JAKARTA - Pasar Tanah Abang adalah salah satu pusat bisnis tertua di Jakarta. Sebagai kawasan ekonomi, Pasar Tanah Abang jadi tempat cari makannya para jago dari ragam suku bangsa. Bahkan, sejak zaman Belanda. Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Abraham Lunggana alias Haji Lulung meninggalkan jejak di sana.
Kelompok Hercules dikalahkan oleh kelompok Betawi, Muhammad Yusuf Muhi (Bang Ucu). Ia meneruskan tradisi jago Betawi menguasai Tanah Abang. Setelahnya, Bang Ucu menunjuk Haji Lulung sebagai penerus kuasa.
Kawasan Tenabang –sebutan ringkas orang Betawi bagi Tanah Abang-- telah menjadi rebutan sejak zaman Belanda. Lokasinya yang strategis jadi muasal. Banyak di antara tuan tanah berjuang untuk mendapatkan tanah di kawasan Tenabang.
Pejabat maskapai Dagang Belanda VOC Justinus Vinck, salah satunya. Ia ngebet ingin menjadikan tanah di Tenabang hingga Senen sebagai asetnya. Lobi-lobi dilakukan agar empunya, Cornelis Chastelein takluk. Chastelein pun luluh.
Tanahnya dijual kepada Justinus Vick dengan harga 39 ribu ringit pada 1733. Cita-cita Vinck besar. Ia menginginkan geliat perputaran ekonomi di tanahnya berkembang pesat. Pemikiran itu membuat Vinck menginisasi berdirinya pusat ekonomi di kawasan tersebut.
Ia ingin membuat dua pasar sekaligus: Pasar Senen dan Pasar tanah Abang. Keduanya diresmikan secara bersamaan, yakni 30 Agustus 1735. Semenjak peresmian itu Pasar Tanah Abang menjelma menjadi pusat ekonomi dengan perputaran uang yang tak sedikit. Karenanya, jago-jago Betawi mulai berdatangan untuk cari makan di Tanah Abang.
“Sejarah Kampung Tenabang tak bisa lepas dari keberadaan Pasar Tanah Abang. Pasar ini dibangun berbarengan dengan Pasar Senen oleh Justinus Vinck, orang Belanda yang punya tanah di kedua daerah itu. Pembangunan pasar dimulai pada tahun 1735, untuk menampung limpahan hasil perkebunan di daerah itu.”
“Seperti dari Kebon Kacang, Kebon Melati, Kebon Pala, yang kini menjadi nama kampung. Pasar juga menjadi tempat jago-jago mencari nafkah. Gang Kubur Lama sebagai daerah penghasil jago, letaknya tak jauh dari Pasar Tanah Abang,” ungkap G.J. Nawi dalam buku Maen Pukulan: Pencak Silat Khas Betawi (2016).
Perkembangan pasar itu berperan besar dalam terbangunnya peradaban kecil di Kampung Tanah Abang. Para jago asli Tanah Abang bermunculan. Dari yang berprofesi sebagai pedagang hingga penjaga keamanan.
Kabanyakan mereka sebagai palang dada (pelindung) masyarakat dari ancaman luar dan menjadi pembela kaum yang lemah. Karena itu eksistensi jago kala itu berkebalikan dengan preman. Pasar Tanah Abang kemudian jadi lahan basah untuk mereka mencari nafkah.
Tak cuma satu aliran, melainkan lusinan jago dengan nuansa keragaman ilmu maen pukulan ada di Tenabang. Jago Tenabang juga terbuka dengan kedatangan jago lainnya. Adapun beberapa jago Betawi dari luar Tenabang yang sampai memilih bermukim. Demi menyambung hidup, katanya.
“Bela diri telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Bumiputra (Nusantara). Beberapa kawasan etnik di kota-kota besar seperti Batavia (Tanah Abang, Kebayoran Lama, Pasar Senen, Pasar Jatinegara, misalnya) dan Surabaya (Kampung Kapasan), pada zaman Belanda merupakan pusat bisnis sekaligus kawasan yang rawan sehingga orang-orang harus dapat mempertahankan miliknya atau orang lain,” tulis Rayhan Biadillah dalam buku Silat Beksi dan Tokoh-Tokohnya di Petukangan (2021).
Hercules dan Bang Ucu
Geliat Pasar Tanah Abang jadi lahan basah mencari nafkah para jago berlangsung dari generasi ke generasi. Penguasanya tak cuma jago asli Betawi saja, tapi mulai dikuasai oleh kelompok dari luar Jakarta. Kemunculan Rosario Marshal atau yang dikenal Hercules sebagai penguasa Pasar Tanah Abang, misalnya.
Ia berhasil mengalahkan jago lokal dan menjadi peguasa Tanah Abang pada era 1980-an. Di Tanah Abang, kelompok Hercules menguasai ragam bisnis. Perjudian, pelacuran, keamanan, hingga mengelola pedagang kaki lima.
Pergerakan Hercules di Tanah Abang begitu tertata. Demi mengamankan lahan kekuasaannya. Hercules menggandeng pula salah seorang tokoh Betawi. Tokoh tersebut adalah Abraham Lunggana, atau yang akrab disapa Haji Lulung.
“Begitu sembuh, Hercules masuk daerah bongkaran di Tanah Abang. Kelompoknya mengelola perjudian dan pelacuran. Belakangan, teman-temannya dari Timor-Timur menyusul. Di antaranya Alfredo Monteiro Pires, Logo Vallenberg, Germano, Luis, Jimmy, dan Anis. Kelompok ini ‘berkolaborasi’ dengan jawara Betawi, Abraham Lunggana alias Haji Lulung.”
“Kelompok Timor itu juga mengelola pedagang-pedagang kaki lima. Mereka mendapat ‘uang jasa’ dari pedagang, dari setoran harian, bulanan, hingga bonus tahunan. Pada 1990-an, ketika kurs Rp1.700 per dolar AS, lapak kaki lima menyetor Rp300 ribu - 1 juta per bulan. Kepada Tempo, Alfredo mengatakan ketika itu menerima Rp3,5 juta per bulan,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Jatuh-Bangun Jawara Tenabang (2010).
Jalan Haji Lulung jadi penguasa Tanah Abang
Kerja sama antara Hercules dan Haji Lulung berhasil. Duet keduanya menjadi jaminan terjaganya keamanan pasar Tanah Abang dalam beberapa tahun mendatang. Namun, kejayaan kelompok Hercules harus berakhir.
Demikian pula eksistensi Haji Lulung. Kelompok Hercules berhasil dijinakkan kelompok jago Betawi, Muhammad Yusuf Muhi (Bang Ucu) pada 1997. Label penguasa Tanah Abang lalu berpindah ke Bang Ucu.
Kemenangan itu karena Bang Ucu mendapat dukungan dari segenap tokoh Betawi. Apalagi Bang Ucu digadang-gadang memiliki darah keturunan jawara maen pukulan kesohosor Tanah Abang, Sabeni. Hercules dianggap musuh bersama.
Satu sisi Hercules adalah pendatang. Sisi lainnya, Hercules melanggengkan perjudian dan pelacuran. Hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegang seorang jago Betawi. Kelompok Bang Ucu bersuka cita dengan kemenangannya.
Tapi tidak bagi Haji Lulung. Ia dikejar-kejar oleh segenap jago Betawi. Ia dianggap sebagai pengkhianat. Pun untuk mengamankan diri, Haji Lulung sempat bersembunyi. Namun, Bang Ucu muncul jadi juru selamat. Lulung diangkat sebagai tangan kanannya. Kecerdasan dan jaringan yang dimiliki Haji Lulung dirasa berarti bagi Bang Ucu.
Perlahan-lahan, ladang bisnis dari Hercules mulai dikuasai oleh Haji Lulung. Ia pun tak lupa mendirikan perusahaan jasa keamanan pribadi miliknya. PT. Putra Perkasa untuk melegitimasi kekuasaannya di Tanah Abang. Ia juga mulai mengembangkan bisnisnya dalam usaha ladang parkir dan pengamanan.
Lebih lagi, Haji Lulung mulai memantapkan kariernya di dunia politik sebagai anggota dewan. Lantaran itu dukungan terus mengalir dari Bang Ucu kepada Haji Lulung. Bahkan, setelah Bang Ucu pensiun, Haji Lulung mewarisi gelar sebagai penguasa Pasar Tanah Abang.
“Dalam tradisi Betawi dan pencak silat secara lebih umum, garis keturunan itu penting untuk melegitimasi jago di dalam komunitasnya, berlaku sebagai sejenis ‘kontrak’ pertanggungjawaban terhadap norma-norma perilaku yang sudah ditetapkan sebelumnya.”
“Wakil Ucu adalah Abraham Lunggana, dikenal dengan nama Haji Lulung, yang sebagai anggota penting Pemuda Panca Marga (PPM) memiliki hubungan erat dengan militer, juga menjalankan perusahaan jasa keamanannya sendiri, Putra Perkasa, yang menguasai lahan parkir di sebagian Jakarta pusat dan utara,” tutup Ian Douglas Wilson dalam buku Politik Jatah Preman (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.