Kali Pertama Sepeda di Hindia-Belanda
Ilustrasi foto (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Jika ada salah satu hikmah yang dapat diangkat dari pandemi COVID-19 barangkali adalah perkembangan pesat gaya hidup bersepeda. Sebutlah ini hanya tren musiman. Namun, tetap saja patut disyukuri. Jika melihat gelombang tren serupa di 2012, tren bersepeda kala itu menyisakan banyak orang yang hingga hari ini tetap mengayuh di keseharian mereka. Menarik ke belakang. Sejatinya sejak kapan sepeda masuk Indonesia?

Aspek lingkungan hidup jadi yang paling tertolong. Pegiat lingkungan hidup, Anton P. Widjaya, mengatakan, fenomena virus dari Wuhan setidaknya telah menyadarkan orang-orang bahwa semesta sesungguhnya memiliki kekuatan dan kemampuan dalam melindungi kehidupan kita sebagai manusia. Bagi pesepeda, COVID-19 mengajarkan untuk lebih menikmati waktu dengan bersepeda sembari turut serta menjaga lingkungan.

“Dalam konteks inilah masyarakat memberikan kesempatan kepada alam lingkungan untuk bernafas, memulihkan daya dukung, daya tampungnya, dan meningkatkan resiliensi ekologisnya,” katanya kepada VOI, beberapa waktu yang lalu.

Dari sisi putaran ekonomi, tren bersepeda juga membawa berkah. Ditulis Kompas.com, permintaan sepeda mengalami lonjakan pesat. Produsen sepeda lokal dalam negeri, PT Roda Maju Bahagia (RMB) yang memproduksi merek Element MTB, Police Bike, Camp, Ion, dan Capriolo sudah berhasil mengantongi sekitar 50 persen realisasi penjualan dari total target volume penjualan yang ingin dikejar pada tahun ini. Dan ini baru bulan kelima.

Masuknya sepeda ke Indonesia

Seorang pribumi dengan sepedanya (Sumber: Commons Wikimedia)

Sepeda jelas bukan barang baru bagi orang Indonesia. Sepeda telah masuk ke Nusantara sejak Indonesia masih bernama Hindia-Belanda, di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Achmad Sunjayadi dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019), mencatat sepeda yang dalam bahasa Belanda disebut "fiets" atau "wielrijder" (pengendara roda) telah dikenal sejak zaman nenek moyang. Kala itu, di abad ke-19, sepeda masih akrab disebut velocipede.

“Sebuah artikel dalam surat kabar yang terbit di Batavia pada 1887 menyebutkan pertunjukan di Schouwburg, Batavia akan menghibur masyarakat pencinta olahraga. Seorang wielrijder W.S Maltby dan peseluncur R.J. Aginton dari Australia akan tampil,” tulis Achmad.

Dalam perkembangannya, velocipede mulai dilupakan seiring kehadiran sepeda dengan ban karet berisi angin bernama rijwiel pada 1890. Atas dasar itu, bersepeda menjadi kegemaran baru warga dunia, termasuk Hindia-Belanda.

Meski begitu, terkait kapan tepatnya sepeda masuk masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Tapi, sepeda telah diperkirakan masuk ke Hindia-Belanda sekitar tahun 1890-an.

“Sepeda atau kereta angin dalam bahas Melayu menurut The Straits Independent and Penang Chronicle (21 April 1894) diperkenalkan di Asahan, Sumatera Utara oleh seorang Eropa yang bekerja sebagai manajer perusahaan tembakau pada akhir 1894.”

Ada pula yang menganggap kehadiran sepeda telah ada sebelum tahun 1894. Hal itu dibuktikan dengan adanya berita di surat kabar Java Bode (1890). Dalam berita tersebut diceritakan perjalanan seorang pria tak dikenal dari Batavia ke Buitenzorg (Bogor) pada Hari Paskah, 7 April 1890.

Kemungkinan besar, seorang pengendara itu merupakan orang Eropa (Belanda). Buktinya terletak pada tujuan pengendara sepeda yang tertulis dalam surat kabar: een klein gedeelte van ons schoon insulinde te doorkruisen (melintasi sebagian kecil insulinde kita yang indah).

Sepeda sebagai gengsi

Kepemilikan sepeda di Hindia-Belanda ketika itu masih terbatas. Hanya kelompok tertentu, macam pejabat kolonial, bangsawan, misionaris, hingga para saudagar kaya yang memiliki sepeda. Kepemilikan sepeda meluas tepat ketika masa tenang Perang Dunia I. Kala itu, kantor-kantor dagang dari berbagai negara Eropa mondok di Hindia-Belanda.

Mereka memasarkan sepeda-sepeda di kota besar, seperti Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Banjarmasin, dan Makassar. Hal tersebut diketahui melalui sejumlah iklan enamel --iklan yang terbuat dari pelat besi berlapis cat enamel-- dari merek terkenal.

“Merek tersebut seperti Fahrrad, Opel, Batavus, Gazell, dan Raleigh, yang tersebar di seluruh Indonesia sekitar tahun 1930-1939. Sepeda-sepeda buatan Eropa itu dikirim ke Indonesia menggunakan kapal api berbahan bakar kayu atau batu bara, belum menggunakan kapal berbahan bakar minvak,” tertulis dalam buku Piet Onthel (2011).

Mereka yang jadi konsumen sepada-sepeda buatan luar negeri kebanyakan berasal dari pejabat kolonial. Sepeda tersebut dijadikan alat transfortasi untuk mendukung kelancaran pemerintahan pada tanah jajahan. Sepeda dijadikan inventaris penting kala itu.

Ilustrasi foto (Sumber: Commons Wikimedia)

Selain pejabat kompeni, mereka yang menggunakan sepeda terbatas pada pastor, bangsawan hingga pedagang kaya. “Harga sepeda seperti Gazalle, pada waktu sangat mahal, hampir setara 1 ons mas --setara Rp25 juta. Oleh karena itu, masyarakat biasa hanya mampu membeli sepeda bekas atau menunggu sepeda turun.”

Kalaupun ada orang Eropa yang melihat kalangan bumiputra biasa menggunakan sepeda, tak jarang mereka langsung mendapatkan diskriminasi. Gambaran tersebut direkam oleh Iksaka banu dalam cerpennya yang terangkum dalam buku Teh dan Penghianat berjudul Di Atas Kereta Angin (2019).

Seperti sebuah cerita dalam tulisan kami, "Sejarah di Balik Sebutan Jongos: Puja-puji dalam Kelamnya Diskriminasi". Diceritakan, ada seorang Eropa baik hati yang meminjamkan sepeda kepada jongosnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, tindakan tersebut mengganggu pikiran seorang sanak-famili Eropa yang baru datang dari luar kota.

“Nah, mengapa bujangmu naik fielts (sepeda) dan memakai pantalon Eropa? Bukan kelompok kita --orang Eropa-- saja yang akan tersengat melihat hal semacam itu. tapi juga para bangsawan bumiputra. Bagi mereka pantalon dan sepatu adalah pembeda kedudukan antara priyayi dan kawula. Jangan membuat mereka merasa terhina,” tulis Iksaka.

Untungnya, ketika Jepang berkuasa, pandangan bernada rasis seperti di atas tak ada lagi. Pada masa itu, orang Eropa atau Indo-Eropa yang sebelumnya menganggap dirinya berada di posisi istimewa, saat Jepang masuk justru menduduki peringkat paling bawah.

Kiranya, hal itu yang membuat sepeda paripurna sebagai transportasi yang merakyat. Bagaimana tidak, mulai dari kelas atas hingga kelas bawah tampak nyaman beraktivitas menggunakan sepeda. Uniknya, wujud itu pun dapat dilihat oleh khalayak luas dalam penggalan lirik lagu rekaan Iwan Fals, Guru Oemar Bakri (1981):

Laju sepeda kumbang di jalan berlubang,

Selalu begitu dari dulu waktu zaman Jepang,

Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang,

Banyak polisi bawa senjata berwajah garang.