Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 214 tahun yang lalu, 8 juli 1808, Sultan Banten Abunashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin hadiahkan 200 bahar lada kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Herman Willem Daendels. Pemberian itu dilakukan sebagai siasat diplomasi. Apalagi kala itu, Daendels baru menjabat sebagai orang nomor satu di Hindia-Belanda. Komoditas lada jadi bukti bahwa Banten dan pemerintah kolonial memiliki hubungan dekat. Pun sebagai bukti bahwa Banten kesohor sebagai bandar lada Nusantara.

Peranan Kesultanan Banten dalam jalur rempah dunia tak perlu diragukan. Komoditas lada yang melimpah adalah muasalnya. Lagi pula Banten adalah salah satu bandar lada nomor dua Nusantara, di bawah Aceh.

Pedagang-pedagang dari Asia hingga Eropa pun tertarik. Antara lain dari Persia, Gujarat, Malabar, Keling, Pegu, Melayu, China, Turki, Arab, dan Abysinia. Karenanya, Pelabuhan Banten acap kali ramai. Kedatangan kapal-kapal yang akan mengangkut lada laksana tak pernah berhenti untuk terus hilir-mudik. Bahkan, jauh sebelum kedatangan Belanda.

Lada pada masa kolonial Hindia Belanda merupakan komiditas sangat berharga. (Wikimedia Commons)

Komoditas lada yang melimpah adalah muasal Kesultanan Banten meraih keuntungan yang besar. Empunya pemerintahan pun tak segan-segan untuk memerintahkan pendudukan beralih dari kegiatan pertanian untuk menanam komoditas lada. Semuanya dilakukan demi memenuhi permintaan pasar. Kondisi itu kadang dilematis. Penanam lada dalam skala besar nyatanya kerap jadi sumber masalah. Rakyat Banten pernah kekurangan bahan pangan karenanya.

Kesultanan Banten pun sempat resah. Akhirnya penduduk diminta untuk menanam kembali padi dan umbi-umbian. Namun, tetap saja, orang-orang datang ke Banten tujuannya mencari lada. Jadi Kesultanan Banten kembali mewajibkan rakyatnya untuk menanam lada.

“Sekarang mari kita tengok jumlah produksi lada Nusantara setiap tahunnya pada abad ke-17. Penjelajah asal Portugis, Tome Pires yang mengatakan lada Sunda lebih baik daripada lada Cochin, menyebut lada yang dihasilkan setiap tahun kurang lebih berjumlah 1.000 bahar. Di sini, Tome Pires memang tidak secara khusus menyebut Banten. Namun, hasil yang diketengahkannya itu jelas terlampau sedikit bila dibandingkan dengan hasil lada yang diangkut dari pelabuhan Banten.”

“Menurut Sejarawan J.C. van Leur, sekitar 1600-an terjadi pepper-boom. Permintaan lada meledak, berhubung dengan kerasnya persaingan antara pedagang-pedagang Belanda, Inggris, dan Portugis – sementara pedagang-pedagang Tionghoa juga masih memusatkan operasinya di Pelabuhan Banten. Panen lada mencapai 100 ribu-200 ribu zak, dan harganya melonjak dari 10-12 real menjadi 50-60 real setiap 10 zak,” ungkap P. Swantoro dalam buku Perdagangan Lada Abad XVII (2019).

Reruntuhan Keraton Kerajaan Banten. (Wikimedia Commons)

Kekayaan Banten akan lada dimanfaatkan secara maksimal. Lada tak hanya dijadikan komoditas dagang belaka. Sekali waktu, Kesultanan Banten menggunakan lada sebagai alat diplomasi. Entah itu berdiplomasi dengan kerajaan di luar negeri atau di Nusantara.

Lada juga jadi alat diplomasi untuk mendekatkan hubungan antara Banten dan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Sultan Banten Abunashar pernah mengirimkan 200 bahar lada untuk petinggi Hindia-Belanda, Daendels pada 3 Juli 1808. Namun, Daendels baru menerimanya pada 8 Juli 1808. Lada itu kemudian jadi representasi hangatnya hubungan Banten dan Belanda.

“Surat berisi laporan mengenai penanaman lada di Lampung dan masalah pembagian keuntungan dari perkebunan lada serta harga jualnya. Sultan juga mengucapkan terima kasih atas hadiah yang telah diterimanya. Sebagai balasan, Sultan mengirimkan 200 bahar lada, kain sutra, dan sebagainya kepada Daendles,” tulis Sultan Abunashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin sebagaimana dikutip Titik Pudjiastuti dalam buku Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-Surat Raja Banten (2007).

Penggunaan lada sebagai mahar oleh Sultan Ishaq dari Banten kepada Gubernur Jenderal Daendles menjadi nukilan sejarah hari ini, 8 Juli 1808 di Nusantara.