Bagikan:

JAKARTA - Tahun 1997-1998, Indonesia jatuh dalam resesi terparah. Dampaknya luas, dari perbankan hingga bisnis. Pengangguran meningkat. Perusahaan-perusahaan terancam gulung tikar, termasuk Garuda Indonesia, yang  nyaris bangkrut karena utang besar. Pemerintah Orba menunjuk Robby Djohan jadi Direktur Utama (Dirut). Ia jadi juru selamat. Garuda Indonesia berkembang pesat.

Perekonomian Indonesia morat-marit pada 1997. Rupiah yang jadi cerminan harga diri bangsa jatuh dalam level terendah. Satu dolar, yang awalnya bernilai Rp2.000 menjadi Rp15.000. Kondisi itu makin berat karena Indonesia masih bergantung pada sederet produk impor.

Beberapa barang impor, seperti pangan, buah-buahan, bahan bakar, mesin, sepeda, hingga komputer. Sederet produk itu mengalami kenaikan signifikan. Ambil contoh komputer, yang sebelum resesi berharga Rp1 juta naik sepuluh kali lipat.

Spekulasi soal penyebab resesi bermunculan. Tiap ahli bahkan mengungkap pandangan masing-masing. Garis besar ragam argumen itu menyimpulkan resesi tak terjadi mendadak. Resesi muncul dari pergeseran kekuasaan politik dan sosial yang terjadi di Indonesia pada 1980-an. Persoalan itu memicu utang tinggi dan mengubah haluan sistem perbankan jadi lebih liberal.

“Semua persoalan tersebut bermuara pada transisi ke arah pasar bebas yang berlangsung di Indonesia. Salah satu argumentasi yang sering dikemukakan adalah resesi ekonomi di Asia, khususnya di Asia Tenggara pada tahun 1997 yang merembes ke Indonesia. Secara khusus krisis yang juga dikenal sebagai krisis Asia ini dimulai di Thailand di mana pemerintahnya mengadopsi sistem kurs tetap yang kaku.”

“Kendati sistem demikian telah lama diterapkan, tetapi membengkaknya hutang eksternal angka pendek dan dibukanya arus modal internasional secara progresif telah membawa ekonomi Thailand pada posisi sulit akibat tekanan menguatnya nilai tukar dollar AS,” ungkap Nazamuddin dalam buku Memahami Makroekonomi Melalui Data dan Fakta (2020).

Soeharto umumkan pengunduran diri (Sumber: Wikimedia Commons)

Keadaan perekonomian Indonesia justru makin buruk ketika memasuki 1998. Resesi mulai memakan korban. Dampak krisis semakin jadi. Sektor perbankan, utang luar negeri, hingga situasi politik yang kacau balau jadi beberapa di antaranya.

Pada fase itu segenap rakyat Indonesia tak bisa benar-benar menikmati hasil dari jerih payahnya bekerja. Resesi tak cuma jadi penanda krisis Ekonomi Indonesia dimulai tapi juga sebagai awal dari runtuhnya rezim Orba. Padahal sebelum resesi tiada satu pun terpikir Soeharto 'Jenderal 32 Tahun' bakal lengser.

“Melihat ke belakang sejenak pada tahun 1998-1999 terjadi krisis ekonomi dan penggangguran di seluruh kawasan Indonesia. Perekonomian Indonesia terjun bebas dan mencapai titik rendahnya pada 1998, ketika terjadi resesi ekonomi yang amat berat. Inflasi mencapai 75 persen pada 1998-1999, tertinggi dalam sejarah Indonesia.”

“Namun tenyata dapat turun hingga 10 persen pada 1999-2000. Untuk bisa mewujudkan hal itu, pemerintah menerapkan langkah-langkah pengurangan. Akibatnya, banyak perusahaan gulung tikar karena tingginya suku bunga dan biaya produksi. Hal itu, menyebabkan penggangguran besar-besaran,” tulis Rosramadhana dalam buku Strategi dan Problem Sosial Politik Pemerintahan Otonomi Daerah Indonesia (2018).

Misi menyelamatkan Garuda Indonesia

Pesawat Garuda Indonesia (Sumber: Commons Wikimedia)

Maskapai Garuda Indonesia jadi salah satu perusahaan yang nyaris bangkrut karena utang besar di masa resesi. Perusahaan plat merah itu ternyata sudah merugi sejak tujuh tahun lamanya. Kondisi itu diperparah oleh reputasi Garuda Indonesia, yang makin hari makin buruk.

Penumpang yang sepi hingga sering delay. Puncaknya, Garuda sering diplesetkan orang banyak sebagai 'Garuda Always Reliable Until Delay Announced'. Pemerintah Orba tak tinggal diam. Utamanya, Soeharto. The Smiling General paham Garuda Indonesia adalah kebanggaan Indonesia. Jika Garuda gulung tikar Indonesia akan kehilangan sesuatu yang sangat penting.

Soeharto pun langsung menjalankan misi penyelamatan Garuda Indonesia. Ia menugaskan Menteri BUMN pertama, Tanri Abeng (1998-1999) untuk memikirkan solusi terbaik supaya Garuda Indonesia tetap mengudara di langit dunia.

Soeharto lalu memberikan sebuah map berisi dokumen Garuda Indonesia kepadanya. Soeharto tak lupa mengutarakan jika Garuda Indonesia sudah ingin dibangkrutkan oleh krediturnya. Tinggal tunggu waktu. Soeharto berharap langkah revolusioner yang dapat dilakukan Tanri Abeng untuk membangkitkan Garuda Indonesia.

“Saya mempelajari berkas itu di dalam mobil. Temyata sudah tujuh tahun Garuda Indonesia merugi. Selama itu kerugian yang ditanggung maskapai penerbangan nasional itu ditutup dengan utang dolar. Kondisinya menjadi sangat parah ketika nilai tukar rupiah meroket menjadi Rp15.000 per dolar AS Itulah yang terjadi, di hari kelima saya bertugas sebagai praktisi manajemen di bawah kepemimpinan Pak Harto, saya sudah harus membenahi kemelut yang begitu kompleks di ranah kerja orang lain,” tulis Tanri Abeng dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011).

Tanri Abeng bergerak cepat. Ia yang mendapat restu Soeharto langsung memangkas Dirut dan seluruh direksi dari Garuda Indonesia. Satu nama kemudian diajukan oleh Tanri Abeng kepada Soeharto. Sosok itu adalah Robby Djohan, seorang bankir.

Buku biografi Robby Djohan (Sumber: Wikipedia.org)

Tanri Abeng menegaskan Robby Djohan jadi pilihan yang tepat karena reputasinya dapat mendinginkan para kreditur. Robby Djohan pun resmi jadi orang nomor satu di Garuda Indonesia pada 1998.

Nyatanya tak semua setuju dengan penunjukkan Robby Djohan. Sosok bankir itu dianggap tak mempuni karena bukan orang dari dunia dirgantara. Apalagi Robby Djohan memiliki syarat agar dirinya diberi kewenangan memilih sendiri direksi-direksi yang mengisi kursi Garuda Indonesia.

Robby Djohan sempat didemo segenap karyawan Garuda Indonesia. Tapi ia memilih tak ambil pusing. Robby Djohan mulai menganalisis satu demi satu masalah yang dihadapi Garuda Indonesia. Ia mulai memangkas rute penerbangan internasional yang sepi penumpang.

Robby Djohan juga mulai melakukan perawatan pesawat Garuda Indonesia secara intensif. Tidak seperti dulu-dulu, karena tidak dirawat, 50 persen pesawat Garuda Indonesia tak layak terbang. Ia juga mulai memangkas pejabat-pejabat di Garuda Indonesia yang notabene orang dekat Soeharto.

Robby Djohan kemudian menggantikan nama-nama itu dengan tenaga muda yang lebih bermotivasi. Terakhir, Robby Djohan mulai menyiapkan bibit-bibit pemimpin baru supaya Garuda Indonesia dapat terbang tinggi di masa depan.

“Dalam waktu yang relatif singkat, hanya delapan bulan, Garuda bisa meningkatkan citranya, dan bahkan setahun kemudian berhasil mencctak laba sckitar 60 juta dolar. Sebetulnya, kalau Robby melihat Garuda sebagai perusahaan biasa, ia pasti akan melikuidasinya. Namun, ia memilih untuk melakukan restrukturisasi mengingat Garuda adalah pembawa bendera Indonesia.”

“Restrukturisasi berarti membuang yang jelek dengan melakukan perubahan mendasar mencakup perubahan kepemimpinan, manajemen operasi, dan pendekatan kepada pasar, Kesungguhannya terlihat saat ia memindahkan kantor ke Bandara Soekarmo-Hatta agar bisa langsung memantau situasi lapangan,” tutup Ekuslie Goestiandi dan Berny Gomulya dalam buku T.P. Rachmat on Excellence (2018).

*Baca Informasi lain soal EKONOMI atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya