Kurikulum Sekolah KH Ahmad Dahlan: Hidupkan Sains Tanpa Bunuh Agama
KH Ahmad Dahlan (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Kiai Haji Ahmad Dahlan memiliki kontribusi besar bagi nusa dan bangsa. Lewat Muhammadiyah, Ahmad Dahlan mengedepankan pembaruan Islam, terutama dalam pendidikan. Di tangannya, pendidikan agama langgeng diajarkan di sekolah-sekolah. Kenapa pendidikan agama di sekolah jadi begitu penting?

Tokoh berjuluk Sang Pencerah mampu membawa pendidikan agana bersanding dengan ilmu pengetahuan umum lain. Yang paling penting, pendidikan agama jadi juru selamat kaum bumiputra lepas dari belenggu kebodohan.

Semasa hidupnya, Ahmad Dahlan melihat pendidikan sebagai sarana perubahan yang strategis. Pendidikan jadi usaha utama dalam mencerdaskan anak bangsa, terutama umat Islam. Dalam perjuangannya, Ahmad Dahlan mengadakan pembaruan pendidikan agama dengan modernisasi sistem pendidikan.

Untuk itu, Ahmad Dahlan memiliki kritik masing-masing terkait sistem pendidikan pondok pesanteren zaman dulu serta sistem pendidikan modern ala penjajah Belanda. Ahmad Dahlan menolak pendidikan pondok pesantren yang hanya semata-mata soal pendidikan agama.

Ahmad Dahlan sadar, tanpa sains modern, tak akan ada perubahan berarti bagi bangsa. Lebih mengkhawatirkan lagi, Ahmad Dahlan tak ingin pendidikan justru melahirkan ulama konservatif dan anti-modernisasi. Alhasil, generasi penerus bangsa berkembang lamban. Kritik Ahmad Dahlan senada dengan yang diutarakan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, yang bahkan lebih memilih menggunakan istilah asrama dibanding mondok.

KH Ahmad Dahlan (Sumber: Commons Wikimedia)

“Sekarang ini pondok semata-mata digunakan untuk pendidikan agama: tapi pada zaman ketika pondok disebut asrama, yang diberikan di rumah-rumah guru yang merupakan asrama bukan saja pengajaran agama, melainkan juga berbagi ilmu. Semua pengetahuan yang diperoleh guru dengan studi, baik agama, ilmu bumi, astronomi, ilmu hukum, bahasa, kesenian, maupun ilmu perang diteruskan kepada anak didik,” tulis Ki Hajar Dewantara dalam tulisannya di majalah Wasita berjudul Sistem Pondok dan Asrama, Itulah Sistem Nasional (1928).

Begitu pula dengan pendidikan modern ala pemerintah kolonial. Pendidikan Belanda, kata Ahmad Dahlan cenderung anti agama. Pemahaman itu membuat Islam seakan-akan serba kemunduran. Islam dipandang tak menjamin kemajuan, memelihara kekerdilan dan kebodohan.

Meski begitu, Ahmad Dahlan mengakui pula banyak manfaat yang dapat diambil dari pendidikan barat. Lantaran itu, Ahmad Dahlan memerbarui sistem pondok pesantren (pendidikan agama) dengan sistem pendidikan modern. Kelebihan masing-masing pendidikan itu digabungkan untuk mengikuti kehendak zaman.

“Dalam melaksanakan pendidikan itu, Muhammadiyah berusaha memajukan dan memperbarui pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan, serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntunan Islam. Muhammadiyah menyusun sistem pendidikan dengan mengintegrasikan pendidikan agama Islam dengan pendidikan umum, pada tiap jenis dan tingkat sekolah,” ujar Sutrisno Kutoyo dalam buku Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Persyarikatan Muhammadiyah (1998).

Pentingnya pendidikan agama

Sebagai upaya mewujudkan pembaruan, Ahmad Dahlan memberi contoh dengan turun tangan langsung membuat sekolah. Ia mengumpulkan dana, menyediakan tanah hingga bahan bangunan. Senapas dengan itu, Ahmad Dahlan terlibat langsung membimbing murid-muridnya, menggabung pendidikan tradisional (pondok pesantren) dan pendidikan Belanda.

“Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah seorang pendidik dan organisator berpandangan maju. Sekedar contoh, Kiai Haji Ahmad Dahlan sejak awal memang berusaha mengkombinasikan unsur-unsur yang baik dari kedua sistem yang ada. Pada 1911, misalnya, ketika ia mulai mendirikan sekolah Muhammadiyah, ia tak memisahkan pelajaran agama dan pelajaran umum. Sebab, Muhammadiyah menyadari bahwa islam memerintahkan kepada umat untuk menuntut segala ilmu yang bermanfaat,” tulis M. Nasruddin Anshoriy Ch dalam buku Matahari Pembaruan: Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan (2010).

Wujudnya, sekolah Muhammadiyah tak lagi memisahkan agama dan sains. Keduanya diajarkan sesuai kebutuhan. Sebab, pada dasarnya pemisahan pelajaran dalam ilmu agama dan ilmu umum adalah akibat dari penjajahan Belanda. Pemerintah kolonial kala itu jadi aktor yang memisahkan urusan dunia dan akhirat. Ahmad Dahlan berpandangan itu bukan pelajaran Islam yang benar.

Pengurus Pusat Muhammadiyah 1937-1943 (Sumber: Wikimedia Commons)

Perlahan Muhammadiyah berkembang pesat. Dalam bidang pendidikan, pada 1925, Muhammadiyah telah memiliki sebuah sekolah guru di Yogyakarta. Selebihnya, ada 14 madrasah dan 32 buah sekolah dasar lima tahun.

Totalnya, Muhammadiyah memiliki 119 orang guru dan 4 ribu murid. Pun dalam hal melanggengkan eksistensi beribadah. Muhammadiyah pada 1935 telah memelihara dan mendirikan 834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum, hingga 1.774 lembaga pendidikan Islam.

“Di antara sekolah-sekolah Muhammadiyah yang tertua dan mempunya kontribusi besar dalam bidang pendidikan adalah: Sekolah Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta, Mu'allimin Muhammadiyah Solo dan Jakarta, Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Zu'ama/Zaimat di Yogyakarta, Tablighschool di Yogyakarta, Kulliyah Muballgih/Muballigat Padang Panjang, hingga HIK Muhammadiyah Yogyakarta,” imbuh Samsul Bahri dalam buku Sejarah Sosial Pendidikan Islam (2020).

Model pembaharuan pendidikan Islam ala Muhammadiyah semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Apalagi, ketika Indonesia telah lepas dari belenggu penjajahan Belanda. Muhammadiyah tancap gas dengan mendirikan banyak sekolah dan madrasah. Pada 1957, jumlah sekolah yang dimiliki Muhammadiyah naik pesat dibanding 1925. Muhammadiyah memiliki 412 madrasah ibtidaiyah, 40 madrasah tsanawiyah, 82 madrasah Diniyah (Alawiyah), 73 Madrasah Mualimin, dan 75 Madrasah Pendidikan Guru.

“Hal yang perlu dipetik oleh insan dan stakeholder pendidikan adalah spirit pelayanan dan pembaharuan KH. Ahmad Dahlan, bukan formatnya. Dalam banyak hal, Pemerintah Indonesia mengadopsi sistem pendidikan Muhammadiyah dalam sistem pendidikan nasional. Kementerian Agama mendirikan madrasah yang di dalamnya diajarkan studi Islam dan sains modern. Dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan di semua jenjang dan jenis pendidikan,” tutup Abdul Mu’ti dalam buku Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan (2016).

MEMORI Lainnya