Tak Ada Obat, Jamu Pun Jadi: Siasat Hidup Kaum Bumiputra Era Penjajahan Jepang
Potret penjual jamu tempo dulu di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kehidupan kaum bumiputra kerap nelangsa di era penjajahan Jepang. Empunya kuasa yang andil dalam Perang Pasifik jadi muaranya. Narasi peperangan membuat segala macam sumber daya alam dialihkan untuk kebutuhan perang. Dari pasokan makanan hingga obat-obatan.

Kondisi itu membawa petaka di seantero negeri. Namun, tak semua orang ingin mati konyol. Segenap rakyat pun ambil inisatif. Kalangan dokter, misalnya. Mereka menyiasati kelangkaan obat-obatan dengan mulai menggunakan ramuan jamu tradisional.

Kehadiran penjajah Jepang melanggengkan dua narasi di Nusantara: untung dan rugi. Keuntungan dari penjajah Jepang adalah naiknya derajat kaum bumiputra yang sudah diinjak-injak sedari lama oleh orang Belanda.

Kaum bumiputra ditempatkan Jepang pada posisi tertinggi. Sedang orang Belanda menempati posisi paling hina, serupa binatang. Suatu posisi yang didulunya ditempatkan penjajah Belanda kepada kaum bumiputra.

Urusan kerugiannya tak kalah banyak. Ekonomi rakyat hancur lebur, alias hidup susah. Kaum bumiputra dipaksa hidup serba kekurangan. Makan sehari-hari jadi susah. Semuanya karena Jepang mengambil pangan rakyat. Pangan itu lalu digunakan serdadunya yang sedang aktif dalam Perang Pasifik.

Ibu-ibu penjual jamu gendong pada masa kolonial di Nusantara. (Wikimedia Commons)

Beras dan jagung yang awalnya melimpah mulai sulit didapat. Kalaupun ada, harganya akan jauh melambung tinggi. Mereka yang kaya dan punya aksesnya saja dapat memperoleh makanan pokok. Mereka yang tak mampu terpaksa putar otak supaya kebutuhan dapat tercapai.

Inisiatif memanam bahan makanan lainnya pun dilakukan. Kaum bumiputra secara mandiri mulai menanam ubi jalar, tomat, bayam, dan singkong di halaman rumahnya. Opsi itu dapat membantu kaum bumiputra bertahan hidup di tengah sulitnya akses makanan.

Masalah gizi yang kurang dipikir belakangan. Asal kenyang, asal dapat melanjutkan hidup, semuanya diyakini lebih dari cukup.

“Penduduk kota tidak lagi bisa membeli baju dengan bebas karena barang ini lenyap dari pasaran. Orang-orang yang cukup kaya memang tidak harus memakai karung goni seperti orang-orang miskin, namun lambat laun celana panjang pun dipotong untuk dijadikan dua celana pendek. Lelaki tua memakai celana pendek berjalan-jalan di jalanan menjadi pemandangan sehari-hari, sesuatu yang amat langka pada masa sebelumnya. “

“Kehidupan menjadi amat berat, karena daya beli masyarakat semakin rendah. Banyak dari mereka yang akhirnya hanya bisa bercelana dari karung goni. Menjelang 1943 rakyat mulai makan jagung dan singkong setiap hari, karena beras berkurang drastis hampir di seluruh kota,” terang Purnawan Basundoro dalam buku Merebut Ruang Kota (2013).

Tak Ada Obat, Jamu Pun Jadi

Kelangkaan makanan bukan satu-satunya masalah yang terjadi di era penjajahan Jepang. Kelangkaan juga terjadi dipersoalan lainnya. Obat-obatan, misalnya. Obat-obatan kian langka karena perang yang dihadapi Jepang. Pasokan obat-obatan dari luar negeri jadi terbatas.

Barang siapa yang sakit pada era penjajahan Jepang sudah pasti merasakan kesulitan mencari obat. Namun, dokter-dokter bumiputra tak menyerah. Kebanyakkan mereka kemudian berinisiatif membuat jamu tradisional. Ajian itu dilakukan untuk menyiasati kelangkaan.

Pengobatan tradisional lewat jamu dianggap efektif. Semuanya karena ilmu tentang jamu telah hadir secara turun-temurun. Pun tiap rumah yang memiliki halaman luas kerap memiliki apotik hidup. Suatu lahan yang ditanami oleh tanaman berkhasiat. tanama itu lalu dapat dikelola jadi jamu.

Narasi itu diamini oleh sosok yang kemudian jadi dokter pribadi Soekarno-Hatta, R. Soeharto. Ia melihat kelangkaan obat-obatan bukan alasan baginya untuk tak dapat berkontribusi dalam bidang kesehatan masyarakat.

Petinggi bangsa –Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Mansur) yang tergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera) meminta R. Soeharto memimpin bagian kesehatan dari organisasi itu. Ia mulai mengangkat derajat ramuan jamu. Ia mulai mendekati banyak pembuat jamu.

Penjual jamu tradisional yang disebut-sebut sebagai tertua di Indonesia, Toko Jamu Babah Kuya di Bandung, Jabar yang sudah beroperasi sejak 1838. (Humas Pemkot Bandung)

Sekalipun ia juga terjun membuat jamu. Pembuatannya itu ia pelajari dari ibunya semasa kecil dulu. Langkah itu diikuti oleh dokter-dokter bumiputra lainnya. Siasat itu dapat mengurangi ketergantungan kaum bumiputra akan obat-obatan barat. Opsi itu membuat pamor jamu kembali melejit.

“Dalam memberikan obat di zaman pendudukan Jepang itu saya sering mempergunakan ramuan jamu berdasarkan resep dari berbagai Kruidenboek, buku rempah obat-obatan, karangan Paesens, Kloppenburg Versteeg dan lain-lain. Untuk menyiapkan ramuannya saya menggunakan tenaga seorang pembuat jamu.”

“Jenis ramuan yang dapat dikeringkan, atau dapat diberikan dalam bentuk bubuk dan pil, serta awet dalam beberapa hari. Tenyata di antara ramuan jamu itu banyak yang mengandung daya antipiretik dan analgesik, penurunan panas dan pereda rasa nyeri, dan banyak pula yang dapat mengurangi atau menghentikan diare, mencret, batuk, dan penyakit lain,” terang R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1984).