Bagikan:

JAKARTA - Seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb kerap tampil memukau lewat aksi komedinya. Sebagai pemain film ataupun penyanyi. Humor-humor cerdasnya yang “menyinggung” populer hingga luar negeri. Tapi, tak semua nyaman dengan humornya. Para janda yang tergabung dalam korps janda sempat tersinggung oleh ulahnya. Lagu Jande Tue (Nangke Lande) dianggap merendahkan janda.

Benyamin memberi klarifikasi. Katanya lagu itu dibuat demi memenuhi skenario film. Bukan ditujukan kepada semua janda. Tiada seniman Betawi serba bisa yang paling kesohor selain Benyamin Sueb. Ia biasa dipanggil Bang Ben.

Tanpa sungkan, ia selalu menuangkan segala macam dialek dan ekspresi Betawi dalam tiap lawakannya. Lagu ataupun film. Keserdehanaan materi jadi ciri khasnya. Karenanya, karakter lawakannya tiada dua. Tiada yang tabu di mata Benyamin. Semua didobraknya.

Segala terkait problema keseharian orang Betawi yang mulai terpinggirkan, mendominasi ruang berkomedi Benyamin. Masalah-masalah seperti pecintaan, banjir, penggusuran, duit, macet, penipuan hingga tukang kredit.

Kesederhanaan itu membuat Benyamin mendominasi layar kaca tahun 1970-an. Ia tak sekedar melawak, tapi melemparkan kritik. Kedekatan tema itu jadi muasal ketenarannya. Pengemarnya muncul di seluruh pelosok negeri, bahkan dunia.

Demikian pula loyalisnya. Sisi lainnya, kepopuleran Benyamin turut mengangkat budaya dan bahasa Betawi. Berkatnya, segala hal terkait “Kebetawian” dikenal luas. Sampai-sampai karena pengaruh Benyamin, sempat ada kekhawatiran bahwa bahasa Betawi akan menggantikan bahasa Indonesia.

“Pada pertengahan tahun 1970-an, Benyamin adalah penyanyi dan komedian Betawi paling populer. Benyamin Sueb telah membintangi lebih dari 40 film dalam waktu kurang dari 10 tahun. Kebetawian jadi akar utama Benyamin dalam berkarya. Terutama dialek bahasa Betawi. Lagu-lagu yang ditulis Benyamin sering dikawinkan dengan sentuhan kesenian Betawi, Gambang Kromong. Lirik yang lucu itu selalu menggunakan bahasa Betawi, yang berisikan irisan kehidupan kaum Betawi miskin.”

Benyamin Sueb (Sumber: Commons Wikimedia)

“Irisan itu pula digunakan oleh Benyamin dalam serangkaian film yang dimainkan olehnya. Ia kerap memberikan kritik atas modernisasi di Jakarta. Yang paling penting, kritiknya sering menyoroti perilaku pebisnis yang cuma menjadikan Jakarta sebagai ladang cari duit. Sementara kehidupan orang Betawi terkena imbasnya. Mereka justru terpinggirkan dari tanah kelahirannya sendiri,” ungkap David Hanan dalam buku Cultural Specificity in Indonesian Film: Diversity in Unity (2017).

Kunci utama Benyamin dalam berkarya tak lain adalah pengamatan. Sebagai anak Betawi yang hidup di tengah kota Jakarta, ia mengaksikan banyak kejadian. Terutama, perubahan kota Jakarta dari big village menjadi metropolitan.

Perubahan-perubahan itu kemudian dipotretnya menjadi cerita yang erat hubungannya dengan masyarakat luas. Berkat itu, Benyamin lantas mengikuti jejak seminan lainnya yang mampu menjadi bintang, seperti Bing Slamet, Ateng, dan Bagyo.

Ia selalu tampil totalitas dalam berkarya. Entah sebagai pemeran utama atau pembantu. Puncaknya, ada 11 judul film yang menggunakan embel-embel nama Benyamin. Penggunaan nama itu jadi bukti bahwa karya-karya Benyamin begitu dinikmati oleh khalayak luas.

“Ada 11 judul film dengan embel-embel ‘Benyamin.’ Cucu Haji Ung itu lahir 5 Maret 1939, (wafat 5 September 1995) tidak membentuk grup lawak permanen seperti Bing Slamet. Itu sebabnya, film dengan embel-embel nama Benyamin tidak banyak. Padahal, Bang Ben main di sekitar 53 judul film, baik sebagai pemeran utama maupun pemeran pembantu.”

“Film yang mengambil nama Bang Ben adalah Benyamin Biang Kerok (1972), Jimat Benyamin, Biang Kerok Beruntung, Benyamin Brengsek (1973), Benyamin Si Abu Nawas, Benyamin Spion 025 (1974), Benyamin Tukang Ngibul, Benyamin Koboi Ngungsi, Benyamin Raja Lenong, Traktor Benyamin (1975), Benyamin Jatuh Cinta (1976),” terang Eddy Suhardy dalam buku Warkop: Main-Main Jadi Bukan Main (2010).

Benyamin 'digeruduk' janda

Kepiawaian Benyamin dalam membawakan komedi yang “menyinggung” tak berlangsung mulus-mulus saja. Selalu ada yang tersinggung dengan komedi Benyamin –pemerintah hingga jelata. Sebab, materi lawakannya sering kali melanggengkan secara 'telanjang' realita kehidupan di Ibu Kota, Jakarta.

Para janda yang tergabung dalam korps Janda jadi salah satu yang pernah tersinggung dengan humor Benyamin. Lagu ciptaan Benyamin yang nantinya akan jadi unsur penting film komedi Ratu Amplop (1974), Janda Muda dianggap merendahkan wanita yang berstatus Janda. Puncak ketersinggungannya adalah karena Benyamin menyanyikan lagu itu ragam acara, termasuk acara malam di TVRI.

Keberatan langsung disampaikan oleh pemirsa TVRI asal Jatinegera, Soeseno. Ia menganggap lagu jenaka itu justru menganggap rendah semua janda. Soeseno pun lalu melayangkan protesnya lewat surat pembaca perihal Benyamin S. Jangan Menghina Janda di Harian Kompas, 22 Januari 1975.

Kritikan itu buat Benyamin angkat bicara. Tepat dua minggu setelahnya, Benyamin menuliskan hak jawabnya lewat Harian Kompas, 3 Februari 1975. Benyamin menyampaikan terima kasihnya karena lagu yang populer dikenal sebagai Nangke Lande mendapatkan atensi publik yang besar. Sebagai bagian dari kontrol diri dalam karier maupun berkehidupan, katanya.

Sebelum melanjutkan tulisannya menjelaskan duduk perkara dari proses penciptaan lagu, Benyamin menyampaikan terlebih dahulu permohonan maafnya kepada seluruh janda yang merasa tersinggung oleh lagunya.

Potret Benyamin Sueb (Sumber: Commons Wikimedia)

Ia menjelaskan lagu itu khusus diciptakan untuk menyesuaikan skenario dari film terbarunya yang akan segera beredar Ratu Amplop. Dalam film itu, Beny (Benyamin) menggunakan medium lagu untuk mengolok-ngolok janda tua, Connie (Connie Sutedja).

“Ceritanya begini: (maaf saya pakai bahasa ngobrol saja ya... supaya lebih intim). Lagu tersebut adalah salah satu lagu yang saya bawakan dalam film ‘Ratu Amplop’ (sayang belum beredar) arahan sutradara Nawi Ismail, cerita sdr. Firman Muntaco.”

“Film itu dibintangi oleh saya sendiri sebagai pemuda kampung yang dihina karena belum punya pekerjaan tetap (brengsek). Connie Sutedja sebagai janda tua yang materialistis suka menghina orang, menganggap rendah anak-anak muda yang miskin. Di sana saya dijuluki pemuda Teri Jengki (istilah Betawi) sama artinya dengan makanan pahit sering nunggak di tenggorokan,” tegas Benyamin sebagaimana ditulis Wahyuni dalam buku Kompor Mleduk Benyamin S. (2007).

Menurutnya tiada niat dalam menjelek-jelekan semua janda. Apalagi ibu, kakak, adik, hingga keponakan Benyamin berstatus sebagai janda. Lagu itu memang diciptakan, sebesar-besarnya disesuaikan dengan skenario. Yang mana, isinya menggambarkan watak dari tokoh Connie. Tak lebih.

“Begitulah lagu itu saya ciptakan yang disesuaikan dengan skenario, jadi bukan semata-mata saya tujukan kepada semua janda-janda. Tobat-tobat betul-betul kalo lagu itu saya tujukan kepada semua janda, sebab saya yakin tidak semua janda begitu, tidak semua perjaka brengsek, tidak semua duda kurang ajar, dan tidak semua ibu tiri (katanya) jahat (ingat lagu lbu Tiri ciptaan almarhum Mashabi),” tutup Benyamin.

*Baca Informasi lain soal BUDAYA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya