Asal-usul Kata Pribumi dan Mentalitas Inlander
Ilustrasi (Foto: Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Dalam perbincangan sehari-hari, kata pribumi bukanlah suatu istilah baru. Baik itu dalam tataran masyakat hingga pejabat, sering kali mendefinisikan orang Indonesia atau yang seperti tokoh bangsa HOS Tjokroaminoto sebut bumiputera, sebagai kaum pribumi. Otomatis, kata pribumi merasuk layaknya sebuah warisan kolonial rasis yang tetap lestari hingga hari ini.

Padahal, sejarah jelas-jelas mencatat kelahiran kata pribumi, tak lain lahir dari rahim penjajahan Belanda. Kala itu, Kompeni dengan percaya dirinya membuat kasta yang berwujud klasifikasi rasial penduduk di Hindia-Belanda. Sekilas, bentukannya tak seperti sistem kasta yang ada di agama Hindu. Sebab, Kompeni hanya membaginya ke dalam tiga tingkatan sesuai dengan Undang-Undang Kolonial tahun 1854.

Sebagaimana yang diungkap oleh Sejarawan JJ Rizal, isi dari UU menunjukan warga negara Hindia-Belanda nomor satu jatuh pada kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga negara nomor dua milik Kalangan Vreemde Oosterlingen –Timur Asing—yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Dan warga negara nomor tiga, yakni inlander atau pribumi, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal, terlebih lagi mereka beragama islam.

Oleh karenanya, pembagian kelas dalam UU Belanda yang menempatkan Orang Indonesia menjadi warga negara kelas tiga, membuat kata pribumi menjadi tak memiliki keistimewaan. Itulah mengapa era kolonial menjadi pematik utama langgeng sindiran pribumi atau inlander “Narasi rasis deskriptif itulah yang secara sosial budaya masih eksis hingga hari ini.”

Tak heran, Kamus Merriam-Webster, telah mencatat kata inlander sebagai istilah yang telah digunakan sejak tahun 1610. Berdasarkan kamus, istilah inlander terdiri dalam dua unsur, yaitu inland dan imbuhan –er yang bermakna “orang yang tinggal di inland.” Sedangkan inland sendiri diartikan sebagai suatu wilayah yang mungkin semacam dusun, atau kampung.

Oleh sebab itu, wajar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun menyerap kata inlander sebagai sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia oleh orang Belanda pada masa penjajahan. Buktinya, dapat melirik ke zaman awal Belanda menaklukkan Jayakarta dan mengganti menjadi Batavia pada 1619.

“Gubernur Jenderal VOC (1619-1623 dan 1627-1629), Jan Pieterszoon Coen sangat menyenangi orang Cina, yang dinilai rajin, tidak kenal lelah, dan sangat terampil. Dan, ia menganggap rendah pribumi, yang dikatakannya malas, tak mudah diatur, dan tidak dapat dipercaya,” ungkap Alwi Shahab dalam buku Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2002).

Boleh jadi pendapat Coen terkait pribumi ialah yang paling dikenal. Namun, jauh sebelum Coen, pandangan yang merendahkan orang Indonesia sudah dimulai pada dekade pertama abad ke-17. Alkisah, orang eropa yang selalu terancam akan kehilangan nyawa dan harta ketika berada di bumi Nusantara menjadi penyebabnya. Buahnya, mereka menyebut orang Indonesia sebagai inlander.

Bernard H.M Vlekke dalam buku Nusantara (1961), mengungkap seorang penjelajah Inggris bernama Edmund Scott disebutkan telah banyak menulis terkait pengamatan akan penduduk lokal di Banten pada 1603-1665. Dalam catatannya, Scott menyamaratakan orang Indonesia malas-malas. “Mereka semua miskin, karena mereka punya banyak budak yang bahkan lebih malas daripada tuan mereka, dan yang makan lebih cepat daripada pertumbuhan lada dan beras mereka.”

Tak hanya itu, Scott pun mengungkap di Banten perkara intrik, rencana jahat, maupun pembunuhan adalah hal yang biasa terjadi. Maka, Scott terkesan terburu-buru menarik kesimpulan, jikalau masyarakat lokal semuanya jahat. Anggapan tersebut kemudian menjalar kepada pedagang Belanda yang datang pada waktu tayang yang sama dengan Scott, mereka yang tak mengerti bahasa dan adat istiadat orang Indonesia ikut-ikutan tak mempercayai dan menganggap rendah orang Indonesia.

Mentalitas inlander

Meski telah memahami sebutan inlander atau pribumi merupakan sebuah ejekan. Pada saat itu, anehnya sebagian orang tetap menganggap bangsa Belanda dan Eropa sebagai bangsa yang berkelas dan hebat daripada bangsa Indonesia. Setali dengan itu, sebagian orang Indonesia turut beramai-ramai ingin bekerja seperti Belanda, Sekolah seperti Belanda, dan berbahasa seperti Belanda.

Tak heran, muncullah yang namanya mentalitas inlander. Mengutip Mustakim dalam tulisan berjudul Inlander (2019) di Majalah Tempo. Mentalitas inlader ialah kalimat yang tepat dalam mendeskripsikan kondisi orang Indonesia yang terlalu mendewakan bangsa Belanda, sehingga mereka ingin mencoba mensejajarkan diri dengan hidup ala Eropa.

“Dari situlah tampaknya mulai muncul bibit-bibit inferioritas, muncul sikap rendah diri, atau muncul mentalitas inlander, kehilangan rasa percaya diri sebagai suatu bangsa yang bermartabat. Sikap tersebut kemudian merasuk dalam diri sebagian besar bangsa Indonesia sebagai bangsa jajahan. Sikap rendah diri semacam itu lalu terwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini.”

Selebihnya, Mustakim yang juga Kepala Balai Bahasa Jawa Timur menekankan akibat dari mentalitas inlander, sebagian di antara mereka telah kehilangan rasa pecaya diri pada kekuatan bahasa dan budaya bangsa sendiri. Parahnya lagi, apa pun yang dimiliki akan serasa kalah hebat, kalah nilai, dan kalah gengsi dibanding bangsa Eropa.

“Sebaliknya, apa pun yang dimiliki bangsa lain di anggap lebih hebat, lebih keren, dan lebih bergengsi daripada milik kita sendiri Karena kita menilai bangsa lain atau orang asing lebih tinggi, dalam hampir segala hal kita pun menghargai mereka dengan "harga" yang lebih tinggi,” tambahnya.

Sedihnya lagi, Belanda memanfaatkan momentum itu untuk memperkaya diri sendiri dan semakin memiskinkan kaum bumiputera. Mereka merampas tanah, mengambil hak empunya tanah, bahkan mereka dipaksa untuk membayar pajak atas tanahnya sendiri.

Jika para pembaca agak kesulitan memahami makna dari mentalitas inlander, hendaknya pembaca sekalian mulai membaca buku rekaan Pramoedya Ananta toer dalam tetralogi Pulau Buru, Bumi Manusia (1980), dalam buku tersebut, terdapat sebuah karakter seorang Indo-Belanda bernama Robert Mellema.

Disitulah Pram mendaulat sosok Robert sebagai seorang yang memiliki mentalitas inlander. Dalam artian, dirinya selalu membenci segala hal yang berbau bumiputera, padahal keturunan. Bagaimana tidak, posisi Belanda dalam hati Robert nyatanya lebih agung, sehingga semua orang Indonesia harus tunduk padanya.

Lewat karakter Robert inilah khalayak menjadi paham, ketidakpahaman akan budaya bangsa sendiri justru akan membuat seseorang memiliki mentalitas inlander. Tak pelak, mereka yang memiliki mentalitas tersebut, agaknya diam-diam melanggengkan anggapan Belanda terkait kaum bumiputera hanya warga negera golongan tiga di Negeri Zamrud Khatulistiwa.