Pesantren Era Kolonial di Nusantara: Rumah Ideal Belajar dan Melawan Penjajah Belanda
Aktivitas sebuah pondok pesantren di Pulau Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda. (Tropenmuseum)

Bagikan:

JAKARTA - Perlawanan umat Islam acap kali merepotkan Belanda. Dalam Perang Jawa (1825-1830), misalnya. Perjuangan Pangeran Diponegoro banyak dibantu oleh para kiai yang notabene pemuka agama Islam. Mereka menggerakan santri di pesantren untuk angkat senjata melawan penjajah.

Kejadian itu jadi bukti pesantren era kolonial memiliki peran besar menanamkan sikap anti imperialisme dan mencerdaskan. Karenanya, pesantren dianggap muara pendidikan moral dan pengajaran intelektual bersatu padu.

Akses pendidikan di era penjajahan Belanda terbatas. Sekolah-sekolah hanya dibangun untuk memuaskan ‘dahaga’ ilmu pengetahuan orang Eropa atau kaum bumiputra berpengaruh. Artinya, pendidikan tak menyentuh sebagian besar kaum bumiputra. Jelata apalagi. Namun, bukan berarti kaum bumiputra lantas berpangku tangan.

Pemuka agama –ulama maupu kiai—prihatin. Mereka membuat lembaga pendidikan tradisionalnya sendiri. Pesantren, namanya. Pesantren jadi wadah umat Islam di Nusantara untuk dapat belajar ilmu agama.

Kegiatan sebuah pesantren pada masa kolonial Hindia Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Perihal agama Islam dibahas secara luas. Ajaran Islam itulah yang kemudian membuat santri-santri yang belajar menolak penjajahan. Pelajaran terkait anti imperialisme dipadukan dengan pelajaran agama. Pengajaran itu tepat guna. Pesantren jadi medan pembinaan santri mengumandang perlawanan kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Ambil contoh pada Perang Jawa. Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda banyak dibantu oleh pada kiai dan santri. Perlawanan itu terbukti ampuh. buktinya Belanda rugi besar. Apalagi durasi Perang Jawa sendiri cukup lama, yakni lima tahun.

Perlawanan itu membuat Belanda memahami pesantren memiliki andil besar dalam perlawanan. Karenanya, Belanda menjuluki pesantren sebagai tempat lahirnya pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah kolonial di Nusantara.

“Tidak dapat dipungkiri pesantren adalah salah satu tempat vang dianggap oleh pemerintahan Belanda sebagai tempat lahirnya pemberontakan-pemberontakan. Meskipun pada awalnya Belanda hanya memandang sebelah mata. Namun pada akhirnya Pesantren adalah tempat yang berbahaya bagi para kolonial. Meskipun tidak secara langsung melakukan penyerangan, tetapi dalam pesantren ditanamkan ideologi anti penjajah, yang tidak dapat dipungkiri akan melahirkan fenomena besar dalam sejarah.”

“Salah satu contoh keganasan Belanda terhadap pesantren menimpa Kiai Makmur pemimpin pesantren yang kemudian diangkat sebagai Bupati Pemalang yang dibunuh Belanda akibat tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Semasa menjadi seorang santri Kiai Makmur berpindah-pindah tempat mula-mula di Pesantren Godong (Grobogan), pindah ke Pesantren Jamsaren (Solo), dan terakhir di Tebu Ireng (Jombang) pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari,” ungkap Fajriudin Muttaqin dalam buku Sejarah Pergerakan Nasional (2015).

Pendidikan Moral dan Pengajaran Intelektual

Soewardi Soerjaningrat atau yang akrab dikenal Ki Hajar Dewantara ikut memuji sistem asrama, pondok, hingga pesantren pada 1922. Konsep pendidikan itu nyatanya tak cuma mampu memupuk semangat perlawanan dan agama. Namun, pesantren disebutnya bagus sebagai contoh dari pendidikan nasional. Lebih lagi jika pesantren turut memberikan pengajaran intelektual.

Sistem pesantren adalah contoh pendidikan yang merdeka. Pesantren tak bisa disetir oleh penguasa Belanda. Lembaga pendidikan itu bahkan tak mau menerima bantuan Belanda sepeser pun. Mereka lebih baik hidup sederhana, dibanding harus menghamba kepada penguasa zalim.

Lagi pula sistem pondok pesantren memiliki banyak keuntungan. Keuntungan yang paling nyata adalah pengeluaran tidak begitu banyak. Sebab, rumah guru memiliki dua fungsi. Untuk tempat tinggal dan tempat mengajar, alias sekolah.

Selebihnya, karena guru dan murid hidup bersama dalam satu lingkungan, maka pendidikan akan lebih mendalam. Mempelajari tabiat manusia, misalnya. Karenanya, pendidikan moral dan intektual dapat tercerna dengan baik.

Potret ulama pada masa kolonial Hindia Belanda di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Keuntungan itu akan berkali-kali lipat didapat jika sebuah pesantren memiliki seorang kiai yang karismatik. Umumnya, santri ingin mengadopsi tindak-tanduk panutannya –kiai-- dalam menyebarkan kebaikan. Yang paling penting, pesantren terbuka bagi seluruh umat Muslim tanpa memandang status sosial. Semuanya diterima.

“Dari zaman dahulu hingga sekarang, bangsa kita mempunyai tempat-tempat pendidikan. sekarang tempat-tempat itu disebut pawiyatan atau asrama. Tempat itu adalah rumah saung guru (ki ajar) sekaligus tempat tinggal murid-murid (santri dan cantrik), dan digunakan sebagai tempat untuk mengajar. Karena guru dan murid hidup bersama siang dan malam, tentu saja pendidikan moral dan pengajaan intelektual jadi bersatu padu.”

“Sekarang ini pondok semata-mata digunakan untuk pendidikan agama; tapi pada zaman ketika pondok disebut asrama, yang diberikan di rumah-rumah guru yang merupakan asrama bukan saja pengajaran agama, melainkan juga berbagai ilmu. Semua pengetahuan yang diperoleh guru dengan studi, baik agama, ilmu bumi, astronomi, ilmu hukum, bahasa, kesenian, maupun ilmu perang, diteruskan kepada anak didik,” ungkap Ki Hajar Dewantara sebagaimana ditulis Kenji Tsuchiya dalam buku Demokrasi dan Kepemimpinan: Kebangkitan Gerakan Taman Siswa (2019).