Bagikan:

JAKARTA - Peran guru begitu sentral bagi tumbuh kembang setiap bangsa. Pun dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di tangan guru, seorang anak dapat tumbuh menjadi insan cerdas sekaligus merdeka. Sayang, Dibalik peran yang begitu besar, hidup guru jauh dari kata makmur. Kisah menyedihkan mereka masih sering kita dengar. Padahal, semelarat-melaratnya guru adalah guru di zaman penjajahan Belanda.

Dalam periode awal abad ke-20, Hindia Belanda memiliki sekitar 15-17 juta anak usia sekolah. Namun hanya 1,2 juta orang yang dapat mengenyam pendidikan, yang artinya hanya sepuluh persen. Dan itupun mereka harus bersaing ketat dengan orang Belanda dan Indo-Belanda. Dalam kondisi itu, menjadi guru adalah salah satu profesi yang paling dibutuhkan.

Profesi guru kemudian menjadi prestise. Profesi guru juga jadi gerbang menuju kemakmuran. Profesi guru diperebutkan. Guru-guru selalu bersaing jadi contoh terbaik baik untuk muridnya. Mereka tak cuma mengajar, tapi mendidik. Guru dikenal sangat disiplin. Guru selalu datang ke sekolah lebih awal dan pulang paling akhir.

Potret guru dan murid masa Hindia Belanda (Sumber: Geheugen.Delper.NL) 

Pendidikan yang ketat nan matang dari guru-guru zaman Belanda ini jadi kunci kemunculan insan-insan cerdas. Sisi buruknya, tak semuaguru hidup dalam lingkaran sejahtera. Guru yang berasal dari kaum bumiputra, terutama. Mereka malang. Apalagi soal gaji.

“Kemudian mulai dirasakan oleh guru-guru pribumi adanya kepincangan dalam soal gaji antara inlander (bumiputra) dengan guru orang Eropa. Gaji pribumi lebih rendah walau ijazah sama. Karena itu tahun 1910 guru-guru pribumi mendirikan organisasi guru bernama PGHB (Perserikatan Guru Hindia Belanda). Organisasi ini didukung oleh seorang Belanda, Van Deventer, anggota parlemen,” tulis Bungaran Antonius Simanjuntak dalam buku Struktur sosial dan Sistem politik Batak Toba hingga 1945 (2006).

Jumlah gaji guru Eropa dan guru bumiputra benar-benar jomplang. Seorang guru berkebangsaan Eropa dapat menerima gaji di atas 100 gulden per bulan. Sementara, gaji yang diterima guru bumiputra cenderung tak menentu.

Pada 1878, guru bumiputra lulusan Kweekschool menerima gaji di atas 75 gulden. Sedang mereka guru-guru bantu sekolah kelas dua mendapat gaji sekitar 20-30 gulden. Jumlah itu, jika disesuaikan dengan biaya kebutuhan hidup bisa dikatakan jauh dari mencukupi.

Gaji kecil guru bumiputra

Potret guru dan murid masa Hindia Belanda (Sumber: Geheugen.Delper.NL) 

Kecilnya gaji guru pada penjajahan Belanda sempat pula dituturkan Presiden Soekarno. Bung Besar menceritakan gaji ayahnya, Soekemi Sosrodihardjo sebagai guru yang hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Bung Karno sekeluarga pun hidup di tengah kemiskinan.

Bung Karno tak punya sepatu. Bahkan Bung Karno tak kenal sendok garpu. Bung Karno mengaitkan masa kecilnya yang tak jauh beda dengan pesulap David Copperfield, yang juga hidup di bawah garis kemiskinan sewaktu kecil.

“Ketiadaan yang keterlaluan demikian ini dapat menyebabkan hati kecil di dalam menjadi sedih. Dengan kakakku perempuan Sukarmini, yang dua tahun lebih tua daripadaku, kami merupakan suatu keluarga yang terdiri dari empat orang. Gaji bapak $25 sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi $15. Dan dengan perbandingan kurs pemerintah  3,60 untuk satu dolar, dapatlah dikira‐kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami. Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Mojokerto,” ungkap Bung Karno, dikutip Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Gaji kecil menjadi pengajar juga sempat dirasakan novelis Achdiat K. Mihardja. Pria tamatan AMS: Algemeene Middelbare School (1929-1932) itu langsung memilih menjadi guru Taman Siswa di Kemayoran, Batavia (Jakarta). Pekerjaannya sebagai guru tak begitu memuaskan Achdiat.

Alih-alih menjadi guru bergaji besar, pekerjaan itu masuk dalam kategori berbahaya. Sebagai guru di Taman Siswa, sekolah bumiputra, gerak-geriknya selalu dipantau intelijen Belanda. Sementara, sebagai penulis, sedikit saja salah tulis, Achdiat bisa dijebloskan ke tahanan.

Imbasnya, Achdiat memilih Hijrah ke Bandung dan membuka warung. Usahanya lumayan maju. Sambil berniaga dia tetap menjadi penulis lepas. Lantaran tulisan-tulisannya itu, Balai Pustaka kemudian mengendus kemampuan Achdiat. Singkat cerita, Achdiat jadi bagian dari Balai Pustaka. Achdiat mendapat gaji cukup besar dibanding ketika menjadi guru di sekolah bumiputra.

“Ya, Achdiat dilamar oleh Balai Pustaka, di tahun-tahun menjelang pendudukan Jepang. Berapa tawaran gajinya? 40 gulden sebulan. Kerja tiga bulan baru diangkat menjadi wakil redaktur kepala dengan gaji 70 gulden sebulan. Besar? Tak seberapa dibanding hasil dagangnya yang bisa dapat untung 150 gulden per bulan. Tapi lumayan dibanding gaji guru Taman Siswa yang hanya 20 gulden,” tulis Hasan Aspahani dalam buku Chairil: Sebuah Biografi (2016).

Kondisi guru bumiputra dalam masa penjajahan Jepang (1942-1945) tak lebih baik. Penyebabnya adalah kekuasaan Jepang di bumi Nusantara yang singkat. Apalagi, kala itu Jepang sedang giat-giatnya membangun armada perang. Maka, tak ada waktu lebih untuk memberikan perhatian khusus kepada bidang pendidikan, terutama nasib guru bumiputra. Jejak Jepang pada dunia pendidikan hanya terbatas pada penambahan bahasa Jepang di sekolah-sekolah.

“Selain itu, sekolah-sekolah diserahkan saja pada masing-masing daerah dan tetap berjalan sebagaimana masa pemerintahan Belanda. Hanya perbedaannya pada waktu itu rakyat sudah menyingkir. Maka sebagian besar sekolah tidak lagi diadakan di kota-kota ataupun di kampung-kampung, dan tidak lagi sedisiplin seperti masa Belanda, melainkan diadakan di mana ada juga guru-guru yang turut menyingkir. Dan sebagai gaji guru-guru maka anak-anak tidak membayar berupa uang, melainkan berupa hasil-hasil bumi, seperti ubi, pisang dan lain-lain,” tertulis dalam buku Sejarah Daerah Sulawesi Utara (1977).

MEMORI Lainnya