JAKARTA - Hidup bergemilang materi adalah mimpi banyak orang. Proses mencapainya berbeda-beda. Ada yang berjuang keras. Ada pula yang mendapatkan kekayaan secara mendadak. Orang-orang itu dicitrakan sebagai orang kaya baru (OKB). OKB telah langgeng sejak zaman Belanda, termasuk sifat-sifat mereka yang identik dengan sok pamer, norak, dan doyan foya-foya. Kekayaan tak menyelamatkan mereka dari perilaku yang tak jauh dari budak.
OKB yang notabene adalah orang Belanda, banyak berseliweran di seluruh wilayah Nusantara sejak abad ke-17. Kebanyakan mereka bukan berasal dari keluarga terhormat, apalagi bangsawan. Mereka adalah kelompok orang Belanda yang terpinggirkan, dipecat, dan berpendidikan rendah.
Namun, setibanya, di Indonesia mereka kemudian memanfaatkan hak istimewa sebagai warga kelas satu di Hindia-Belanda. Senapas dengan itu, orang Belanda mendapatkan akses menjadi kaya raya.
Pemberian hak istimewa itu, kata Sejarawan Hendrik E. Niemeijer adalah hal yang lazim. Sebab, hampir di jalan-jalan Batavia para OKB sering kali mempertontonkan kebiasaan suka pamer kekayaan yang berselera rendahan.
Barang-barang yang dipamerkan tampak beragam. Ada yang memamerkan perhiasaan mahal, kereta kuda, hingga memamerkan berapa banyak budak yang mengiringi mereka.
Lebih lengkap terkait budak sebagai lambang kekayaan orang di zaman Belanda pernah kami ulas dalam tulisan “Ketika Perbudakan jadi Simbol Kekayaan di Nusantara”.
“Yang dimaksud sebagai barang mewah saat itu antara lain adalah busana mahal dan perhiasan yang sering dipakai serta dipertontonkan para warga yang sebenarnya di luar batas kemampuan mereka. Begitu juga pesta makan berlebihan, pesta pernikahan, berbendi ria yang semakin sering dilakukan ketika itu, serta berpayung sutra yang sering dilakukan para warga perempuan. Selain itu, memiliki budak dalam jumlah besar sebagai pembantu rumah tangga juga termasuk memiliki barang mewah,” tulis Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).
Sebentuk kekayaan itu dianggap oleh OKB sebagai tanda kemakmuran. Lebih lagi, orang Belanda yang terlanjur kaya dikenal suka foya-foya melalui pesta dansa. Lewat aktivitas itu, “kemunafikan” orang Belanda dapat dilihat dalam bidang keuangan.
Sikap ini diyakini adalah bentuk perpaduan aneh dari kebiasaan orang Belanda di tanah airnya yang cenderung pelit, berpadu dengan kebiasaan Portugis di Hindia-Belanda yang cenderung memamerkan kekayaannya.“Pada pesta-pesta atau upacara-upacara yang bisa dilihat orang lain, mereka sangat boros."
"Namun untuk keperluan lain yang tidak tampak oleh orang banyak, mereka sangat pelit. Mungkin pula sikap ini diambil karena kekayaan pejabat-pejabat kompeni yang banyak tidak halal,” tulis Siswandi dalam buku Ketoprak Jakarta (2001).
Pamer Kekayaan di Societeit
Salah satu bukti keborosan mereka adalah sikap foya-foya dan suka pesta. Kemunculan-kemunculan klub eksklusif seperti Societeit de Concordia dan Societeit de Harmonie di Batavia mendukungnya.
Saking eksklusifnya, klub tersebut tidak dapat diakses oleh sembarang orang, terutama bagi kaum bumiputra dan Belanda miskin yang gajinya dibawah 500 gulden. Kalaupun memaksa, dapat dipastikan Belanda miskin harus bekerja keras selama beberapa tahun agar pangkatnya naik.
Buahnya, mereka termasuk orang penting yang berpesta di Harmonie. Oleh karena itu, Societeit dijadikan sebagai tempat ajang pamer kekayaan. Di sana, para OKB mengobrol, lobi jabatan, dan berpesta.
Ada yang sambil main kartu, bermain bola sodok, berdansa-dansi, untuk membuat kagum atasannya. Penyataan itu bukan pepasan kosong belaka. Pelukis asal Belanda, Bas Veth yang pernah tinggal di Hindia-Belanda antara tahun 1879-1891 mengamini “noraknya” para OKB sewaktu di Societeit.
"Orang orang yang paling sering kita jumpai termasuk dengan niat mencari untung yang dengan satu dan lain, cara mirip pendulang emas atau pengejar jabatan, yang jika berhasil lantas menunjukkan mentalitas orang kaya baru (OKB). Terlebih lagi, masyarakat bersifat sangat kolot, mabuk derajat sosial, dan sama sekali tidak seorang pun yang berminat dengan perdebatan tentang pemikiran," ujar Bas Vest dikutip Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006).
Ikut kebiasaan budak
Akan tetapi, penghidupan yang mudah itu tak serta-merta mengubah standar peradaban penduduk Belanda di Batavia. Sejak bayi, anak-anak orang Belanda banyak diserahkan ke dalam pengasuhan budak perempuan.
Pengasuhan itu dilakukan budak perempuan karena orang tua Belanda banyak yang tak mampu atau terlalu malas mengasuh anaknya. Imbasnya, boleh jadi anak laki-laki mungkin mendapatkan pendidikan dari guru privat, tapi anak perempuan nyaris tidak belajar apa-apa.
Kadang-kadang bahasa Belanda tak dikuasai sepenuhnya oleh anak-anak Belanda. Alhasil, anak-anak itu banyak menggunakan bahasa campuran Melayu, Portugis, dan Belanda.
Bahasa campuran itu menjadi satu-satunya alat ekspresi anak-anak Belanda seumur hidup, yang mana pengaruh pengasuhan itu membuat kebanyakan anak Belanda menjadi berpikir, bekerja, dan bertingkah laku seperti budak.
“Karena dibesarkan oleh para budak dan mengadopsi tingkah laku mereka, berikut kebiasaan-kebiasaannya. Anak-anak itu mampu berbicara bahasa Malabar, Sinhala, Benggali, dan Portugis itu. Dan ketika mereka beranjak dewasa, mereka kesulitan berbahasa Belanda dengan baik dan benar, tanpa mencampurkan dengan bahasa Portugis pasar di dalamnnya.” Tutup De Graaf dikutip Jean Gelman Taylor dalam buku Kehidupan Sosial di Batavia (2009).