Bagikan:

JAKARTA - Pribumi atau inlander adalah istilah penuh kontroversi. Sejak dulu kala, klasifikasi dari istilah pribumi tak pernah jelas. Satu sisi istilah pribumi dilanggengkan untuk menunjukkan superioritas orang Eropa. Sisi lain, istilah pribumi bersifat diskriminatif dan rasis. Siapa saja yang memiliki kulit gelap, maka dianggap pribumi. Tempat kelahiran juga jadi penentu status pribumi.

Kekaburan itu yang membuat istilah pribumi jadi hina. Pribumi kadang didiskriminasi. Kadang pula, pribumi diperlakukan tanpa keadilan. Berawal dari ditaklukkannya Jayakarta oleh kongsi dagang Belanda VOC pada 1619, istilah pribumi mulai dikenal di Nusantara.

Penaklukkan itu kemudian membuat Jayakarta dibumihanguskan. Setelahnya, dari puing-puing Jayakarta, VOC membangun kota baru. Kota itu kesohor dengan nama Batavia. Bersamaan dengan itu, esksistensi orang Belanda di Batavia mulai terlihat, juga tabiatnya.

Lantas, berdasarkan arsip abad-17, orang Belanda digambarkan begitu diskriminatif dan rasis, terutama kepada etnis lain selain orang Eropa. Akan tetapi, pribumi yang dimaksud bukanlah sekelompok masyarakat dari ragam suku di Nusantara. Pribumi atau inlander diidentikkan dengan warga 'mardijkers'.

Sejarawan Hendrik E. Neimeijer mengungkap kata mardijkers berasal dari kata 'mardicas'. Kata itu oleh Portugis digunakan merujuk orang-orang berkulit hitam dan para budak nasrani yang dibebaskan. Lebih rinci lagi, Mardijkers dalam bahasa Melayu berarti orang merdeka, yang merujuk pada bahasa sansekerta, maharddhika: orang yang dibebaskan dari membayar pajak.

“Di dalam sumber-sumber arsip abad ke-17, kelompok mardijkers atau mardiker, sama dengan inlander. Dengan demikian maka di Batavia abad ke-17 kata inlander belum merujuk pada rakyat Pribumi, bumiputra, atau penduduk asli di Nusantara ini, melainkan terutama merujuk kepada para mardiker,” tulis Hendrik E. Neimeijer dalam buku Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012).

Ilustrasi foto sistem kelas masa kolonial (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Narasi pribumi berkembang dari mardjikers menjadi seluruh penduduk –suku asli— Nusantara dimulai sejak 1854. Istilah pribumi kemudian dimasukkan ke dalam tiga tingkatan warga Hindia-Belanda sesuai Undang-Undang (UU) kolonial tahun yang sama.

UU itu menyebutkan warga negara nomor satu jatuh pada kalangan Europeanen atau orang-orang kulit putih Eropa. Warga negara nomor dua milik kalangan Vreemde Oosterlingen –timur asing— yang meliputi orang China, Arab, India, maupun non Eropa lainnya. Terakhir, warga negara nomor tiga, yakni inlander atau pribumi, yang mana di dalamnya termasuk pula masyarakat lokal, terlebih lagi mereka beragama Islam.

Lebih lengkap lagi terkait klasifikasi pribumi dan mentalitas inlander, kami telah mengulasnya secara panjang lebar dalam tulisan "Asal-Usul Kata Pribumi dan Mentalitas Inlander".

“Memang, dalam status kewarganegaraan, orang Belanda adalah warga negara kelas satu dibandingkan kaum pribumi yang diletakkan sebagai warga negara kelas tiga. Warga negara kelas dua adalah orang-orang Timur asing seperti Arab, Cina, India, dan Jepang. Para kuli dan mandor perkebunan menyebut administratur perkebunan bangsa Belanda dengan panggilan: Tuan Besar,” ungkap Lukman Hakiem dalam buku Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan (2019).

Oleh karenanya, pembagian kelas dalam UU Belanda yang menempatkan orang Indonesia menjadi warga negara kelas tiga, membuat kata pribumi menjadi tak memiliki keistimewaan. Demikian pula, era kolonial itu jadi pematik utama langgeng sindiran pribumi atau inlander. Narasi rasis deskriptif itulah yang secara sosial budaya masih eksis hingga hari ini.

Siapa yang dimaksud pribumi?

Potret pribumi Nusantara (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Belanda di Nusantara terus memainkan perannya sebagai warga nomor satu. Mereka terus mempertahankan identitas “Belanda” dan terus mempertontonkan dominasi mereka. Di otak mereka, Nusantara hanya tanah untuk memerkaya diri. Sementara, niat membangun negeri koloni hampir tak ada. Karenanya klasifikasi penduduk menjadi penting supaya orang yang mendiami bumi Nusantara paham siapa tuannya.

Sastrawan Goenawan mohamad menyangsikan pengklasifikasian itu. Klasifikasi itu, kata Goenawan Mohamad tak pernah jelas. Hal itu karena pribumi tampaknya ditentukan berdasarkan tempat kelahiran. Sedang, Eropa berdasarkan asumsi asal-usul genetik.

Lebih lagi, klasifikasi itu rancu, bahkan kacau. Orang Jepang dapat masuk ke kelompok orang Eropa. Pun perihal orang Tionghoa dan Arab. Kedua suku bangsa itu tercatat telah ada di Nusantara sepanjang 400 yang lalu. Jadi, sangat aneh jika mereka tetap dikategori timur asing, bukan pribumi.

“Dan apa sebenarnya ‘suku’? Kata ini tampaknya dipakai untuk membuat satu kategori baru di bawah ‘pribumi’ dan ‘Timur Asing.’ Ada kesan bahwa satu ‘suku’ mengandung satu identitas budaya, tapi bagaimana menentukan identitas itu tak jelas: jika bahasa dipakai sebagai cirinya, maka ‘suku Jawa’ tak pernah ada. Sebab yang disebut ‘bahasa Jawa’, yang diajarkan di sekolah, sebenarnya hanya bahasa yang dipakai di Surakarta dan Yogyakarta, tapi tidak di Tegal dan di wilayah Banyumas,” cerita Goenawan Mohamad dalam Tulisannya di Majalah Tempo berjudul Minoritas (2007).

Ilustrasi foto pribumi Nusantara (Sumber: geheugen.delpher.nl)

Pun klasifikasi itu erat kaitannya dengan unsur politik khas pemerintah kolonial. Belanda menciptakan kata pribumi hanya untuk menyebut objek yang mereka jajah, sekaligus menegaskan permusuhan. Yang mana, hanya pemerintah kolonial yang memakai kata ini. Tujuannya, untuk melumpuhkan kekuatan rakyat jajahan karena mulai bangkit melawan kesewenang-wenangan penjajah Belanda.

“Karena itu, para pemuda bersepakat pada 27-28 Oktober 1928 membacakan sebuah maklumat Keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda. Kata-katanya tegas: kami putra dan putri Indonesia.... Mereka menyebut ‘kami’ karena ikrar itu ditujukan untuk menyatukan kelompok-kelompok permuda waktu itu, sekaligus menegaskan keberadaan mereka di hadapan pemerintah Belanda. Mereka tak menyebut diri “kami pribumi Indonesia,’ seperti julukan yang diberikan pemerintah kolonial,” imbuh Bagja Hidayat dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Aku, Kamu, Kami, Pribumi (2017).

Terlepas dari polemik istilah pribumi, peneliti asal Australia, Lance Castle memiliki pandangan menarik terkait orang Indonesia. Dalam penelitiannya terkait etnis yang berada di Jakarta, Lance Castle mencapai kesimpulan bahwa dari ribuan pulau yang ada di Nusantara, tanah orang-orang Betawi yang dipilih sebagai tempat Tuhan membuat orang Indonesia.

“Meski demikian, secara paradoks Jakarta juga merupakan satu-satunya kota yang paling Indonesia. Zangwill di Israel merupakan metafora paling tepat bagi Jakarta karena Jakarta adalah sebuah melting pot (panci pelebur), dimana orang Sunda, Jawa, Tionghoa, dan Batak melebur jadi satu,” tutup Lance Castle dalam buku Profil Etnik Jakarta (2007).

*Baca informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya