Bagikan:

JAKARTA - Jimmy Carter pernah diremehkan sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Ia dianggap gagal memikat rakyat. Kinerjanya pun disanksikan dapat membawa AS terbebas dari resesi ekonomi. Untung Carter bukan tipe pemimpin cepat menyerah.

Carter terus melawan pesimisme itu sepanjang hidupnya. Ia menunjukkan kapasitasnya di dunia politik internasional: jaga perdamaian dunia. Ia berani bersuara terkait konflik Israel-Palestina. Ia mengungkap perdamaian Palestina percuma jika tak melibatkan Hamas.

Kemunculan Carter dalam peta politik AS mengejutkan banyak orang. Namun, tidak bagi keluarganya. Carter memang diberkahi dengan punya keluarga yang menekuni bidang bisnis pertanian. Kondisi itu membuat Carter ikut nyebur dalam bisnis dan berhasil.

Belakangan Carter memilih masuk dunia politik. Jalan Carter masuk politik pun mulus-mulus saja. Ia mampu jadi senator mewakili Georgia. Ia kemudian mampu jadi Gubernur Georgia pada 1970. Laku hidup itu membuat namanya muncul dalam percaturan kontestasi politik tingkat tinggi: Pilpres AS.

Presiden AS, Jimmy Carter (tengah) bersama Presiden Mesir, Anwar Sadat (kiri) dan Perdana Menteri Israel, Menachem Begin di Gedung Putih, Washington DC, AS pada 26 Maret 1979. (Wikimedia Commons)

Partai Demokrat lalu meminangnya jadi capres pada Pilpres AS 1976 dan berhasil. Carter lalu secara mengejutkan muncul jadi Presiden AS. Rakyat AS bak terbagi dalam dua kubu. Kubu yang percaya Carter dapat membantu AS.

Satunya lagi kubu yang pesimis dengan Carter. Laku hidup Carter kemudian dikritik. Apalagi, pidatonya kala terpilih sebagai Presiden AS. Pidatonya dianggap tak bernyawa. Ia dianggap tak mampu mengendalikan inflasi.

Carter coba membuktikan. Ia mampu menurunkan legasi yang baik bagi pemerintahan. Ia jadi pemimpin yang pandai memanfaatkan politik internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Ia menjadi tokoh penting yang mendamaikan Mesir dan Israel dalam perjanjian Camp David pada 1978.

Ia pun terlibat dalam masalah perdamaian lainnya. Laku hidup itu membuatnya banyak menerima pujian dari dunia Internasional.

Presiden AS Jimmy Carter bersama Senator Joe Biden di Wilmington, Delaware pada 20 Februari 1978. (Barry Thumma/AP)

“Namun, dalam kebijakan luar negeri, Carter memiliki pengaruh terbesar. Richard Nixon dan Henry Kissinger telah menciptakan pembukaan hubungan dengan China, tetapi Carter-lah yang menormalisasi hubungan AS-Tiongkok. Kontrol AS atas Terusan Panama telah lama menjadi sumber kebencian dan permusuhan di seluruh Amerika Latin, yang memicu kerusuhan politik yang meluas.”

“Carter mengembalikan kendali atas terusan itu kepada Panama dan meredakan sentimen anti-AS yang mendidih. Carter menegosiasikan perjanjian pelucutan senjata Salt-II dengan Soviet (meskipun tidak diratifikasi oleh Senat). Namun, pencapaian kebijakan luar negeri Carter yang terbesar adalah negosiasinya mengenai perjanjian Camp David, yang tidak pernah dilanggar selama lebih dari 40 tahun dan akhirnya membawa perdamaian antara Mesir dan Israel,” ujar Peter G. Bourne dalam tulisannya di laman The Guardian berjudul Jimmy Carter wasn’t just the Best Former President, He was the Most Successful (2024).

Dukung Perdamaian Palestina

Tindak-tanduk Carter dalam menjaga perdamaian dunia tak pernah berakhir. Ia memang tak punya kekuasaan bak orang nomor satu AS. Namun, ia mampu memberikan sumbangsih dari luar pemerintahan. Ia mendirikan sebuah yayasan pada 1982. Carter Center, namanya.

Carter Center jadi wadahnya berkontribusi mewujudkan perdamaian dunia. Ia merancang agenda untuk meredakan konflik internasional. Ia bertindak bak juru runding andal. Ia jadi penengah dalam konflik perang saudara di berbagai negara.

Langkah Carter mewujudkan perdamaian dunia tak mulus-mulus saja. Ia beberapa kali berseberangan dengan Presiden AS yang sedang menjabat. Ambil contoh kala George W. Bush yang mengusahakan perdamaian Israel-Palestina pada 2008.

Penampilan terakhir Jimmy Carter di hadapan publik dalam usia 99 tahun, saat menghadiri pemakaman istrinya, Rosalynn di Plains, Georgia pada 29 November 2023. (Reuters)

Bush menghadirkan Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleezza Rice, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, dan Presiden Otoritas Palestina, Mahmud Abbas dalam perjanjian damai. Namun, Carter menganggap hal perdamaian akan omong kosong kala AS tak melihatkan kelompok pembebasan Palestina, Hamas.

Hamas dianggap Carter adalah fondasi penting nasionalisme Palestina yang harus dirangkul. Tanpa kehadiran mereka perdamaian takkan terjadi. Alhasil, Carter berangkat ke Suriah pada 2008. Kedatangannya ke Suriah secara langsung untuk berjumpa dengan pemimpin Hamas, Khaled Meshaal.

Pertemuan itu membuat Bush berang. Bush sudah menganggap Hamas sebagai organisasi teroris. Ia menganggap pertemuan Carter dan pemimpin Hamas justru akan mengaburkan cita-cita perdamaian. Namun, Carter menganggap angin saja. Rakyat AS justru berpihak pada Carter. Tiada perdamaian dalam konflik Israel-Palestina tanpa Hamas.

“Negarawan penerima Hadiah Nobel Perdamaian ini memang mengaku tidak mewakili siapa-siapa. Tak juga mewakili kubu Demokrat yang sedang bertarung dalam pemilihan umum. Yang jelas, Carter sangat terganggu oleh model perdamaian yang tidak melibatkan Hamas—yang memperoleh kemenangan mayoritas dalam pemilu Palestina 2006.”

”Masalahnya, Israel dan Amerika menolak menemui seseorang yang seharusnya dilibatkan. Reputasi Carter dalam mendamaikan konflik di seantero jagat tak terbantahkan. Mantan Sekjen PBB, Kofi Annan saja sampai mengatakan, Carter satu-satunya presiden yang mampu menggiring kesepakatan damai antara Israel dan Mesir,” terang Raihul Fadjri dalam tulisannya di majalah Tempo berjudul Jimmy Carter: Mimpi Camp David II (2008).