Duka Traumatik Gempa dan Tsunami Sulawesi Tengah 1938
Gempa Sulawesi Tengah 1938 (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Indonesia adalah negara rawan gempa dan tsunami. Salah satunya karena Indonesia berada di kawasan yang mempertemukan empat lempeng tektonik: lempeng indo-Australia, Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina. Salah satu bencana paling mematikan adalah gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 1938. Harta benda hilang. Nyawa pun melayang. Traumanya berlangsung turun-menurun. Cerita tentang tsunami menyapu desa-desa sampai diabadikan dalam syair.

Di Negeri Khatulistiwa, bencana dapat menghantam kapan saja. Bahkan fenomena alam yang memicu gempa dan tsunami bisa terjadi dimana saja. Dari ujung barat hingga timur. Ambil contoh gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 1938.

Kejadian itu bukan barang baru bagi masyarakat Palu, Sigi, Parigi, dan Donggala. Sebab, kurang dari delapan tahun ke belakang, atau tepatnya 1930 telah ada gempa yang memancing tsunami. Gelombang tinggi mencapai dua meter itu memporak-porandakan Sulawesi Tengah. Korban jiwa berjatuhan, bangunan rubuh, dan masyarakat sukar untuk bangkit.

Demikian pula, gempa dan tsunami pada 10 Mei 1838. Bencana alam itu datang tak diduga-duga. Gempa terjadi saat sebagian besar kaum bumiputra di Sulawesi Tengah masih terlelap, yakni pada dini hari pukul 01:08.

Gempa berkekuatan 7,6 Skala Richter langsung memaksa segenap warga Sulawesi Tengah berhamburan keluar rumah. Belum habis rasa panik, gempa itu nyatanya memancing tsunami setinggi empat meter. Pengalaman dari gempa besar sebelumnya, membuat segenap warga langsung memilih berlindung ke tempat yang tinggi untuk menyelamatkan diri.

“Gempa bumi ini juga menyebabkan down-lift atau penurunan permukaan tanah di sebagian wilayah teluk Palu. Dalam wawancara radio itu, Pengamat Kegempaan, Abdullah menyebutkan bahwa akibat gempa bumi tersebut, 50 rumah dan jaringan perpipaan di Palu rusak/hancur, 11 rumah di kampung Wani, 30 rumah di Tawaeli, serta 60 rumah di Donggala rusak. Di Mamboro, lokasi pasar lenyap ditelan tsunami. Kawasan itu bahkan telah menjadi laut.”

Gempa Sulawesi Tengah 1938 (Sumber: Wikimedia Commons)

“Tidak hanya itu, menurut Abdullah yang mengisahkan berdasarkan penuturan warga, di Mamboro beberapa orang hanyut terbawa gelombang dan seorang wanita keturunan Tionghoa tewas tenggelam. Menurut masyarakat Mamboro, dari penuturan kembali oleh Slamat Anugrah, keturunan Tionghoa itu bernama Ban Ho. Episentrum gempa diperkirakan di Kulawi, Sigi,” ungkap Ruslan Taher Sangadji dalam buku Hidup di Atas Patahan Palu Koro: Takdir Bukanlah Hukuman (2019).

Kondisi kampung Mamboro yang berada di tepi pantai barat Donggala rusak parah. Rumah-rumah dan pohon kelapa disapu oleh gelombang tsunami. Kondisi itu tak jauh beda dengan Parigi. Kawasan itu jadi yang paling luluh lantak dihantam gempa dan tsunami.

Bencana alam itu mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia, 942 unit rumah rubuh, 184 rumah rusak, dan fasilitas-fasilitas pemerintahan hancur tak bersisa. Jika ditotal kerusakan itu mencapai angka 50 ribu gulden.

Penuturan tentang maha dahsyat gempa dan Tsunami di Parigi juga sempat dikemukan oleh orang tua pengusaha Ciputra, Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Kala itu kedua orang tuanya tinggal di Parigi. Sedang Ciputra sendiri sudah tinggal bersama kakeknya dan bersekolah di Gorontalo. Alhasil, ketika gempa dan tsunami datang, kedua orang tuanya merasakan kepanikan yang luar biasa. Kepanikan itu sampai melekat diingatan Ciputra karena dituturkan terus-menerus.

“Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi termasuk desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka sudah tak mau lagi membangun rumah dan meneruskan hidup di Parigi: Kebetulan Engkong memiliki sebuah toko kelontong di Bumbulan yang dikelola pegawainya. la kemudian mempercayakan toko itu pada Papa,” tutur Ciputra sebagaimana ditulis oleh Alberthiene Endah dalam buku Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018).

Ingatan yang tak bisa hilang

Gempa Sulawesi Tengah 1938 (Sumber: Wikimedia Commons)

Bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah lantas menarik perhatian dunia internasional. Ratu Belanda, Wilhelmina sampai angkat bicara. Ia menyampaikan rasa belasungkawanya kepada segenap rakyat Hindia-Belanda yang terkena imbas bencana.

Dalam pemberitaan di surat kabar Het Vaderland pada 15 Juni 1938, diwartakan pula jika Ratu Wilhelmina telah menyiapkan dana sebesar 1000 gulden untuk membantu korban bencana Sulawesi Tengah bangkit dari keterpurukan. Bantuan itu diserahkan langsung lewat perantaraan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (1936-1942).

Organisasi Bala Keselamatan (Salvation Army) Hindia-Belanda tak lupa memberikan bantuannya. Jumlah yang diberikan malah lebih besar dibanding yang diberikan oleh Ratu Belanda. Bantuan dari organisasi yang berpusat di London itu mencapai angka 10 ribu gulden.

Semua bantuan itu diperuntukan untuk membangun kembali sekolah-sekolah yang terdampak. Lebih lagi untuk membantu segenap warga Sulawesi Tengah untuk bangkit. Petinggi Salvation Army pun turut turun tangan langsung memberikan bantuan. Mereka turut langsung ke lokasi bencana.

Akan tetapi, perihal bangkit bukanlah urusan mudah. Penyintas gempa banyak yang mengalami trauma yang berkepanjangan, bahkan turun-menurun. Dari generasi ke generasi. Segenap kaum bumiputra di Sulawesi Tengah, terutama suku Kaili melanggengkan hal itu.

Gempa Sulawesi Tengah 1938 (Sumber: Wikimedia Commons)

Mereka merekam ingatan terkait gempa dalam tradisi tutur yang lebih dikenal dengan Kayori. Syair-syair terkait desa yang bergoyang dan tenggelam satu sisi dijadikan sebagai pengingat. Sisi lainnya, berfungsi sebagai peta bencana.

“Wajar jika dugaan syair ini mengarah ke gempa dan tsunami yang terjadi pada tahun 1938. Sebab bencana tersebut mengakibatkan Mamboro tersapu gelombang dan membuat daerah itu mengalami penurunan tanah.”

“Peristiwa serupa juga terjadi di wilayah Tondo hingga disebut Kaombona yang berarti tempat yang runtuh. Bagi generasi muda - khususnya Suku Kaili, Kayori yang berkaitan dengan bencana bisa dirujuk sebagai indigenous knowledge agar di masa yang akan datang kerugian akibat gempa dan tsunami dapat diantisipasi,” terang Ibe S. Palogai dan Lala Bohang dalam buku Kayori: Seni Merekam Bencana (2021).

Untuk mengenang gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, ragam Kayori banyak tercipta. Banyak di antaranya merangkum kesedihan melihat desanya luluh lantak diterjang tsunami. Berikut salah satunya:

Goya-goya Gontiro (Goyang-goyan di Ganti)

Toka bonga loli’o (Melihat ke bawah orang Kabonga dan Loli Oge)

Palu, Tondo, Mambro matoyomo (Palu, Tondo, dan Mamboro sudah tenggelam)

Kamolue melantomo (Tersisa Kayumalue yang terapung).

*Baca Informasi lain soal BENCANA ALAM atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya