Sejarah 'Babu': Istilah yang Lahir dari Rahim Perbudakan Kolonial
Babu di zaman Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pada zaman penjajahan Belanda, orang-orang Eropa kaya raya rata-rata memiliki rumah yang besar dan hidup serba mewah. Karena besarnya rumah dan tingginya gengsi, kebanyakan dari mereka membeli budak untuk mengerjakan banyak pekerjaan rumah. ‘Jongos’ untuk menyebut budak laki-laki, dan ‘babu’ untuk menyebut budak perempuan.

Dahulu, idealnya sebuah rumah tangga bangsawan maupun pejabat kongsi dagang VOC memiliki belasan hingga ratusan 'jongos' maupun 'babu'. Ada yang dipekerjakan sebagai tukang masak, tukang kebun, pengasuh anak, dan pekatik (tukang kuda).

Sebuah cerita datang dari tuan tanah kaya raya bernama Augustijn Michiels atau yang akrab disapa Mayor Jantje pada abad ke-19. Djoko Soekiman, dalam bukunya Kebudayaan Indis (2011) menjelaskan, pada tahun 1831, rumah tangga Mayor Jantje memerlukan 320 orang budak. 30 orang di antara mereka bertugas sebagai pemain musik yang serba bisa.

“Disamping itu, ada empat penari ronggeng, dua pemain gambang, dan dua penari topeng. Bahkan orang China juga melatih budak mereka untuk menjadi artis dalam rombongan sandiwara China yang berkembang pesat pada masa itu. Biasanya budak-budak yang pandai menari, dan menyanyi dihargai tinggi,” kata Djoko Soekiman.

Mayor Jantje juga memiliki budak untuk mengurus kandang kuda. Jumlahnya 24 orang. Di samping itu, Mayor Jantje juga mempekerjakan banyak budah untuk mengurus kebun. Ada lima orang di taman melati, sembilan di kebun sayur, serta delapan tukang potong rumput.

Lainnya, ada pengawas selokan, pengawas sarang burung walet, pengangkut pedati, serta 117 babu di dalam rumah. Pekerjaan mereka adalah mencuci, menyapu, mengepel, memasak, atau menjadi pengasuh anak.

Istilah ‘babu’ benar-benar kesohor saat itu. Hingga saat ini, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) masih merekam istilah 'babu' sebagai perempuan yang bekerja sebagai pembantu (pelayan) di rumah tangga orang; pembantu rumah tangga; penata laksana rumah tangga.

Penggunaan diksi ‘babu’ pun sering kali terdapat dalam cerita pendek (cerpen) yang menggambarkan masa kompeni masa menjajah Indonesia. Salah satunya cerpen milik Chairil Gibran Ramdahan dalam buku Sebelas Colen di Malam Lebaran berjudul Tak Ada Mariam Di Jembatan (2008).

Dikisahkan dalam cerpen yang mengambil latar waktu 1870-an, seorang perempuan cantik bernama Aria yang masih 16 tahun sibuk mencari kerja untuk menyambung hidup. Masalahnya, Aria tak memiliki banyak keterampilan selain menjadi 'babu' cuci pakaian, seperti ibunya. Karena itu, dirinya kemudian datang ke Villa Bintang Mas milik playboy Tionghoa, Oey Tambah Sia yang kebetulan butuh babu cuci.

Sayangnya, Oey tak begitu suka menjadikan Aria sebagai seorang 'babu' karena terlalu cantik. Oey lebih menyukai Aria untuk dijadikan bini. “Kalau itu bener jadi kenyataan, nyang artinya neng jadi bini saya, tentu bakalan saya kasih semua-mua yang neng kepengen. Neng bakal punya duit banyak ama segala rupa benda,” tulis Gibran.

Aria menolak. Bahkan dengan meludahi Oey Tambah Sia. Aria kemudian dibunuh oleh kaki tangan pemuda kaya raya tersebut, Piun dan Sura yang terlanjur panas. Jenazah Aria yang hanya ingin menjadi 'babu' dibuang ke rawa. Bak terkena karma, Oey pun beberapa tahun setelahnya dihukum gantung pada 1873 karena ketahuan membunuh seseorang pria karena cemburu bininya didekati seorang pria.

Asal-usul 'babu'

Sebagaimana diungkap Hairun Salim H.S dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Dari Babu Ke Pekerjaan Rumah Tangga (2013), istilah 'babu' kesohor digunakan sebelum perang kemerdekaan 1945.

“Saya mencatat, di antara kata yang tak lagi dipakai itu adalah ‘babu': perempuan pembantu rumah tangga, demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), yang kurang-lebih meneruskan pengertian yang dikemukakan W.J.S. Poerwadarminta (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1952) sebagai hamba perempuan, yang mengurus kamar, menyusui anak, mencuci.”

Babu di zaman Belanda (Sumber: Wikimedia Commons)

Kendati demikian, kata babu nampaknya telah menghilang karena jarang digunakan. Banyak orang yang menyakini istilah ‘babu’ mengandung unsur antikemanusiaan yang berat. ‘Babu’ dikenal luas sebagai istilah yang merendahkan dan diskriminatif, sehingga layak disingkirkan dari tutur kata orang beradab.

Untuk detailnya, kami mencoba menghubungi antropolog Universitas Negeri Makassar, Dimas Ario Sumilih. Dimas menjelaskan, kata 'babu' erat kaitannya dengan masa sebelum kemerdekaan, tepatnya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811).

“Pada masanya, dibangunlah jalan poros di Pulau Jawa yang terkenal dengan nama jalan Raya Pos Daendels, Anyer Panarukan. Demi menyelesaikan proyek tersebut digunakanlah pekerja-pekerja yang kemudian dinamakan sebagai 'babu.' Sehingga 'babu' pada saat itu diartikan sebagai pekerja bumiputra yang dikerjakan secara paksa. Oleh sebab itu, 'babu' menurut saya ada kesamaan pengertian dengan budak. Keduanya sama-sama adalah para pekerja kasar, dan pekerja paksa,” ucap Dimas yang dihubungi VOI, 12 Juli.

Maka, budak maupun 'babu' cenderung bekerja untuk perorangan atau keluarga dan kelompok tertentu. Mereka dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja kasar atas kemauan pemiliknya, sampai akhirnya beberapa di antara mereka dapat diperjualbelikan mengikuti tren pada zaman tersebut.

Karena itu, Dimas mengungkap jikalau 'babu' dimaknai lebih luas, terkedang orang-orang harus melirik kepada lingkungan mereka sendiri. “Terkadang kita tak menyadari bahwa boleh jadi kita ini adalah 'babu' atau budak bangsa-bangsa lain. ketika kita tidak mengendalikan, misalnya hedonisme maupun foya-foya. Hal itu menurut saya bagian dari perbudakan atau perbabuan yang terselubung.”

Sebab, dalam gaya hidup hedonisme, hal yang paling dibutuhkan tak lain perihal pemenuhan dan pemuasan. Kalau kondisinya demikian, tak heran secara terselubung mereka yang melanggengkan hedonisme dapat dikatakan sebagai 'babu' dari alat-alat pemuas itu, atau bahkan 'babu' dari bangsa-bangsa yang memonopoli alat-alat pemuas tersebut.

“Oleh karenanya, tokoh-tokoh bangsa, utamanya pada masa lalu, Bung Karno, memberikan wejangan dan peringatan, bahwa jangan sampai kita menjadi 'babu' di negeri sendiri, atau di antara bangsa-bangsa yang ada. Arahnya antara lain ke sana, dan itulah pentingnya kita membuka makna-makna yang lebih luas,” tutup Dimas.