Bagikan:

JAKARTA - Materi ceramah Ustaz Adi Hidayat (UAH) kembali viral. Pendakwah kesohor itu mengungkap narasi Kapitan Pattimura yang dikenal luas sebagai Thomas Matulessy adalah pembelokan sejarah.

Penjajah Belanda ada di baliknya. Sebagai bentuk agenda mereduksi peran Islam, katanya. UAH menyebut nama asli Pattimura justru Ahmad Lussy. Bukan Thomas Matulessy. Ahmad Lussy digadang-gadang UAH sebagai pahlawan beragama Islam. Pemuka agama (kiai) pula. Benarkah narasi yang dilantunkan UAH?

Jagat media sosial Twitter dihebohkan oleh penggalan ceramah dari UAH pada Minggu, 3 Juli. Empunya cuitan @yaniarsim membumbui cerita itu dengan kalimat provokasi. Ia menyebut Islamofobia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda.

Upaya memupuk kebencian dan prasangka terhadap Islam dan Muslim dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan sengaja mereduksi peran dari kalangan pejuang Muslim. Ia pun mencontohkan nama dari Kapitan Pattimura yang dikenal luas sebagai Thomas Matulessy adalah sebuah kebohongan. Sebab, nama yang sebenarnya adalah Ahmad Lussy.

“Islamofobia ternyata sudah ada sejak jaman penjajahan. Membelokkan sejarah seorang pejuang muslim Ahmad Lussy dengan nama Thomas Matulesy. Suatu ketakutan, kebencian, atau prasangka terhadap Islam atau Muslim secara umum,” bunyi dari cuitan akun Twitter@yaniarsim.

Isi penggalan ceramah tak kalah provokatif. UAH tampak melemparkan pertanyaan kepada jema’ah. Ia meminta semuanya untuk melihat kembali kepada lembaran uang Rp1000. Bukan uang Rp1000 baru. UAH merujuk kepada  uang bergambar Kapitan Pattimura yang diterbitkan pertama kali pada 29 November tahun 2000.

Patung Kapitan Pattimura yang berdiri megah di Kota Ambon. (Indonesia Kaya)

Semuanya pun mengenali sosok Kapitan Pattimura yang dikenal luas sebagai Thomas Matulessy. UAH membantah jika nama Thomas Matulessy adalah Kapitan Pattimura. Dalam pandangannya, Kapitan Pattimura itu bermana Ahmad Lussy. Islam pula.

Pembelokan sejarah itu diyakini UAH sengaja dilakukan penjajah Belanda supaya peran Islam tak terdengar. Bahkan, itulah yang kemudian diyakini khalayak luas pada saat ini, Kapitan Pattimura adalah Kristen. Bukan Islam.  

“Saya mau tanya Anda siapa yang mau mempermainkan sejarah kita, sehingga anak cucunya tidak paham tentang para pejuang di masa lalu. Siapa Ahmad Lussy itu, beliau itu adalah seorang pejuang, beliau itu seorang kiai, beliau itu seorang pemimpin pesantren. Beliau arahkan anak-anak santrinya untuk berjuang menegakkan kebenaran di bumi pertiwi ini. Makanya Ahmad Lussy tiba-tiba jadi Thomas.”

“Saya mau katakan bahwa kalau disebutkan Thomas orang tidak ingat orang ini dekat dengan Allah Subhanahu wa ta'ala. Orang ini berasal dari pesantren. Makanya kemudian dibuang nama-nama itu persis seperti orang-orang barat dulu melakukannya. Ibnu Sina jadi Avicenna. Ya Ibnu Rusyd jadi Averroes dan lain sebagainya. Diganti namanya supaya generasi berikutnya tidak ingat bahwa ada orang-orang yang yang ketika mewujudkan kemerdekaan mereka malamnya tahajud. Siangnya puasa bergerilya dan sebagainya,” terang UAH dalam ceramahnya.

Kapitan Pattimura Bukan Ahmad Lussy

Cuitan itu viral. Pun pernyataan dari UAH yang menyebut Thomas Matulessy sebagai Ahmad Lussy menimbulkan kontroversi. Berbagai macam kalangan menilai pandangan UAH keliru bin ngawur. Sebab, dari berbagai macam sumber sejarah yang ada menyebut Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessia atau Thomas Matulessy.

Surat kabar De Curaçaosche courant terbitan Oktober tahun 1818, misalnya. Media massa itu melaporkan awal mula pemberontakan Pattimura hingga berhasil dikalahkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda.

Pemberontakannya berujung kepada eksekusi mati Pattimura bersama Kapitan Anthone Rhebok, Letnan Philip Latumahina, dan Said Perintah (Raja Siri Sori Islam) di luar Benteng Victoria, Ambon, pada Desember 1817.

Narasi laporan tiada satu pun mengungkap bahwa yang mengumandangkan pemberontakan kala itu Ahmad Lussy. Selang 130 tahun kemudian narasi tetap sama. Koran De Nieuwsgier edisi Mei 1955, tetap menulis Thomas Matulessy. Bukan Ahmad Lussy.

Pendapat Sejarawan

Sejarawan Sam Ardi pun angkat bicara. UAH disebutnya tidak cakap dalam mengali referensi bacaan. UAH diyakini hanya menggunakan satu sumber untuk menguatkan dugaan peran Islam yang direduksi dalam lintasan sejarah Indonesia. Referensi itu tak lain buku rekaan Ahmad Mansur Suryanegara berjudul Api Sejarah Jilid 1 dan 2 (2015).

Baginya, niatan empunya buku baik. Lebih lagi, sebagai upaya koreksi sejarah. Akan tetapi buku itu memiliki banyak kelemahan cukup mendasar. Antara lain penggunaan sumber sejarah yang tidak kritis dan tidak lengkap. Artinya klaim UAH tak dapat dibenarkan. Apalagi sejauh ini belum ada sumber yang mengarah kepada nama Ahmad Lussy.

“Dalam sejarah, justru yang menyebut nama Ahmad Lussy yang harus menyebutkan sumber sejarahnya. Jadi jika ditanya penamaan Thomas Matulessia menjadi Ahmad Lussy, orang yang menyebut Ahmad Lussy tersebut yang harus menyebutkan sumbernya karena sampai saat ini belum ada sumber sejarah yang mengarah ke nama tersebut.”

“Dengan tidak menyebut sumber sejarah yang berkaitan dengan pernyataan tersebut, maka akan susah untuk dilakukan tahapan heuristik dan kritik sumber sejarah. Orang yang hidup tahun 2022 bisa sangat percaya diri untuk menjelaskan suatu peristiwa atau tokoh yang hidup ratusan tahun lalu tanpa menyebutkan sumber sejarah itu aja udah aneh,” ungkap Sam Ardi kepada VOI, 6 Juli.

Jawaban dari Sam Ardi dibenarkan oleh sejarawan Christopher Reinhart. Ia berpandangan sejauh ini tiada referensi yang menyebut nama Thomas Matulessy sebenarnya Ahmad Lussy. Reinhart juga mengungkap pandangan perihal Pattimura seorang Muslim juga tak dapat dibenarkan.

Ustaz Adi Hidayat, narasi yang dia kembangkan soal Kapitan Pattimura oleh para sejarawan dianggap tidak bedasarkan ilmu sejarah yang sahih. (Wikipedia) 

Upaya itu tak lebih kepada ajian untuk menonjolkan peran satu golongan belaka. Padahal, banyak golongan yang ikut angkat senjata melawan penjajah. Alias perjuangan melepas belenggu penjajahan Belanda bukan cuma monopoli umat Islam belaka. Bahasa mudahnya, narasi yang dikembangkan UAH terkait Kapitan Pattimura Islam cenderung ngawur.

“Saya sekarang melihat upaya yang cukup sistematis untuk menonjolkan peran satu golongan di dalam historiografi kita. Dan, ini sekarang tidak hanya sekedar ditulis oleh orang awam, tapi juga oleh akademisi-akademisi yang punya gelar doktor dan sebagainya (meskipun kadang bukan dari ilmu sejarah). Nah, sebetulnya penelitian terus menerus terhadap sejarah itu baik, tapi sekali lagi metode sejarah (heuristik, kritik, interpretasi, historiografi) itu harus benar-benar dilaksanakan.”

“Dan biasanya simpulan-simpulan yang cukup meragukan (dan mungkin ngawur) seperti ini muncul kalau dari awal seorang peneliti itu sudah punya tujuan subjektif (misalnya: peneliti ingin menonjolkan peran orang Islam), akhirnya dia hanya akan mencari sumber-sumber yang mendukung tujuannya dan mengesampingkan sumber lain yg menurut dia tidak sesuai. Padahal, penelitian sejarah itu kan harus mencari sumber sebanyak-banyaknya supaya bisa membandingkan sumber,” kata Christopher Reinhart kepada VOI, 6 Juli, menanggapi ceramah UAH soal nama asli Pattimura.