JAKARTA - 203 tahun yang lalu, atau tepat 2 Januari 1818, Martha Christina Tiahahu, pahlawan nasional Indonesia meninggal dunia. Dalam peta perjuangan melawan penjajah, Marta tak bisa dianggap sepele.
Sebagai gadis pemberani, Martha tak pernah takut kepada penjajah, sekalipun nyawanya menjadi taruhan. Untuk itu, Martha kerap disebut sebagai srikandi dari tanah Maluku.
Berdasarkan sejarah, Martha lahir di Nusa Laut, Maluku pada 4 Januari 1800. Martha adalah putri sulung dari Kapitan Paulus Tiahahu yang dikenal sebagai salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku. DIkutip dari National Geographic Indonesia, meski dengan usia yang begitu muda, Martha memiliki reputasi yang mampu membuat musuh bergidik ketakutan.
Meski mampu membuat musuh ketakutan, penampilan Martha sehari-hari tidak ada yang mencolok. Dia seperti gadis biasa. Rambutnya terurai ke belakang dengan kepala berikat sehelai kain berang (Merah).
Akan tetapi, dalam usia baru 17 tahun, Martha telah mendampingi ayahnya angkat senjata mengusir penjajah. Seperti saat melindungi Pulau Nusa Laut maupun Pulau Saparua pada 1817.
Senapas dengan perjuangan Martha, Kapitan Pattimura juga ikut mengangkat senjata melawan Belanda di Saparua. Yang mana, perlawanan kemudian menjalar ke Nusa Laut dan sekitarnya. Pada peristiwa itu, Martha aktif membakar semangat kaum wanita setempat untuk berani mendampingi kaum laki-laki di medan laga.
Martha, kata L.J.H. Zacharias dalam buku Martha Christina Tiahahu (1981), wanita muda itu sangat berpengalaman dalam pertempuran. Martha disebutkan telah ikut bertempur melawan Belanda sebanyak tiga kali. Bahkan, dari seluruh pertempuran yang diikuti Martha, semuanya dilarang oleh sang ayah. Kendati demikian, larangan itu tak digubris Martha.
“Dalam suasana pertempuran bukan saja ia telah menolong memikul senjata ayahnya, tetapi juga telah ikut serta dengan pemimpin perang mengadakan tarian perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya,” ujar perwira Belanda Verheul yang dikutip Zacharias.
BACA JUGA:
Pada pertempuran tersebut, seorang pimpinan Belanda Richemont dapat dibunuh oleh pasukan Martha. Keungulan strategi membuat pasukan Martha terus mengumandangkan penyerangan.
Belanda yang merasa kehilangan orang terbaiknya tampak tak terima. Buahnya, Belanda menurunkan pasukan penyerangan yang dipimpin oleh Vermeulen Kringer. Belanda terus menyerang habis-habisan rakyat Maluku.
Imbasnya, pertempuran sengit pun tak dapat dihindarkan. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Perlahan-lahan persediaan peluru pasukan rakyat telah habis. Sejurus dengan itu, Vermeulen Kringer memberi komando untuk keluar dari kubu-kubu dan kembali melancarkan serangan dengan sangkur terhunus.
Pada akhirnya, pasukan rakyat mundur dan bertahan di hutan. Lalu seluruh negeri Ulath dan Ouw diratakan dengan tanah, semua yang ada dibakar dan dirampok habis-habisan. Ayahnya, Marha, dan pejuang lainnya tertangkap dan dibawa ke dalam kapal Eversten.
Mereka diinterogasi dan dijatuhi hukuman. Semangat Martha kemudian menurun ketika sang ayah mendapatkan vonis hukuman mati. Sedang dirinya sendiri hanya mendapatkan hukuman buangan ke Jawa. Rasa sedih Martha semakin menjadi-jadi ketika ayahnya dihukum mati pada 17 November 1817. Martha pun semakin terpuruk dan jatuh sakit.
Berkali-kali Martha menolak untuk meminum obat yang diberikan oleh Belanda. setali dengan itu, tubuh Martha kemudian semakin melemah. Karena itu, pada dini hari 2 Januari 1818, Martha menghembuskan napas terakhirnya di tengah perairah antara Pulau Buru dan Manippa. Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya, Martha dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 20 Mei 1969.