Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 11 Oktober 2002, mantan Presiden Amerika Serikat (AS) era 1977-1981, Jimmy Carter ditetapkan sebagai penerima penghargaan Nobel Perdamaian. Pemilihan itu dikarenakan Carter aktif dalam upaya perdamaian internasional.

Sebelumnya, Carter dikenal sebagai pencinta damai. Ia jadi otak yang mendamaikan musuh bebuyutan Israel-Mesir. Kiprah itu membuatnya percaya diri ikut hadir jadi juru runding konflik internasional, termasuk lobi Korea Utara (Korut).

Deklarasi berdirinya Israel dikecam banyak pihak sedari 1948. Perilaku Israel yang mencaplok tanah bangsa Palestina jadi muaranya. Kondisi itu membuat Israel jadi musuh bersama banyak negara Timur Tengah.

Israel bak bermusuhan dengan siapa saja. Mesir, salah satunya. Keduanya –Israel dan Mesir-- terlibat dalam konfilik yang panjang. Bahkan, ikut terlibat dalam Perang Enam Hari (1967) dan Perang Yom Kippur (1973).

Jimmy Carter di ruang kerjanya, Ruang Oval Gedung Putih di Washington DC, Amerika Serikat. (Wikimedia Commons)

Tiada yang mau mengalah. Perundingan dianggap opsi yang tak mungkin dilakukan. Namun, semuanya berubah kala AS ikut campur. Kali ini AS bersikap lurus semasa dipimpin oleh Presiden Carter.

Ia dikenal sebagai sosok yang cinta damai. Alih-alih memperkeruh masalah, AS justru mendamaikan kedua negara. Carter mengajak Israel-Mesir berdamai. Negosiasi rahasia yang melibatkan kedua negara dilakukan. Hasilnya kedua negara menandatangani Perjanjian Camp David pada 1978.

Camp Davis sendiri dikenal sebagai tempat peristirahatan Presiden AS di pedesaan Maryland, AS.  Mesir diwakili Presidennya, Anwar Sadat. Israel diwakili Perdana Menterinya, Menachem Begin. Carter lalu sebagai penengah.

Perdamaian itu berhasil dilakukan. Kondisi itu membuat citra Carter sebagai juru damai muncul di mana-mana. Imej itu nyatanya terus terjaga. Bahkan, kala Jimmy sudah pensiun dari jabatan Presiden AS. Carter bahkan mau bertindak jadi juru runding perdamaian Korut.

“Jimmy Carter memang pantas menyandang Hadiah Nobel untuk perdamaian dunia. Ketika masih menjadi Presiden Amerika Serikat, Carter berhasil menyeret dua musuh bebuyutan, Israel dan Mesir, ke Camp David untuk berdamai. Sekarang, sekalipun cuma mantan presiden, Carter membuktikan keandalannya dengan memadamkan sumbu perang nuklir yang sudah dipantik.”

“Adalah diplomasi Carter yang membawa kabar yang sama sekali lain dari Korea Utara. Kim Il Sung, sang pemimpin besar yang selama ini digambarkan sebagai orang yang paling berbahaya dan bakal meledakkan perang nuklir, ternyata juga menginginkan perdamaian. Sebenarnya, perjalanan Carter ke Pyongyang bukanlah misi resmi perdamaian,” ujar Yopie Hidayat dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Kim-Carter dan Pecinta Perang (1994).

Andil Carter sebagai juru damai membuatnya berkali-kali dicalonkan sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian. Namun, Komite Nobel, baru benar-benar menetapkan Carter sebagai penerima Nobel Perdamaian pada 11 Oktober 2002.

Pemberian Nobel itu dikarenakan kiprah Carter yang kerap mencari solusi damai dari konflik-konflik internasional. Ia terus menunjukkan kapasitasnya sebagai juru damai, Sekalipun ia tak lagi menjabat sebagai orang nomor satu AS.

Jimmy Carter yang pernah menjabat sebagai Presiden AS era 1977-1981. (Wikimedia Commons)

Namun, terpilihnya Carter sebagai penerima Nobel Perdamaian diciderai dengan sikap Presiden AS, George W. Bush yang justru ingin berperang di mana-mana. Carter pun disarankan tak usah mendamaikan konflik internasional. Ia cukup diminta membujuk Bush supaya tak menggelorakan perang. Utamanya, kepada Irak yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal.

“Telepon berdering di sebuah rumah di Atlanta pada pukul 04.30 pagi. Dan tuan rumah, Jimmy Carter, terpaksa bangun lebih cepat 30 menit dari waktu bangun tidurnya yang biasa. Namun telepon itu, yang datang dari Norwegia, ternyata membawa sebuah kabar istimewa.”

“Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), ditetapkan sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2002. Laki-laki berusia 78 tahun ini juga mendapat US$ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar),” ujar Bina Bektiati dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pesan Damai kepada Amerika (2002).