Bagikan:

JAKARTA - Sejarah hari ini, 44 tahun yang lalu, 17 Oktober 1979, Bunda Teresa terpilih sebagai penerima hadiah Nobel Perdamaian. Penghargaan itu didapatkan Bunda Teresa karena dedikasinya dalam mengabdikan diri membantu orang miskin dan jelata di Kolkata, India.

Sebelumnya, laku hidup Bunda Teresa untuk membantu kaum papa di Kolkata kesohor di seantero dunia. Ajian itu dilakukan oleh Bunda Teresa sebagai bagian dari mengamalkan ajaran Kristus. Bunda Teresa menyediakan tempat dan ikut mengobati kaum papa.

Tiada yang meragukan pengabdian Anjezë Gonxhe Bojaxhiu (Bunda Teresa) dalam misi kemanusian. Masa mudanya di Makedonia Utara tak banyak diisi dengan kegiatan bersenang-senang. Alih-alih memilih kehidupan menikmati masa remaja sebagai wanita karier, ia justru mengabdikan diri kepada Gereja Katolik.

Misinya jelas. Ia ingin membantu banyak kaum papa. Bunda Teresa memilih jadi bagian dari ordo Sisters of Loreto, Irlandia. Ia dan bersama suster lainnya berangkat ke India untuk melanggengkan tugas suci. Pengabdian itu membuat Bunda Teresa menonjol.

Ia bahkan sempat diangkat sebagai Kepala Sekolah Menengah Saint Mary Kolkata. Hatinya pun berkata lain. Ia merasa pengadiannya dengan menjadi kepala sekolah tak banyak membantu warga Kolkata yang miskin dan terlantar.

Bunda Teresa ketika berpidato usai menerima gelar Doktor Hononis Causa dalam bidang Pelayanan Kemanusiaan dari Walsh University di Troy, Michigan, AS pada 23 Juni 1982. (Wikimedia Commons)

Bunda Teresa pun mencoba menembus batas diri. Ia ingin mandiri dan membantu masyarakat Kolkata secara langsung. Ia pun mendirikan ordonya sendiri pada 1940-an. Missionaries of Charity, namanya. Ordo itu kemudian mendapatkan dukungan dari segenap komunitas Hindu di Kolkata.

Ia diizinkan menempati gedung yang dulunya bekas komunitas Hindu. Semenjak itu Bunda Teresa mengoprasikan gedungnya untuk menampung dan mengobati kaum papa. Narasi itu membuat nama Bunda Teresa kesohor. Pengabdiannya membantu kaum papa didukung banyak pihak. Dari skala nasional maupun internasional.

“Bunda Teresa terpesona pada India sejak beberapa misionaris berkunjung dan bercerita tentang dunia yang eksotis itu di biaranya di Skopje, Makedonia Utara. Pada usia 18 tahun, ia berangkat ke India bergabung dengan suster-suster di Biara Loreto, dari ordo Irlandia, dan cepat menjadi Kepala Sekolah Menengah Saint Mary di Kolkata.”

“Tapi hidup seperti itu terlalu nyaman buat Suster Teresa. Pada 1948, ia mendirikan biara sendiri yang lebih dekat pada prinsip Fransiskan: pelayanan masyarakat di wilayah-wilayah kumuh. la memulai dengan beberapa suster dan sejumlah rupee,” terang Idrus F. Shahab dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Santa Teresa dari Kolkata (2015).

Dedikasi Bunda Teresa diakui oleh dunia. Ia dianggap orang suci. Aksi-aksinya menjaga dan menampung kaum papa dianggap jadi contoh baik bagi kehidupan yang akan datang. Bunda Teresa mengajarkan banyak orang akan kepedulian dan kepekaan terhadap kaum papa.

Bunda Teresa menerima Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia pada 10 Desember 1979 didampingi Ketua Komite Nobel, Profesor John Sanness. (Desert News/Henrik Lauvirik/NTB/AP)

Komite Nobel yang bermarkas di Oslo, Norwegia ambil sikap. Badan itu kemudian memilih Bunda Teresa sebagai penerima penghargaan Nobel Perdamaian pada 17 Oktober 1979. Pun penyerahannya akan dilakukan bulan Desember 1979.

Pemberian Nobel itu membuktikan bahwa Bunda Teresa berhati mulia. Pun Bunda Teresa digolongkan sebagai orang dengan dedikasi tinggi dibidangnya oleh Komite Nobel. Jasa Bunda Teresa kemudian dikenang dunia. Pun pemimpin dunia banyak memuji langkahnya. Bahkan, banyak pula yang segera membantu dengan memberikan sumbangan kepada aktivitas kemanusiaan yang dilanggengkan Bunda Teresa.

“Pekerjaan Anda atas nama anak-anak, pengungsi, orang miskin dan orang sakit telah menjadi inspirasi besar selama bertahun-tahun bagi kita yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Umat manusia berhutang budi padamu atas kontribusimu yang baik dan contoh yang telah kau berikan tanpa pamrih pada orang lain,” ujar Presiden Amerika Serikat, Jimmy Carter sebagaimana dikutip Koran The New York Times, 18 Oktober 1979.