JAKARTA - Soeharto tak cuma mempraktikkan politik 'memukul' di Orde Baru. Ia juga merangkul. Semuanya untuk kontrol. Termasuk pada umat Islam. Pendirian Majelis Ulama Indonesia (MUI) jadi salah satu caranya.
Campur tangan Orba dalam pendirian MUI membuat majelis itu mudah disetir. MUI bekerja untuk kepentingan pemerintah belaka. Sementara kepentingan agama belakangan. MUI ditentang banyak pihak. Puncaknya MUI dicap bagai 'tukang stempel' keagamaan semata. Tak lebih.
Sedari dulu, umat Islam telah dikenal sebagai kekuatan besar di Nusantara. Penjajah Belanda, kemudian Jepang paling hati-hati ketika berhubungan dengan umat Islam. Sekali melanggengkan kebijakan yang merugikan umat Islam, gaung pemberontakan pecah di mana-mana.
Pemuka agama Islam, terutama yang bergelar haji jadi pemimpin perlawanan di berbagai pelosok negeri. Sederet perlawanan itu buat Belanda merugi, bahkan nyaris bangkrut. Soeharto memahami hal itu. Ia mengalami sendiri pengaruh Islam yang begitu besar di tanah Jawa.
Sewaktu kecil, Soeharto telah dididik sebagai anak yang taat beragama. Di sore hari, Soeharto rajin mengaji dan tak lupa melaksanakan kewajiban sholat lima waktu. Soeharto tumbuh di lingkungan Islam. Pun ketika menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia.
Soeharto tak menampik kekuatan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam. Ia lantas memilih berhati-hati bertindak perkara umat. Soeharto sadar Islam kuat secara politik. Ia kemudian mencoba merangkul umat Islam.
“Melihat pada keadaan masyarakat ketika Nabi Muhammad S.A.W., dilahirkan, maulid beliau mengandung arti pembaharuan dan perbaikan bagi masyarakat, manusia dengan ajaran-ajaran agama Islam, dari suri-suri teladan beriman dan bertaqwa Nabi Muhammad S.A.W.” Hikmah yang penting dimanfaatkan pada perjuangan orde baru sekarang, selain daripada perantaraan umat Islam dan persoalan manusia sesama mahluk tuhan.”
“Inilah kesederhanaan selalu mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, dan toleransi dalam menjalankan perintah agama,” ungkap Soeharto sewaktu mengisi sambutan maulid Nabi Muhammad S.A.W. di Hotel Duta Indonesia, 19 Juni 1967.
Rangkul umat Islam
Di tengah jalan, keinginan merangkul mulai berubah jadi mengontrol umat Islam. Munculnya suara-suara umat Islam yang ingin membangun konsepsi-konsepsi Islam di dalam negara jadi muaranya. Apalagi, keinginan untuk menerapkan Islam sebagai dasar negara sesuai Piagam Jakarta yang tengah menguat.
Tak mau kecolongan. Pemerintah Orba mulai mencoba mengendalikan umat Islam lewat berbagai cara. Soeharto merasa perlu untuk mendirikan suatu lembaga atau wadah keulamaan antar umat beragama. Melemahkan jejak partai Islam dijadikan opsi oleh Soeharto.
Ia mendesak supaya empat partai politik yang eksis di Tanah Air menghapus sebutan Islam pada partainya. Empat partai itu antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Setelahnya, keempat partai tersebut digabung dalam satu partai yang langgeng dikenal sebagai Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Semua itu demi melanggengkan keinginan Orba supaya dapat menjinakkan umat Islam secara politik.
“Hingga akhir era 1970-an umat Islam dipaksa melakukan kompromi-kompromi dan bersikap defensif terhadap sikap pemerintah, bukan hanya kepentingan mereka yang diganjal, tetapi juga secara politik, mereka tidak memperoleh tempat yang memadai dalam struktur kekuasaan – padahal saat itu umat Islam adalah kelompok mayoritas di Indonesia,” ungkap F.X. Baskara Tulus Wardaya dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007).
MUI lahir dan ditentang
Narasi Orba membuat wadah mengontrol umat Islam semakin masif pada 1970-an. Orba mulai ikut campur tangan dalam penyelenggaraan konferensi yang melibatkan ulama. pemerintah bahkan secara total mendukung terjadi konferensi –dari memberi dorongan semangat hingga pengarahan akan konferensi. Supaya melahirkan lembaga keagamaan Islam, katanya.
Soeharto sendiri sampai turun gunung untuk mendesak kelahiran suatu lembaga keagamaan tersebut. Jenderal yang berkuasa 32 tahun itu menyampaikan desakan pentingnya lembaga keagamaan pada dua kesempatan.
Soeharto mengutarakan niatannya pada saat memberi sambutan penutup dalam acara Lokakarya Mubaligh se-Indonesia di Jakarta pada 26-29 November 1974. Setelahnya, Soeharto turut kembali menyampaikan niatannya sewaktu menerima pengurus Dewan Masjid Indonesia di Istana Negara, 24 Mei 1975.
Buahnya, desakan Soeharto ditindaklanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kemendagri lalu menginstruksikan supaya tiap daerah yang belum ada majelsi ulamanya supaya membentuk majelis-majelis ulama.
Keinginan itu terwujud. Sejak 1974-1975 majelis ulama di tingkat I dan II bermunculan. Setelah lengkap, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tingkat nasional secara resmi muncul dalam peta perpolitikan Tanah Air pada 1975.
“Kelahiran MUI sendiri dimulai dari dibentuknya panitia persiapan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia dengan SK Menteri Agama (Menag) No. 28 tertanggal 1 Juli 1975 yang diketuai Letjend (Purn) H. Soediman dengan tiga penasihat, yaitu Prof. Hamka, KH. Abdullah Syafi'i, dan K.H. Syukri Ghozali. Musyawarah diadakan dengan maksud untuk membentuk MUI tingkat pusat sebagai kelanjutan pembentukan MUI-MUI di daerah-daerah.”
“Akhirnya, pada Sidang Paripurna VIII di forum musyawarah tersebut MUI tingkat nasional disepakati berdiri, tepat pada Sabtu, 26 Juli 1975. Piagam deklarasi pendiriannya ditandatangani 53 ulama dari seluruh Indonesia dan Buya Hamka terpilih sebagai ketua umum yang pertama,” terang Fawaizul Umam dalam buku Kala Beragama Tak Lagi Merdeka: Majelis Ulama Indonesia Dalam Praktis Kebebasan Beragama (2015).
Terpilihnya Buya Hamka bukan tanpa alasan. Buya Hamka kala itu telah berstatus sebagai ulama tersohor di Asia Tenggara. Karenanya, kapasitas Buya Hamka dinilai tepat untuk memimpin MUI. Alasan Buya Hamka mau memimpin, antara lain supaya umat Islam dapat bekerja sama dengan Soekarno memberantas komunisme. Lantaran itu, MUI dapat menjadi semacam wadah yang dapat menjadi penyambung lidah umat Islam ke pemerintah.
Akan tetapi, kehadiran MUI justru mendapat tentangan dari segenap umat Islam. Pembentukan MUI dianggap tanpa melalui proses musyawarah mendalam yang melibatkan segenap ormas Islam. banyak umat Islam yang merasa tidak diwakili kepentingannya oleh MUI. Lebih lagi, MUI kerap didengungkan sebagai “tukang stempel” keagamaan terhadap setiap program, kegiatan, dan kebijakan pemerintah yang sekuler.
Namun, Kondisi itu jauh berkurang ketika Soeharto lengser pada 1998. MUI laksana terlahir kembali. Urusan-urusan kepentingan agama kemudian banyak diperjuangkan oleh MUI. Sekalipun sentilan MUI tidak independen kerap mengemuka.
“Orde Baru membentuk institusi-institusi lain pula untuk mengontrol serta mengarahkan Islam. Salah satunya yang paling penting adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang didirikan pada 1975. Pada waktu itu, lembaga ini dimaksudkan sebagai sebuah wahana bagi pemerintah untuk mengarahkan Islam dan, di beberapa kalangan Islam, ia distigmatisasi karena alasan ini.”
“Baru setelah kejatuhan Soeharto, MUI menjadi wadah yang memperjuangkan kepentingan Islam --terutama dari kelompok kelompok yang paling konservatif, Islamis dan Dakwahis-- di hadapan pemerintah. Walaupun pada awalnya mengkritik gagasan untuk membentuk majelis seperti ini, Hamka menerima ketika diangkat menjadi ketuanya yang pertama, tetapi kemudian mengundurkan diri pada 1981 sebagai protes terhadap kurang independennya MUI di depan pemerintah,” M.C. Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa (2013).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.