JAKARTA - Sejak zaman Belanda, wabah sudah silih berganti mendera Nusantara. Malaria, kolera, cacar, pes, hingga flu Spanyol jadi yang paling diingat. Namun, Belanda tak pernah siap melawan wabah. Ajiannya menggalakkan karantina untuk memutus mata rantai penyebaran wabah jauh dari kata efektif. Malah cenderung diskriminatif bagi kaum bumiputra. Banyak di antara kaum bumiputra justru lebih memilih kabur dibanding harus dikarantina penjajah.
Geliat kartel dagang VOC menguasai Nusantara mulai terlihat saat Batavia ditaklukkan. VOC langsung membangun Batavia di atas reruntuhan Jayakarta pasca penaklukkan pada 1619. Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali (1619-1623 dan 1627-1629) Jan Pieterszoon Coen turun tangan untuk membentuk lingkungan yang sehat dan bermartabat di Batavia.
Coen mulai membangun infrastruktur hingga pemukiman yang menyerupai kota-kota di Belanda. Pembangunan itu dilakukan sebagai sarana pelipur lara jauh dari kampung halaman.
Rencana Coen untuk sementara waktu berhasil. Batavia kemudian dijuluki sebagai Ratu dari Timur. Keindahan Batavia yang tiada dua dipuja-puji oleh para pendatang, terutama penyair di Batavia.
Tapi, perlahan-lahan wabah datang menggulung warga. Mulai dari kolera hingga malaria. Ekploitasi lingkungan hidup secara berlebihan dan VOC yang melulu memikirkan keuntungan jadi awal dari rusaknya wajah Batavia. Bahkan, sampai memakan banyak korban jiwa.
“Markas VOC di Batavia sekarang mendapat reputasi buruk sebagai sumber wabah mematikan yang terus dipertahankan hingga abad XIX. Kolam-kolam ikan yang dibangun sepanjang pesisir Batavia merupakan tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk-nyamuk anopheles. Sejak 1733, kota ini menyebarkan wabah malaria yang mematikan. Antara 1733 dan 1795, sekitar 85.000 serdadu dan pejabat VOC di Batavia mati karena wabah ini dan sebab-sebab serupa,” ungkap Sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2008).
“Pada tahun 1734, diumumkanlah satu hari pembacaan doa dan puasa untuk memohon kepada Tuhan agar melenyapkan wabah tersebut dari kota ini. Permohonan penduduk Batavia, yang sering dianggap sebagai gembel bermoral bejat dan tidak beriman, ini tidak mengubah keadaan. Penyakit terus merajalela dan, mengakibatkan meninggalnya Gubernur Jenderal VOC, Dirk van Cloon (1732-1735),” tulis Ricklefs.
Setelah wabah malaria dan kolera, wabah lainnya mulai bermunculan – dari wabah pes dan flu Spanyol. Jikalau ditotal wabah tersebut sampai menelan jutaan nyawa dan melumpuhkan aktivitas dari masa pemerintahan VOC, hingga diambil alih oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Flu Spanyol, misalnya. Wabah ini pernah menjadi momok bagi kaum bumiputra di berbagai wilayah Nusantara. Kaum bumiputra di Pulau Jawa sampai memiliki istilah tersendiri menggambarkan kedahsyatan flu Spanyol. Mereka menyebutnya: lara nomer siji. Artinya penyakit ganas nomor satu.
“Kebetulan bahwa pada tahun-tahun terakhir Perang Dunia I itu, di daerah Kasultanan Yogyakarta terjadi wabah penyakit semacam influensa, yang disebut: Spaanse griep. Wabah penyakit ini cukup mengerikan karena benar-benar terjadi istilah kata-kata: esuk lara sore mati, sore lara esuk mati (pagi sakit sore mati, sore sakit pagi mati), sehingga penduduk merasa sangat cemas,” seperti tertulis dalam Sejarah kebangkitan nasional Daerah Istimewa Yogyakarta (1977).
Perang yang tak pernah dimenangkan
Perlawanan pemerintah kolonial Belanda terhadap wabah menjadi perang yang tak pernah dimenangkan. Berkali-kali Belanda mencoba memutus mata rantai sebuah wabah.
Hasilnya selalu tak memuaskan. Belanda malah terlihat sering meremehkan wabah. Sikap itu membuat Belanda sering abai ketika terjadinya wabah. Demikian pula ketika wabah semakin memakan korban, Belanda sering kali lepas tangan.
Ambil contoh pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels (1808-1811). Belanda bukannya menggalakkan perlawanan terhadap wabah, mereka justru cuci tangan. Daendels memilih untuk segera memindahkan pusat pemerintahan dari tempat yang tak sehat di Batavia Lama (kota tua), ke kawasan yang tidak terjangkit wabah di Weltevreden (kini: kawasan Lapangan Banten).
Namun, bukan berarti belanda tak melalukan berbagai upaya. Pemerintah Hindia-Belanda berperan aktif dalam memerangi wabah pes pada 1910-an. mereka melakukan sosialisasi penyakit, pembasmian tikus-tikus dan lain sebagainya. Sekalipun tidak efektif.
Kabur dari karantina
Pemerintah kolonial Belanda tak lupa memberlakukan karantina wilayah dan pemukiman sebagai ajian utama. Masalahnya, selama karantina kaum bumiputra hanya dibekali oleh bantuan keuangan yang sedikit, sehingga kaum bumiputra merasa karantina adalah langkah yang tak efektif. Terlebih banyak kaum bumiputra, terutama petani, memiliki tanggungan yang besar.
“Meskipun waktu itu kondisinya mirip dengan pandemi COVID-19 saat ini, pemerintah memberikan sejumlah uang kepada penduduk selama isolasi; tetap saja warga menghadapi kesulitan keuangan karena bantuan tersebut tak cukup,” terang Isma Savitri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Kisah Wabah dan karantina di Hindia-Belanda (2020).
“Mereka yang mayoritas petani ini juga dilarang keluar dari rumah ataupun barak. Padahal mereka terlilit hutang renovasi rumah kepada pemerintah Hindia-Belanda, yang memaksa tempat tinggal penduduk harus berbahan tembok. Walaupun pemerintah juga memberikan subsidi renovasi rumah, jumlahnya tak mencukupi,” tulis Isma.
Masalah keuangan itu membuat banyak kaum bumiputra memilih kabur dari pusat karantina. Mereka lebih baik hidup dengan wabah pes, dibanding tidak mendapatkan penghasilan untuk membayar hutang. Pun karena mereka termasuk tulang punggung keluarga.
Opsi kabur dari pusat karantina juga sering dilakukan kaum bumiputra karena tak percaya dengan penanganan yang dilakukan Belanda. Tiap tindakan yang keluar dari mulut seorang Belanda dianggap oleh kaum bumiputra sebagai biang kesengsaraan.
Lagi pula, pemerintah kolonial Belanda cenderung rasis. Hanya penduduk pribumi saja yang diurusi oleh pemerintah belanda. Sedang orang Eropa dapat melenggang-langgeng dengan bebas di wilayah rawan pes.
Sementara itu, kalaupun ada orang Eropa yang di karantina, mereka malahan mendapat fasilitas yang memadai. Orang Eropa diperlakukan laksana raja. Makanan bergizi serta kunjungan dokter rutin diberikan secara cuma-cuma. Tapi bila itu kaum bumiputra, mereka cuma mendapat tempat di barak yang hanya dibikin dengan konstruksi bambu. Alhasil, kaum bumiputra lebih memilih kabur dibanding diperlakukan secara tak manusiawi oleh Belanda.
“Diskriminasi panangan juga terjadi. Akses kesehatan awalnya hanya untuk orang-orang Eropa dan China dengan kemampuan finansial yang baik, sementara kelompok bumiputra adalah yang terakhir. Pun kebijakan perbaikan kampung kumuh atau usaha vaksinasi hanya bertujuan untuk mempertahankan stabilitas wilayah jajahan,” tutup Imam Syafi’i dalam buku Penanganan COVID-19 Dalam Perspektif Politik (2020).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.
MEMORI Lainnya
BACA JUGA: