JAKARTA - Restoran cepat saji Subway pernah mendominasi pusat perbelajaan besar di Jakarta juga Bali pada 1990-an. Subway ingin mengikuti jejak kesuksesan gerainya di negara lain. Namun eksistensi Subway hanya seumur jagung. Mereka salah baca strategi. Kala itu masyarakat kelas menengah di Indonesia, khususnya Jakarta belum banyak. Belum lagi badai resesi 1997-1998 yang jadi kabar buruk bagi kelancaran bisnis Subway di Tanah Air.
Tiada yang menyangka ide membuat restoran roti lapis cepat saji berasal dari seorang fisikawan nuklir, Dr. Peter Buck. Ia mengutarakan idenya kepada seorang kerabat keluarga Fred DeLuca. Tanpa pikir panjang, remaja 17 tahun itu menerima tawaran Buck. Dalam pikirannya, usaha restoran dengan modal seribu dolar dapat jadi pemasukan utamanya.
Uang itu rencananya akan digunakan sebagai tambahan membayar uang kuliah DeLuca. Buck tak lupa menguatkan DeLuca dengan kalimat sakti, “Let’s open a submarine sandwich shop.”
Akhirnya restoran roti lapis Buck dan DeLuca dibuka pertama kali pada Agustus 1965 di Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat (AS). Restoran itu dinamainya Pete’s Super Submarines. Gejala kesuksesan telah terlihat sejak hari pertama dibuka. Roti lapis yang menjadi andalan restorannya dapat terjual sebanyak 312 buah.
Semua itu karena harga roti lapisnya terjangkau. Per satu porsi roti lapis, Buck dan DeLuca menjualnya dengan harga kurang dari 1 dolar. Melansir Britannica, kesuksesan restoran roti lapis itu membuat Pete’s Super Submarines menambah satu kedai lagi pada 1966.
Dua tahun setelahnya, nama restoran mulai bersalin nama menjadi Subway. Pergantian nama itu seiring dengan kemunculan logo baru yang identik dengan warna kuning terang. Nyatanya pergantian nama restoran membawa hoki bagi Buck dan DeLuca. Tak tanggung-tanggung, Subway lalu muncul sebagai restoran waralaba dengan kehadiran 16 gerai Subway pada 1974.
Semenjak itu nama Subway mulai dikenal luas di AS. Langkah berikut yang diambil DeLuca adalah merumuskan rencana bisnis dengan mengurai hal terkecil sampai vital. Ia lalu mencari dukungan banyak pihak untuk menjadi pemilik waralaba miliknya. Pun gerai Subway mulai hadir di banyak tempat dari pusat perbelanjaan hingga tempat pengisian bahan bakar minyak.
Ia juga mulai mempromosikan bisnisnya supaya target pasarnya lebih luas. Iklan di berbagai media massa, lokal maupun nasional jadi ajian utamanya. Lagi pula, ia sendiri kadang kala terjun langsung untuk melatih pemilik maupun staf baru dari garai Subway. Semua prinsip Subway yang mengedepankan pelayanan dengan kualitas terbaik tetap terjaga.
Usaha Buck dan DeLuca mulai terbayar pada 1982. Subway mencapai target yang sebelumnya tak pernah dipikirkan, yakni memiliki 200 gerai restoran cepat saji. Kesuksesan itu diikuti pula dengan kesuksesan yang lain. Subway pertama kali mencatat waralaba pertamanya di luar negeri, atau tepatnya di Bahrain pada 1984.
Kondisi itu sempat membuat empunya Subway kewalahan. Masalah demi masalah seperti pembagian royalti mengemuka. Sederet masalah itu lalu perlahan-lahan diatasi. Karena itu, Subway dapat menjelma sebagai salah satu waralaba yang paling bernilai di dunia.
“Namun, akal sehat DeLuca membuatnya mengubah nada bicaranya soal royalti. Sebuah sistem baru yang lebih canggih kini sudah dijalankan, sistem yang mengukur populasi dan pola lalu-lintas orang. Misalnya untuk menjamin agar tidak terjadi saling mangsa antar gerai.”
“Pemegang waralaba yang mendirikan gerai di dekat kedai Subway lainnya yang akan dibuka dapat mengajukan keberatan. DeLuca kini memiliki komite untuk menangani berbagai masalah, walaupun para pemegang waralaba harus membayar ongkos tertentu jika ingin masalahnya ditangani,” ujar Emily Ross dan Angus Holland dalam buku 100 Great Business Ideas (2007).
Kegagalan di Indonesia
Ekspansi ke Bahrain nyatanya membuka kesempatan lain untuk Subway melebarkan sayap ke penjuru dunia. Kedai-kedainya mulai bermunculan di pelosok dunia. Beberapa di antaranya ada Hong Kong, Italia, hingga Pakistan. Indonesia tak mau kalah. Gerai Subway mulai bertumbuh di pusat perbelanjaan Ibu Kota Jakarta pada 1990-an.
Gerai restoran cepat saji milik DeLuca muncul di Pondok Indah Mal (PIM), Mal Taman Anggrek, Plaza Senayan, Mal Ciputra Jakarta, Wisma 46, dan Supermal Karawaci. Bahkan, gerai Subway sempat hadir di Kuta, Bali. Kehadiran Subway turut meramaikan persaingan waralaba AS yang kala itu telah masuk lebih dulu ke Indonesia seperti Burger King, Mc Donald, dan Kentucky Fried Chicken (KFC).
Pada mulanya, Subway sempat mendapatkan atensi warga Jakarta. Roti lapis buatan Subway jadi opsi utama ketika warga Jakarta bosan dengan makanan sehari-hari. Akan tetapi, sebelum meraih kejayaan, Subway goyang di tengah jalan.
Kesalahan strategi Subway membaca pasar jadi penyebabnya. Salah satu kesalahan Subway yang vital adalah empunya usaha memaksakan Subway masuk Indonesia di saat yang kurang tepat. Alias Subway masuk ketika kelas menengah Indonesia belum terbentuk. Apalagi di kota-kota besar.
"Jika dulu Burger King, Yoshinoya, Subway pernah hadir lantas tidak sukses. Itu tahun 1991-an ya, timing tidak tepat. Middle class baru terbentuk pertengahan dekade 2000-an," kata Pengamat ritel Yongky Susilo dikutip CNBC.
Ketimpangan antara masyarakat ekonomi rendah dan masyarakat kaya hingga sangat kaya begitu nyata. Karenanya, mereka yang mengakses makanan di Subway hanya masyarakat kaya dan sangat kaya. Yang mana, dalam peta nasional jumlahnya masih terlampau sedikit.
Kondisi ini sempat dijelaskan oleh Bengawan Ekonomi Soemitro Djojohadikusumo. Bapak dari Prabowo Subianto itu pernah mengemukan jika distribusi pendapatan negara tak merata pada era Orde Baru. Terutama memasuki tahun 1990-an.
“Saya mendapat kesan yang merisaukan bahwa distribusi produktif di negara ini justru semakin lebih tidak merata daripada distribusi pendapatan. Konsentrasi kekayaan produktif menimbulkan konsentrasi pendapatan yang lebih timpang lagi. Masalah kemiskinan berhubungan erat dengan tersedianya tanah atau setidak-tidaknya dengan tersedianya modal untuk meningkatkan mutu tanah,” terang Soemitro sebagaimana yang ditulis Anne Booth dan Peter McCawley dalam buku Ekonomi Orde Baru (1986).
Masalah lain yang membuat Subway terpaksa gulung tikar adalah kehadiran resesi 1997-1998. Keadaan ekonomi Indonesia yang morat-marit karena resesi berdampak kepada seluruh sektor, termasuk Subway. Pengangguran meningkat. Perusahaan-perusahaan lainnya terancam gulung tikar. Boleh jadi beberapa gerai Subway untuk beberapa waktu sempat bertahan sampai tahun 2000. Namun, dampak resesi membuatnya terpaksa hengkang dari Indonesia.
“Melihat ke belakang sejenak pada tahun 1998-1999 terjadi krisis ekonomi dan penggangguran di seluruh kawasan Indonesia. Perekonomian Indonesia terjun bebas dan mencapai titik rendahnya pada 1998, ketika terjadi resesi ekonomi yang amat berat. Inflasi mencapai 75 persen pada 1998-1999, tertinggi dalam sejarah Indonesia,” tutup Rosramadhana dalam buku Strategi dan Problem Sosial Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia (2018).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.