Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 206 tahun yang lalu, 16 Desember 1817, pemerintah kolonial Hindia Belanda menggelar hukuman gantung kepada Thomas Matulessy atau yang lebih dikenal Kapitan Pattimura. Hukuman itu dilanggengkan Belanda di lapangan depan Benteng Victoria, Ambon, Maluku.

Sebelumnya, kuasa penjajah Belanda kerap menyengsarakan rakyat Maluku. Mereka diperas bak sapi perah. Kondisi itu membuat perlawan muncul di mana-mana. Perlawanan Pattimura, misalnya. Perlawanan itu merepotkan Belanda.

Penjajah Belanda --apapun bentuk-- kerap merepotkan rakyat Maluku. Narasi itu terjadi kala maskapai dagang Belanda VOC bubar, kemudian digantikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tabiat menjajah dan menyengsarakan rakyat terus dipertahankan.

Kondisi itu membuat pemuda setempat naik pitam. Rakyat Maluku, utamanya Saparua memilih Kapitan Pattimura sebagai simbol perlawanan. Pemilihan itu karena Pattimura sendiri pernah aktif sebagai bagian dari milisi Inggris kala Thomas Stamford Raffles jadi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Prosesi Lari Obor oleh masyarakat Pulau Saparua Maluku dalam memperingati Hari Pattimura ke-206 tahun pada 15 Mei 2023. (Antara/HO-Onana)

Hasilnya gemilang. Perlawanan yang digelorakan Pattimura kerap merepotkan Belanda. Karisma dan kepemimpinan Pattimura membuat banyak orang di Maluku ikut bersimpati dan ikut melanggengkan aksi perlawanan terhadap Belanda.

Kehebatan Pattimura menyusun strategi perang diakui Belanda. Bahkan, Belanda sempat kewalahan. Penjajah itu hampir saja menyerah karena Pattimura mampu menggelorakan penyerangan kepada kapal-kapal Belanda. Kapal-kapal itu dibakarnya dibakar habis.

Aksi Pattimura lainnya yang paling dikenang adalah kala ia merebut Benteng Duurstede di Saparua. Seisi Benteng pun mampu ditaklukkan oleh Pattimura. Sekalipun dengan persenjataan yang terbatas. Semenjak itu Pattimura terus menjelma bak momok menakutkan bagi penjajah Belanda.

“Pattimura adalah nama samaran Thomas Matulessy yang pernah menjadi sersan mayor dalam tentara milisi Inggris di Ambon ketika Inggris untuk sementara menduduki Kepulauan Maluku. Ketika Maluku diserahkan kembali kepada Belanda pada tahun 1817, Matulessy dan kawan-kawannya diberhentikan dan mereka pulang ke kampung masing-masing. Matulesy mengunjungi Saparua dan bertemu dengan sejumlah pemuda setempat yang sedang dilanda rasa khawatir terhadap kebijakan milisi Belanda.”

Patung Pattimura di tengah Kota Ambon. (Flickr/Franciscus Nanang Triana)

“Adiknya juga tidak luput dari perasaan itu, yang kemudian memengaruhi Matulessy. Kekhawatiran itu bersumber pada kabar bahwa para pemuda akan diangkut secara paksa untuk menjadi serdadu Belanda di Pulau Jawa. Kabar seperti itu menimbulkan bayang-bayang rasa takut. Oleh karena itu, mereka membulatkan tekad untuk menentang kebijakan itu dan mengadakan perlawanan,” terang Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV (2008).

Penjajah Belanda tak kehilangan akal. Perlawanan Pattimura memang membuat mereka gusar. Siasat pun dimainkan. Belanda coba mendatangkan pasukan dari sana sini. Tujuannya jelas. Mereka ingin memutus mata rantai perlawanan Pattimura.

Belakangan Pattimura dan pasukannya kian terdesak. Pun ada yang coba mengkhianati perjuangan Pattimura. Tempat persembunyiannya diketahui lalu dikepung Belanda. Pattimura mau tak mau jadi tahanan Belanda.

Belanda pun memutuskan untuk memberikan hukuman berat kepada Pattimura karena memberontak. Alih-alih mengasingkan Pattimura, Belanda memilih hukuman mati untuk Pattimura. Sosok pejuang itu dan kawan-kawannya lalu dieksekusi hukuman gantung di halaman depan Benteng Victoria, Ambon pada 16 Desember 1817.

“Kemenangan rakyat Saparua mempengaruhi daerah lain untuk menyerbu loji-loji atau pos-pos dagang Belanda di berbagai wilayah Maluku. Tewasnya Mayor Beetjes oleh Pemerintah Belanda dianggap sebagai penghinaan besar sehingga di bulan Oktober 1817, pasukan dikerahkan secara besar-besaran. Selain itu, Pemerintah Belanda juga menggunakan berbagai strategi untuk mematahkan perlawanan.”

“Pemerintah Belanda beranggapan bahwa perlawanan Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus. Di bulan November 1817, Belanda akhirnya dapat menangkap Pattimura, Anthonie Rhebok, Thomas Pattiwael dan Raja Tiow. Oleh Pengadilan Belanda Pattimura kemudian dijatuhi hukuman mati,” tulis Joko Dermawan dalam buku Sejarah Nasional Ketika Nusantara Berbicara (2017).