Sejarah di Balik Sebutan Jongos: Puja-puji dalam Kelamnya Diskriminasi
Para pelayan pribumi sedang melayani tamu (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Jongos. Apa yang terpikir di kepala ketika mendengar kata tersebut? Apapun yang Anda pikirkan, jangan pernah sembarang menyebut seseorang dengan kata tersebut. Kami meriset sejarah panjang tentang kata jongos. Ada makna kelam mendalam di balik kata itu. Meski di sisi lain, sejarah juga mencatat nada baik dari kata jongos.

Prinsipnya, jongos diasosiasikan untuk menyebut pembantu rumah tangga laki-laki. Sebutan jongos populer di masa kemerdekaan Indonesia masih mimpi. Qaris Tajudin, dalam tulisan di Majalah Tempo, Jongos, Babu, Pembantu (2012), menjelaskan, kata jongos mengandung unsur antikemanusiaan yang berat. Serat pahit feodalistik plus kolonialisme melekat erat dalam kata tersebut.

Jongos, secara makna begitu kelam. Bukan hanya diskriminatif, tapi juga merendahkan kemanusiaan. Kami menghubungi sosiolog dari Universitas Negeri Makassar, Dimas Aryo Sumilih. Ia menjelaskan, kata jongos berasal dari sebutan "jong", semacam kapal layar kuno (jung) dari Jawa yang biasa digunakan pelaut dan saudagar-saudagar untuk mengangkut rempah.

Keberadaan kapal "jong" sendiri telah dikenal sejak dulu, bahkan terpahat pada relief Candi Borobudur dalam bentuk perahu bercadik. Ciri khas dari kapal jong adalah layarnya yang dibuat dari tikat tenun dan diperkuat oleh bambu. Oleh masyarakat Jawa, pohon bambu dikenal memiliki peran penting yang mengandung makna “perjuangan”.

“Berdasar uraian itulah, kapal ‘jong’ akhirnya dimaknai sebagai simbolisasi dari sikap kerja keras, pantang putus asa, dan berani mengambil risiko (berani mati), layaknya “sang kapal” yang siap mengarungi samudera. Sikap inilah yang menjadi jiwa dan semangat bagi para 'jongen' atau 'jonges', yang mana dalam Belanda 'jongen' berarti anak laki-laki,” ucap Dimas.

Singkat cerita, bermuaralah konsepsi antara kapal jong dan jongen ke dalam makna kata "jongos". Atas dasar itu, sikap pantang putus asa, kerja keras, dan berani mati melekat pada insan-insan pemuda. Dalam perspektif ini, makna kata jongos mirip dengan sebutan "bung". Keduanya sama-sama menghadirkan nada semangat dan perjuangan. Meski begitu, latar belakang pembentukan makna dan filosofi antarkedua kata jelas berbeda.

“Insan-insan pemuda dan petarung pada ‘jongos’ lebih mengandalkan pada aspek kerja keras dan berani mati secara fisik. Sementara, ‘bung’ lebih mengedepankan sanjungan dan penghormatan atas jiwa muda yang gigih serta visioner menggunakan kematangan berpikir.”

Tak heran, nahkoda beserta awak-awak anak buah kapal ‘jong’ kemudian disebut ‘jongos.’ Lalu, sebutan jongos pelahan berkembang. Dari lambung kapal ke setiap tempat. Kata jongos meluas melabeli setiap pelayan-pelayan pribumi.

Ilustrasi foto (Sumber: Commons Wikimedia)

Pujian terhadap jongos

Acmad Sunjayadi, dalam buku Pariwisata di Hindia-Belanda 1891–1942 (2019) menceritakan kisah tentang pelancong asal inggris, W.B Worsfold yang amat mengagumi jongos. Jongos yang cekatan memberi kesan menyenangkan dalam kunjungan pertama Worsfold ke Hindia-Belanda pada 1892.

“Jongos pribumi sangat cekatan dan bersedia melakukan perintah tamu. Bahkan biasanya timbul bencana gara-gara mereka terlalu rajin. Ia pun menambahkan jikalau penduduk di kota-kota besar dan semua jongos di hotel-hotel dan di rumah-rumah dapat berbahasa Melayu yang merupakan bahasa untuk berkomunikasi antarmereka dengan orang Eropa,” tulis Achmad.

Itulah mengapa banyak pelancong berharap ada jongos yang dapat menguasai bahasa Inggris agar komunikasi semakin lancar. Saking spesialnya jongos, lembaga pariwisata bentukan pemerintah kolonial, Batavia Vereeniging Toeristenverkeer memasukkan mewahnya pelayanan jongos pribumi dalam jamuan makan spesial rijsttafel pada hotel mewah di Batavia (Jakarta).

“Salah satu dari sekian banyak hal yang paling luar biasa dalam kehidupan hotel di Jawa adalah rijsttafel. Jamuan ini dilangsungkan pada waktu makan siang dengan cara menarik yang hanya terlihat di koloni Belanda dan Singapura. Piring-piring diserahkan bergilir oleh para pelayan pribumi, dengan kaki telanjang memberikan pelayan dalam diam. Mereka mengenakan pakaian potongan Semi-Eropa yang dikombinasikan dengan sarung Jawa,” tertulis dalam buku panduan wisata, Java the Wonderland (1900).

Tak hanya sebagai pelayan hotel. Mereka yang bertugas di kapal-kapal Eropa yang menuju ke Hindia-Belanda juga turut disebut jongos. Bagaimanapun, jongos adalah sehandal-handalnya pelayan. Penulis legendaris Eduard Douwes Dekker atau yang dikenal dengan nama pena Multatuli menceritakan sebuah kisah tentang jongos dalam bukunya Max Havelaar (1860), Multatuli menuliskan kisah cinta tragis dua orang bumiputra, Saidjah dan Adinda dalam satu fragmen.

Dikisahkan, Saidjah yang ingin mewujudkan mimpinya mempersunting Adinda, memilih untuk merantau ke Batavia untuk menjadi jongos. Saidjah pun kemudian berjanji kepada Adinda, “ketika aku kembali, kita akan sudah cukup usia untuk menikah dan punya dua kerbau.”

Baru sampai di Batavia, Saidjah mendapat pekerjaan sebagai jongos yang bekerja untuk tuan tanah. Tak lama kemudian, “majikannya bahkan sangat menyukai Saidjah, sehingga segera mengangkatnya menjadi pelayan rumah, menaikkan gajinya, dan selalu memberikan hadiah untuk menunjukkan bahwa pelayanannya sangat memuaskan,” cerita Multatuli.

Walau hidup Saidjah mulai nyaman, ia bersikukuh ingin menepati janjinya menikahi Adinda. Saidjah pun melepaskan pekerjaannya sebagai jongos dan memilih pulang dan membawa uang yang cukup untuk membeli tiga kerbau. Nahas, Adinda ternyata tak akan pernah ditemuinya.

Tersiar kabar Adinda dan ayahnya telah pergi dan bergabung dengan pejuang melawan tentara Belanda di Lampung. Saidjah pun mengikuti jejaknya. Namun, Saidjah malah mememukan Adinda telah meninggal dengan tubuh penuh luka setelah diperkosa tentara Belanda dalam pertempuran.