Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 83 tahun yang lalu, 15 Oktober 1940, film komedi The Great Dictator tayang perdana di New York, Amerika Serikat. Film yang digagas Charlie Chaplin itu disambut dengan gegap gempita. Akting Chaplin memukau penikmat film di seantero dunia.

Ia mampu memparodikan sosok penguasa Nazi Jerman, Adolf Hitler dengan baik. Sebelumnya, Chaplin pernah jadi semesta film komedi dunia. Aksinya dalam film kerap mengundang tawa. Narasi itu membuat Chaplin kesohor dan kaya raya.

Maestro film bisu. Begitulah orang-orang menyebut Charlie Chaplin. Narasi itu ia dapatkan setelah banting tulang untuk eksis di dunia hiburan. Namun, karirnya tak mulus-mulus saja. Chaplin terlahir dari keluarga seniman di Inggris.

Ayahnya adalah seorang seniman serba bisa. Sedang ibunya adalah aktris dan penyanyi. Reputasi keluarganya pun ternama. Namun, dewi fortuna tak selamanya hidup di dalam keluarga Chaplin. Ayahnya meninggal dunia kala Chaplin masih kecil.

Ibunya pun tak luput dari masalah karena kerap sakit-sakitan. Narasi itu membuat Chaplin kecil harus bertarung dengan ganasnya kehidupan. Chaplin yang beranjak dewasa mencoba peruntungan di dunia hiburan.

Charlie Chaplin berpose bersama boneka karakter dirinya di panggung hiburan pada 1918. (Wikimedia Commons) 

Pucuk dicinta ulam tiba. Semesta membawanya bergabung dalam kelompok pantonim Fred Karno Repertoire Company. Pun Chaplin dan Fred Karno kemudian melancong ke Amerika Serikat (AS) pada 1910. Banyak yang kepincut dengan bakat Charlie Chaplin dalam dunia seni peran.

Tawaran untuk menjadi aktor berdatangan. Keystone Flim Company, utamanya. Perusahaan film itu ingin Chaplin jadi bagian dari proyeknya. Chaplin pun setuju. Hasilnya gemilang. Peran demi peran dalam film bisu, utamanya sebagai gelandangan dilakoninya dengan baik. Ia kemudian bak menjelma sebagai raja film bisu.

“Sebenarnya, Chaplin tidak selalu memerankan seorang gelandangan di banyak filmnya. Perannya dapat menjelma sebagai pelayan, pegawai toko, petugas panggung, pemadam kebakaran, dan sejenisnya. Karakternya mungkin lebih tepat digambarkan sebagai orang yang dikucilkan—dijauhi oleh masyarakat yang sopan, tidak beruntung dalam cinta, merasa ahli dalam segala hal, padahal tidak menguasai apa-apa.”

“Dia juga seorang yang teguh, ia mampu meninggalkan kesedihan masa lalu dan dengan riang memulai petualangan baru. Daya tariknya bersifat universal: penonton menyukai kecerobohan, keangkuhan, kebiadaban, dan ketangguhannya yang tak terduga,” tertulis dalam laman Britannica, 4 September 2023.

Kesuksesan itu membuat Chaplin mampu mempunyai studio film sendiri. Narasi itu membuat Chaplin dengan bebas mengembangkan ide cerita film. Keleluasaan Chaplin terlihat kala ia menggarap film The Great Dictator. Ia memborong semua pekerjaan penting. Dari sutradara, penulis, hingga aktor.

Charlie Chaplin ketika berkunjung ke Garut, Jawa Barat pada 30 Maret 1932. (Dok. Ernst Drissen/Hertogenbosch)

Film yang memparodikan Hitler dan Nazi Jerman yang ingin menguasai dunia. Chaplin pun kebagian peran sebagai Adenoid Hynkel yang merujuk kepada sosok Adolf Hitler. Chaplin mampu memparodikan Hitler dari sikap hingga retorikanya.

Hari yang ditunggu pun tiba. Film itu kemudian disambut gegap gempita pada penayangan perdananya di New York, AS pada 15 Oktober 1940. Penayangan itu bertepatan dengan Perang Dunia II yang sedang berkecamuk di Eropa.

“Pada saat seperti itu, pada kenyataannya, orang perlu untuk menonton lebih banyak komedi. Untunglah Chaplin kemudian menghadirkan film The Great Dictator. Sebuah film bak memparodikan kuasa pemerintahan Adolf Hitler di Jerman.”

“Film itu membuat Chaplin sukses besar. Ia kemudian mencoba menaiki tangga sebagai aktor dengan bayaran mahal. Bahkan, Berkat filim itu dia menuntut mereka yang ingin menggunakan jasanya mau membayar kali lipat dari harga sebelumnya,” terang Nandini Saraf dalam buku The Life and Times of Charlie Chaplin (2021).