JAKARTA - Tradisi bela diri bukan barang baru di Nusantara. Tiap daerah memiliki gaya bela diri masing-masing. Bekal bela diri jadi instrumen pertahanan penting di era penjajahan Belanda, kemudian Jepang. Aksi bela diri di tanah Betawi, misalnya.
Orang Betawi menyebut aksi bela diri dengan maen pukulan. Alirannya macam-macam – dari Beksi hingga Cingkrik. Kemunculan itu hadir karena proses akulturasi dari berbagai macam budaya. Kemudian, maen pukulan jadi ajian penting melawan kaum penjajah.
Andil Belanda membangun Batavia (kini: Jakarta) penuh dinamika. Kongsi dagang Belanda, VOC menjadikan Batavia sebagai pusat kekuasaannya sedari 1619. Mereka membangun Batavia dengan selera Eropa. Bangunan megah dan mewah pun hadir.
Kompeni menambahkan dengan segala macam fasilitas. Segala macam pekerjaan pun hadir di Batavia. Puncaknya, Batavia menjadi daerah yang paling maju di Nusantara. Kabar angin pun berhembus. Barang siapa yang ingin mengubah nasib, datang saja ke Batavia.
Orang-orang dari berbagai bangsa dan negara berdatangan. Orang-orang di belahan Nusantara lain juga hadir. Ada yang datang sebagai budak. Ada pula sebagai pekerja migran. Ada juga sebagai pedagang.
BACA JUGA:
Kondisi itu membuat Batavia macam panci pelebur semua budaya – menurut peneliti sejarah asal Australia, Lance Castle. Akulturasi budaya pun terjadi. Tren budaya itu terlihat dari lahirnya seni bela diri khas Batavia, maen pukulan.
Para sesepuh bela diri pun lalu mulai menyerap ragam penggabungan kreasi gerakan-gerakan. Alhasil, muncul berbagai macam aliran maen pukulan. Aliran yang populer meliputi Beksi, Silat Sabeni, Cingkrik, hingga Paseban.
Empat aliran itu memiliki akar tersendiri. Ada yang berasal dari Nusantara. Ada pula yang berasal dari luar Nusantara macam bela dari bawaan imigran China yang kemudian menetap di Batavia. Ragam aliran itu jadi bagian penting dalam sejarah perlawanan terhadap penjajahan Belanda, dari VOC bangkrut lalu diganti pemerintah Hindia Belanda.
“Aliran maen pukulan Betawi berdasar akarnya dikategorikan menjadi dua, yaitu Akar Aliran Luar (baca: aliran dari luar Nusantara) yang banyak dipengaruhi oleh ilmu bela diri kaum imigran Tionghoa dan Akar Aliran Dalam (baca: aliran Nusantara).”
“Dapat dikatakan bahwa aliran ilmu bela diri luar sebagai aliran utama yang mempengaruhi aliran ilmu bela diri lokal, hingga menjadi aliran maen pukulan Betawi yang berdiri sendiri, terlepas apakah aliran ilmu bela diri yang dibawa para imigran itu di negeri asalnya merupakan aliran pokok atau bukan. Aliran ilmu bela diri luar yang paling banyak mempengaruhi maen pukulan dibawa para imigran Tionghoa asal Tiongkok Selatan,” ujar G.J. Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Bekal Lawan Penjajah
Kehadiran maen pukulan melebur jadi bagian dari cara hidup orang Betawi sehari-hari di era penjajahan. Pegangan orang Betawi pun ada dua. Pertama, pandai ilmu agama – mengaji. Kedua, belajar silat. Keduanya harus berjalan seirama.
Narasi itu dibuktikan dengan kegiatan anak muda Betawi yang sorenya mengaji, kemudian malamnya dilanjutkan dengan latihan maen pukulan. Budayawan betawi, Rohmat S mengamininya. aktivitas mengaji dan belajar maen pukulan sudah dilakukan secara turun-temurun.
Pria yang akrab disapa Bang Omat menganggap maen pukulan mendapat porsi besar dalam hidup orang Betawi sama seperti belajar ilmu agama. Artinya maen pukulan dipelajari sebagai bagian untuk membela sesama manusia yang dizalami.
Kehadiran maen pukulan pun membawa arti bawa derajat hidup orang Betawi tak bisa dianggap remeh. Pimpinan Perguruan Silat Beksi Tradisional Kong Noer itu mengungkap kedekatan maen pukulan dengan agama yang bisa ditangkap pikiran sudah hadir lewat alat tikam golok.
Golok yang sering digunakan jago maen pukulan Betawi membela kebenaran punya filosofi. Para jago Betawi bak punya kode etiknya sendiri. Pantang hukumnya jago maen pukulan memamerkan golok. Narasi itu karena golok termasuk senjata sakral. Alias tak digunakan untuk sembarang kegunaan.
Para jago Betawi yang melihat penindasan orang Belanda ke kaum bumiputra bak menemukan alasan. Goloknya digunakan untuk membela mereka yang tertindas dari penjajahan Belanda. Itulah mengapa banyak perjuangan – dalam pandangan Belanda sebagai pemberontakan yang memunculkan tokoh maen pukulan dengan golok sebagai ajian perlawanan.
Tokoh-tokoh itu antara lain Entong Gendut pada 1916 hingga Kaiin Bapak Kayah pada 1924. Para jago main pukulan juga banyak berpartisipasi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam Perang Revolusi 1945-1949.
"Golok tidak hanya benda tajam biasa, karena jika diperhatikan, di dalam golok terdapat pula sebuah keindahan serta filosofi yang dalam. Bagaimana tidak dalam setiap anatomi dari golok terdapat suatu makna yang mendalam.”
“Gagang golok melambangkan pegangan hidup. Bilah Tajam diartikan sebagai simbol keberanian, serta sarung yang dimaknai dengan diselimuti oleh agama dan keyakinan," ucap Rohmat sebagaimana yang ungkap kepada VOI, 19 Desember 2021.