JAKARTA – Memori hari ini, enam tahun yang lalu, 16 Oktober 2017, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyebut rakyat Indonesia dengan diksi pribumi dalam pidato politiknya. Pidato itu dilanggengkan saat ia resmi dilantik jadi orang nomor satu Jakarta.
Diksi pribumi itu memancing kontroversi. Sebelumnya, istilah pribumi pernah dianggap merendahkan hajat hidup orang Indonesia. Istilah itu bermuara dari ejekan penjajah Belanda. Karenanya, kata pribumi dilarang diucapkan di lingkungan pemerintahan Indonesia.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda kerap berlaku rasis kepada kaum bumiputra. Sentimen rasis ditebar di mana-mana. Dari gedung sekolah hingga dalam kereta api. Bahkan, kaum bumiputra disebut-sebut sebagai inlander (pribumi).
Istilah itu sangat menyakiti hati seisi Nusantara. Sebab, penjajah Belanda menggolongkan orang di Hindia Belanda (kini: Indonesia) ke dalam tiga kelas. Kelas satu, orang Eropa. Kelas dua, orang China, Arab dan timur asing lainnya. Kelas tiga yang paling hina dan kerap disamakan dengan kelas binatang, inlander atau pribumi.
Sederet pejuang kemerdekaan banyak tang tak sudi disebut inlander. Mereka lebih memilih istilah kaum bumiputra dibanding inlander. Mereka memahami istilah pribumi telah menjatuhkan martabat seisi Nusantara.
Penggunaan istilah pribumi mulai disangsikan saat Indonesia merdeka. Namun, empunya kuasa tak melarang secara khusus istilah itu. Perubahan baru berlangsung kala Pemerintahan Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie mengambil alih pemerintahan.
Habibie menyebut istilah pribumi dan non-pribumi telah menganggu kesatuan Indonesia. Istilah pribumi --yang mulanya hina-- dan non pribumi kini membawa kesan membeda-bedakan antara satu suku bangsa dan lainnya. Padahal sama-sama besar dan hidup di Indonesia.
Habibie pun ambil sikap. Ia kemudian mengambil gebrakan penting dengan mengeluarkan Instruksi Presiden pada 16 September 1998. Instruksi itu menegaskan bahwa pemerintah Indonesia mulai melarang penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi pada lingkup pemerintahan. Kemudian, narasi itu dikuatkan dengan hadirnya Undang-undang (UU) Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
“PERTAMA: Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.”
“KEDUA: Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh warga negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada warga negara Indonesia baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut,” tulis Instuksi Presiden era Habibie terkait istilah Pribumi- non pribumi.
BACA JUGA:
Istilah yang telah lama dilarang nyatanya dibangkitkan lagi muncul ke permukaan. Orang di balik itu adalah Anies Baswedan yang notabene pejabat publik. Anies malah menggunakan diksi pribumi dalam pidato politiknya setalah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta di acara Selamatan Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta pada 16 Oktober 2017.
Anies menyebut diksi pribumi dengan menggambarkan rakyat Indonesia ditindas, kemudian muncul jadi tuan rumah dinegeri sendiri. Istilah itu kemudian mendapatkan perhatian dari sana sini. Pernyataannya dikecam karena membangkit istilah yang tabu di kalangan pemerintahan. Anies dianggap ingin membeda-bedakan suku bangsa.
“Ketika pidato tadi diletakkan di atas latar belakang suasana pilkada DKI 2017 yang penuh kecamuk kebencian dan politisasi SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan), pilihan diksi pribumi tersebut masuk ke dalam apa yang disebut dog-whistle politics, atau politik peluit anjing, yakni bahasa yang secara sadar dipakai sebagai kode yang bisa memiliki makna berbeda bagi kelompok yang berbeda. Pesan yang disampaikannya mungkin tidak terdengar menyakitkan bagi orang kebanyakan.”
“Tapi di balik itu ia sebenarnya dimaksudkan untuk ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok orang tertentu yang memang sengaja dituju oleh pesan tersebut. Daripada seorang pemenang pilkada yang kemudian tampil menjadi pemimpin bagi seluruh warganya, berkaca kepada kasus tersebut Anies jadi lebih menghadirkan dirinya seperti seorang ahli pokrol bambu yang, sadar atau tidak, berisiko dianggap sedang melakukan politik belah bambu -- pecah belah,” terang Hikmat Budiman dalam buku Sudah Senja di Jakarta (2020).