JAKARTA - Pengaruh Soeharto dalam perjalanan bisnis Keluarga Cendana begitu besar. Anak-menantunya bebas berbisnis dengan suka cita. Dari bisnis properti hingga proyek pengadaan pemerintah. Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut, misalnya.
Sejak usianya masih 21 tahun, anak sulung Soeharto sudah memulai kiprahnya di dunia bisnis. Ia lihai mencari peluang. Termasuk bisnis komputerisasi pembuatan Surat Izin mengemudi (SIM). Bisnis itu membuat rekeningnya menggemuk. Untung besar.
Cerita Soeharto menjadi orang nomor satu di Indonesia tak bisa dilupakan dalam lintasan sejarah. Segala macam ambisi sebagai pemimpin Orba dapat segera diwujudkan. Ia mampu mengubah paradigma politik Indonesia dari politik mercusuar beralih ke paradigma pembangunan ekonomi.
Langkah itu berhasil untuk sementara waktu. Karenanya, Soeharto dikenal sebagai figur yang sedikit bicara, tapi banyak bertindak. Semuanya berkat Soeharto yang otoritarian yang mampu menggerakkan militer untuk mengontrol ragam sektor, mulai dari keamanan, ekonomi, dan politik.
Bagi Soeharto, tiada ambisi yang tak bisa dicapai. Semuanya didobrak Soeharto. Asal tajuk kekuasaan masih menjadi miliknya. Usai itu semua, Soeharto mulai memberi ruang kepada keluarganya yang lazim dikenal Keluarga Cendana untuk mulai berbisnis.
Sayap bisnis keluarganya –dari istri, anak, menantu— mulai menancapkan kuasanya di segala bidang. Begitu istimewa hingga semua bank, terutama bank pemerintah begitu murah hati dalam pemberian kredit. Tak ada peduli sebesar apapun risikonya.
“Pendek kata, wewenang, dan lingkup bisnis perusahaan anak-anak Cendana tak ubahnya dengan perusahaan negara. Yang berbeda hanya ini: perusahaan negara dimiliki rakyat, perusahaan Cendana dikuasai anak-anak Soeharto. Dengan kesaktian seperti itu, tak mengherankan jika keluarga ini merambah hampir semua sektor usaha: properti, telekomunikasi, perbankan, perhotelan, otomotif, listrik, minyak, kimia, hiburan, jalan tol, hingga taman buah ratusan hektar.”
“Kian hari kelompok usaha ini semakin gendut, bukan hanya karena pelbagai izin istimewa, tapi juga karena bank-bank (terutama bank pemerintah) begitu bermurah hati memberikan kredit, tak peduli sebesar apa pun risikonya. Saat itu, Bank Indonesia bahkan tak perlu memasukkan pinjaman bagi perusahaan Cendana dalam perhitungan risiko kredit karena dijamin tak akan bangkrut, seperti perusahaan negara,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Jejak-Jejak Anak Cendana (2003).
Pola bisnis yang dikembangkan Keluarga Cendana selalu sama. Nama besar Soeharto sangat berarti bagi langgengnya bisnis Keluarga Cendana. Pengaruh Soeharto itulah yang membuat mereka mendapatkan izin khusus. Di antara bisnis-bisnis itu, mereka kebanyakan cuma mencari komisi. Peran Keluarga Cendana hanya untuk membantu perizinan.
Cara lain juga turut diterapkan oleh Keluarga Cendana. Mereka tak lupa membuat sebuah perusahaan. Dalam hal itu, perusahaan itu jadi medium mereka untuk mendapatkan lisensi khusus nan istimewa untuk menggarap ragam proyek nasional.
Kemasan proyek yang dimaksud adalah berbau kepentingan nasional. Yang mana narasinya proyek dikembang untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat Indonesia. Namun, faktanya berkata lainnya. Proyek itu hanya untuk menggemukkan rekening mereka sendiri.
“Tahap ketiga, keluarga Cendana mulai terjun ke dalam berbagai macam mega proyek, dan bisnis mereka mendapat proteksi dan perlakuan khusus. Misalnya Tutut, ia adalah satu-satunya pengusaha swasta yang diberi jin untuk membangun jalan tol. Lantas bagaimana Tommy memperoleh fasilitas khusus untuk mengembangkan proyek mobil nasional Timor, padahal mobil itu 100 persen buatan Korea Selatan,” tulis Femi Adi Soempono dalam buku Mereka Mengkhianati Saya: Sikap Anak-Anak Emas Soeharto di Penghujung Orde Baru (2008).
Mbak Tutut bisnis SIM
Anak pertama Soeharto Mbak Tutut tak luput memanfaatkan kuasa ayahnya sebagai orang nomor satu Indonesia. Sejak usia 21 tahun, ia telah dikenal aktif dalam dunia bisnis. Keterampilannya berbisnis bahkan merambah segala bidang. Jalan tol, minyak, jasa keuangan, televisi, agribisnis, dan konsesi-konsesi negara jadi fokusnya.
Setelahnya, Mbak Tutut menancapkan kuasanya dalam proyek pengelolaan komputerisasi pembuatan Surat Izin mengemudi (SIM). Bagi mbak Tutut, SIM jadi salah satu ladang bisnisnya yang menguntungkan.
Payung perusahaan PT. Citra Permatasakti Persada (CPP) digunakan olehnya. Di dalam itu, ia mengajak serta simpatisan Partai Golkar, Setya Novanto (kemudian: Ketua DPR RI Periode 2014–2019). Keduanya lalu mengawal proyek itu dengan bekerja sama dengan POLRI pada 1992.
“Kerja sama bisnis keluarga dan kroni Soeharto dengan pihak Polri juga tidak kalah mesranya. PT Citra Permatasakti Persada (CPP) milik Tutut dan Sudwikatmono serta PT Wenang Sakti milik Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas) mendapat monopoli pembuatan SIM di sebelas kota besar, bekerja sama dengan Inkud Polri dan mantan Kapolri Jenderal (Polri) Koenarto.”
“Kerja sama selama lima tahun menggunakan jaringan komputer milik Polri, telah menghasilkan kcuntungan berlipat ganda bagi Tutut dan mitra bisnisnya. Kerja sama ini kemudian dilanjutkan dengan monopoli pembuatan KTP oleh perusahaan keluarga Soeharto yang lain, PT Solusindo Mitra Sejati, yang dipimpin oleh Nyonya Elsye Sigit, istri putra tertua Soeharto, Sigit Harjojudanto,” tandas George Junus Aditjondro dalam buku Korupsi Kepresidenan (2006).
Kontrak yang diadakan oleh CPP awalnya hanya dua tahun saja. Setelahnya CPP diharuskan menyerahkan perangkat keras berupa komputer, dan lain-lainnya kepada Polri. Namun, kontrak itu tetap berlangsung selama lima tahun lamanya. Semua itu karena CPP memperoleh perpanjangan waktu. Konon karena lobi politik.
Keuntungan yang diperoleh Mbak Tutut lewat CPP pun melimpah. Nilai pengadaan barang, termasuk komputer untuk pembuatan SIM hanya berkisar pada angka Rp101 miliar. Laporan itu diungkap oleh surat kabar Suara Pembaruan, 3 Juni 1998.
Perihal keuntungan yang didapatkan oleh CPP justru melebihi modal dasar itu. CPP mendapatkan keuntungan sebesar Rp500 miliar dalam kurun lima tahun. Lebih rinci lagi, setiap pembayaran yang masuk sebesar Rp52.500 per SIM, sebesar Rp48.500 menjadi jatah PT Citra Permatasakti Persada, sedangkan sisanya Rp4.000 masuk kas negara.
“Besarnya dana yang masuk ke dalam proyek-proyek anak-cucu Cendana itulah yang menyebabkan para mahasiswa-dan seluruh masyarakat- menjadi ‘gregetan’ dan ramai-ramai menuntut supaya kekayaannya diusut. Jumlah kekayaan yang dikumpulkan dengan mengaburkan batas antara milik pribadi dan milik negara selama tiga puluh tahun lebih itu akhirnya menimbulkan krisis ekonomi yang menurunkan kekayaan rakyat menjadi tinggal 25 persen dari semula akibat jatuhnya nilai rupiah,” tutup Sanjoto Sastromihardjo dalam buku Reformasi dalam perspektif Sanjoto (1999).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.