Guru Ngaji di Betawi Tempo Dulu, Punya Tingkatan Ilmu dan Falsafah Golok
Masyarakat muslim Betawi tempo dulu pada masa Hindia Belanda. (WIKIMEDIA COMMONS)

Bagikan:

JAKARTA - Guru ngaji memiliki peranan penting bagi eksistensi Islam di Nusantara. Di Betawi, misalnya. Tempo dulu keterampilan pandai mengaji jadi impian tiap Betawi Muslim. Semua itu supaya anak Betawi mendapatkan pengetahuan memadai tentang agama.

Karenanya, para orang tua beramai-ramai menitipkan anaknya kepada guru ngaji. Segala hal diajarkan olehnya. Dari mengaji hingga ilmu tauhid. Mereka mengajar dengan iklas. Pun mereka tak meminta bayaran berlebihan. Alias tak silau harta.

Betawi dan Islam adalah suatu kesatuan yang sulit dipisahkan. Fakta itu bahkan telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda. Keteguhan orang Betawi dalam memeluk Islam tiada duanya. Mereka tak pernah tunduk atau beralih kepada agama yang dibawa oleh Belanda. Orang Betawi tak tinggal diam. Mereka melawan.

Islam dijadikan fondasi utamanya. Segala macam ilmu dan tradisi Islam diwarisi turun-temurun. Hasilnya mencengangkan. Tak jarang anak Betawi lebih paham huruf hijaiah dibanding huruf Romawi. Sebab, orang Betawi tempo dulu begitu perhatian dalam pendidikan agama bagi anak-anaknya. Lekatnya tradisi Islam maulidan dan rawian dianggap sebagai bukti.

Silaturahmi orang Betawi tempo dulu. (geheugen.delpher.nl)

Kekaguman akan kedekatan orang Betawi dan Islam juga diamini oleh ulama besar. Buya Hamka, contohnya. Ulama asal Minangkabau itu kenal betul watak orang Betawi. Apalagi dirinya telah bertahun-tahun bermukim di perkampungan Betawi di Kawasan Taman Sari, Jakarta Berat. Ia menyaksikan sendiri langgeng tradisi Islam dipegang teguh oleh orang Betawi.  Apalagi di zaman Belanda.

Etnis Betawi kala itu tak pernah dianggap penting oleh Belanda. Kalaupun ada, hanya kalangan terbatas yang merasakannya. Sisanya hidup dalam serba keterbatasan. Namun, bukan berarti ketakwaan kepada Sang Pencipta menurun atau berkurang. Orang Betawi justru makin rajin beribadah. Saban hari masjid selalu ramai dihadiri orang Betawi.  

"Sungguh mengagumkan kita, menilik betapa teguhnya orang Betawi memeluk Islam. Selama 350 tahun antara penjajah (Belanda) dan anak negeri asli (Betawi) masih tetap sebagai ‘minyak dan air.’ Sekalipun bertemu dalam botol tidak pernah bersatu. Pukulan yang diderita warga Betawi dari Belanda sebagai rakyat terjajah sangatlah parahnya.”

“Rumah-rumah mereka terdiri dari dinding bambu anyaman atau atap rumbia. Tinggal di tempat-tempat becek. Namun, bila waktu telah masuk, fajar telah mulai menyingsing, kedengaranlah sayup-sayup sampai ke lorong-lorong kampung suara azan mendayu-mendayu. Hayya 'allal shalah hayya 'allal falah. Maka, dari lorong-lorong kampung Betawi yang becek itu keluarlah orang-orang kampung untuk shalat jamaah. Sesudah itu mereka membaca ratib: Lailla hailallah,” ungkap Buya Hamka sebagaimana dikutip Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001).

Tiga Golongan Guru Ngaji

Lekatnya orang Betawi dan Islam adalah rahasia umum. Eksistensi itu dilanggengkan dari waktu ke waktu. Kuncinya ada pada kehadiran guru ngaji. Kehadiran guru ngaji dalam mendidik anak-anak Betawi kaya akan nilai-nilai Islami sangat vital.

Para orang tua Betawi menganggap penting perihal ilmu agama jadi muaranya. Sekalipun anak-anak mereka dititipkan di sekolah formal pada pagi hari, sore harinya para orang tua turut memasukkan anaknya untuk belajar mengaji dari guru ngaji.

Guru ngaji di Betawi pun tak sembarang. Orang Betawi umumnya mengenal ada tingkatan guru ngaji. Semakin ke atas, maka tingkat ilmunya makin tinggi. Guru ngaji itu antara lain: pertama, guru. Kedua, muallim. Ketiga, ustaz atau ustazah.

“Tempo dulu, di bumi Betawi dikenal adanya tiga golongan guru ngaji berdasarkan kedalaman ilmunya. Pertama yang disebut guru, yaitu orang yang ilmunya sudah sangat mendalam dan luas, seperti Guru Mansur (1878-1967) di Jembatan Lima, Guru Mugni (wafat pada 1935) di Kuningan, Jakarta Selatan, Guru Marzuki (1876-1934) di Cipinang Muara, Jatinegara, dan Guru Mujib (wafat pada 1950) Tanah Abang.”

“Para guru hanya mengajar di rumahnya (atau di masjidnya). Jadi, murid-murid yang datang kepadanya. Kedua, guru ngaji yang disebut muallim, yaitu orang yang ilmunya cukup tinggi, tetapi masih berkeliling mengajar di beberapa tempat. Ketiga adalah yang disebut ustaz atau ustazah, yakni semua orang yang mengajar ngaji,” ungkap Budayawan Betawi, Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (2015).

Guru ngaji itulah yang kemudian getol mengajarkan Islam sedari dini. Perannya membuahkan hasil. Islam makin bertumbuh di tanah Betawi. Bahkan, Islam dapat melebur dan berakulturasi menjadi bagian dari tradisi leluhur orang Betawi.

Budayawan Betawi Masykur Isnan menyebutkan peranan guru ngaji semakin mengukuhkan eksistensi Islam di tanah Betawi. Tradisi Islam pun langgeng berdampingan dengan tradisi lelulur. Buah manisnya anak-anak Betawi tempo dulu jadi mampu menyerap nilai-nilai keislaman.

Filosofi Golok

Orang Betawi lalu banyak menganalogikan kedekatannya dengan agama lewat filosofi sebilah golok. Gagang Golok melambangkan pegangan hidup, bilah tajam diartikan sebagai simbol keberanian, serta sarung yang dimaknai dengan diselimuti oleh agama dan keyakinan.

Sebagai bentuk penghargaan kepada guru ngaji masing-masing orang tua secara sukarela memberikan guru ngaji uang minyak. Uang minyak ini semacam patungan supaya segala kebutuhan pengajian dapat dipenuhi. Istilah itu pun berubah-ubah seiring zaman.

Uang minyak kadang kala dikenal pula dengan uang listrik. Meski begitu, tiada patokan berapa sebenarnya tiap orang tua memberikan uang kepada guru ngaji. Apalagi banyak guru ngaji tempo dulu mengajarkan dengan suka rela. Alias mereka tak silau harta.

Anak-anak Betawi pada tahun 1910 pulang mengaji. (KITLV)

“Selain karena peran orang tua, ada juga peran dari guru ngaji di kampung yang secara konsisten dan instensif membuka surau-surau pengajian mulai dari setelah maghrib sampai lanjut setelah isya. Umumnya hal ini dilakukan oleh guru-guru ngaji secara swadaya mandiri didorong karena kesadaran keagamaan.”

“Alasan lainnya karena guru ngaji mengetahui pentingnya mendidik generasi Betawi selanjutnya yang jangan sampai jauh dari agama dan kebudayaan luhurnya. Jangan berpikir bahwa guru ngaji mendapat gaji, belum tentu. Ada kalanya malah nombok. Lagi-lagi hal ini bukan jadi masalah karena memang niat luhurnya yang menjaga istiqomah di jalurnya. Hal ini yang sekarang mulai hilang. Belajar mengaji bisa lewat virtual akibatnya kehadiran guru ngaji kampung mulai terpinggirkan,” tutup Masykur Isnan ketika dihubungi VOI, 14 April.