanda dari New Guinea yang terpencil itu,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Kesukaannya akan buku berlanjut sampai ia menjabat sebagai presiden. Orang nomor satu Indonesia itu tak malu mengolongkan dirinya sebagai kutu buku. Ia tak ragu mengajak anak-anak Indonesia lainnya dalam membaca buku. sebab, Soekarno sendiri telah merasakan manfaatnya.

Manfaat paling nyatanya adalah Soekarno berhasil mendapatkan 27 gelar kehormatan dari dalam negeri atau luar negeri. Termasuk ketika Bung Karno melawat ke Hongaria pada 14 April 1960. Salah satu agenda dari lawatan itu adalah Soekarno akan diberikan gelar kehormatan Doctor of Engineering dari Universitas Budapest, Hongaria pada 17 April 1960. Universitas Budapest merasa Bung Karno adalah salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia saat itu.

Presiden Soekarno dikenal suka membaca dan menulis. (Instagram@presidensukarno)

“Tapi coba tanya kepada mereka (menteri-menteri) bagaimana rupanya kamar presiden. Penuh dengan buku dan majalah. Sampai kadang-kadang, bagaimana saya meringkuk di dalam! Bukan buku dan majalah itu di lemari, saudara-saudara, di tempat tidur saya. Saya tidur di antara buku dan di antara majalah-majalah.”

“Karena saya anggap penting selalu membaca, selalu membaca, selalu membaca, meskipun saya telah katakan mempunyai, mengetahui ilmu pengetahuan sedikit-sedikit, meskipun saya telah diberi gelar Doctor Honoris Causa 27 kali oleh universitas-universitas. Membaca, belajar itu tidak ada batas usia. Meskipun kita telah jambul wanen, sudah tua, belajar dan membaca selalu bermanfaat,” terang Bung Karno,” ungkap Bung Karno dalam acara ramah-tamah di Istana Bogor, 20 November 1965, sebagaimana disunting Budi Setiono dan Bonnie Triyana dalam buku Revolusi Belum Selesai (2014).

Pemberian gelar Doktor Honoris Causa bagi Presiden Soekarno dari Universitas Budapest, Hongaria pada 17 April 1960 menjadi catatan sejarah hari ini.