Kampanye Gemoy dan Kemenangan Bongbong Marcos di Pemilu Filipina
Presiden Filipina ke-17, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Jejak keluarga Marcos pernah hancur lebur di Filipina. Pemerintahan Ferdinand Marcos dikenal represif, korup, dan pelanggar HAM. Semuanya berubah berkat eksistensi anaknya, Ferdinand Marcos Jr. yang akrab disapa Bongbong, di panggung politik.

Media sosial jadi ladang Bongbong mencari suara untuk jadi Presiden Filipina. Alih-alih hanya mengubah imej ayahnya dari diktator jadi pahlawan, Bongbong mampu memukau rakyat dengan tarian gemoy Bongbong Marcos (BBM)-Sara. Suatu tarian yang membawanya jadi orang nomor satu Filipina.

Reputasi buruk Ferdinand Marcos Sr. sudah dikenal di seantero negeri. Presiden Filipina era 1965-1986 itu dikenal dengan tiga reputasi sekaligus: Diktator, pelanggar HAM, dan koruptor. Kepimimpinannya justru banyak membawa mudarat, ketimbang manfaat.

Marcos mengontrol segala. Antara lain media massa, meneror rakyat, dan membunuh mereka yang tak sejalan dengan pemerintahan. Fakta itu membuat Marcos jadi musuh bersama rakyat Filipina. Kecaman datang dari mana-mana.

Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Filipina, Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr. (X/@bongbongmarcos)

Rakyat Filipina bergerak melawan kediktatoran Marcos. Pucuk dicinta ulam tiba. Marcos akhirnya lengser pada 1986. Diktator itu memilih kabur ke Hawaii dibanding jadi bulan-bulanan rakyat Filipina. Kepergian itu membawa kebahagiaan sekaligus kesedihan dalam satu waktu.

Rakyat Filipina bahagia karena rezim diktator minggat. Sedih juga karena kepergian Marcos membawa serta kekayaan negara berupa uang tunai, perhiasan, emas hingga saham. Kebencian rakyat Filipina nyatanya tak bertahan lama.

Keluarga Marcos justru kembali diterima rakyat Filipina pada 1991. Sekalipun Ferdinand Marcos telah tiada. Pemerintah Filipina berharap keluarga Marcos mau bertanggung jawab akibat kekacauan politik yang ditimbulkan.

Narasi itu bak senjata makan tua. Keluarga Marcos justru mampu melanggang-langgeng masuk politik. Bongbong Marcos, misalnya. Karier politiknya melejit. Ia pernah merasakan hangatnya kursi Gubernur Ilocos Utara era 1990-an. Ia juga pernah menjadi senator dan Menteri Pertanian Filipina.

Kondisi itu membuat Bongbong merasa di atas angin. Ia kian berani mematok mimpi jadi Presiden Filipina seperti ayahnya. Ia kemudian menemukan formula yang tepat: Kampanye media sosial. Kampanye itu digunakannya untuk melaju dalam Pilpres Filipina 2022.

“Filipina juga negara teratas di mana responden mengakui mereka mengikuti pemberi pengaruh (influencer) media sosial. Rata-rata masyarakat global hanya 22,1 persen yang menggunakan influencer sebagai sumber informasi utama. Di Filipina 51,7 persen, bahkan untuk isu politik dan Pemilu. Influencer mengalahkan institusi sah, seperti media, akademisi, dan ormas sipil.”

“Tanpa standar verifikasi pemeriksaan yang baik dan tanpa reputasi yang kredibel, akses yang diberikan kepada influencer untuk menghasilkan konten sangat menentukan dalam penyebaran disinformasi. Inilah yang secara cerdik digunakan mantan Presiden Rodrigo Duterte pada Pilpres 2016, dan kini oleh Bongbong. Karena itu, Bongbong menolak debat di televisi dan tak mau diwawancarai media massa, terutama media arus utama yang menentangnya,” terang Trias Kuncahyono dalam tulisannya di surat kabar Kompas berjudul Medsos dan Kemenangan Bongbong (2022).

Kampanye Gemoy

Media sosial – Facebook, Youtube, hingga TikTok-- bak jadi juru selamat popularitas Bongbong. Mimpinya yang ingin mengembalikan kejayaan keluarga Marcos selangkah menuju kenyataan. Semuanya karena Bongbong mampu menciptakan disinformasi dan mengemas citra gemoy.

Gemoy di sini berasal dari plesetan kata gemas atau menggemaskan. Disinformasi kemudian diciptakan Bongbong dengan merujuk kepada ajian memutar balikkan fakta. Dosa-dosa masa lalu ayahnya mulai direduksi. Ia meletakkan narasi ayahnya seorang pahlawan, ketimbang diktator.

Mesin media sosial yang berisi influencer dari berbagai platform digerakkan. Hasilnya mengagumkan. Misinya menyebarkan disinformasi membawakan hasil. Bongbong  mampu memengaruhi cara pandang pemilih muda kepada rezim Marcos yang notabene tak merasakan hidup di bawah kuasa ayahnya yang berakhir pada 1986.

Fakta itu bukan pepesan kosong belaka. Komisi Pemilu setempat mencatat pemilih terdaftar secara keseluruhan mencapai 65,7 juta. Antara lain lebih dari 37 juta masih berusia 18-41 tahun dan 5 juta termasuk peserta Pemilu baru.

Bongbong pun mulai mengunci kemenangannya dengan kampanye gemoy. Ia dan cawapresnya, Sara Duterte --yang notabene anak Presiden juga-- mulai membuat video tarian bak anak muda. Tarian itu diunggah secara masih dengan narasi tarian BBM-Sara dan merebut hati jutaan anak muda Filipina.

Gestur Bongbong Marcos dalam kampanyenya sebagai Presiden Filipina di Kota Bucaue, Provinsi Bulacan (8/2/2022). (AFP/Ted Aljibe)

Tarian gemoy itu jadi diikuti banyak pesohor media sosial. Siasat itu jitu. Mereka yang sebenarnya tak mendukung Bongbong ikut menyebarkan bahkan ikut menari BBM-Sara. Tarian gemoy itu memenuhi media sosial. Ramuan kampanye gemoy dan disinformasi dijadikan ajian ampuh merebut suara dalam Pemilu 2022.

Ia menang mudah dalam Pilpres Filipina. Bongbong jadi Presiden Filipina terpilih. Kondisi itu membuat rakyat Filipina bak melupakan dosa-dosa kepemimpinan ayahnya. Semenjak itu, dinasti politik keluarga Marcos sebagai penguasa Filipina terus berlanjut.

“Faktor lainnya adalah usia pemilih. Sekitar 56 persen dari 65,7 juta pemilih terdaftar berusia di bawah 40 tahun. Artinya mereka tidak dilahirkan pada masa pemerintahan Marcos Sr, atau terlalu muda untuk mengingatnya. Pakar politik, Teehankee mengatakan bahwa media sosial, dengan mandatnya untuk membuat konten tetap pendek dan ringkas, meratakan sejarah—membuat mitos dan disinformasi lebih mudah tertanam dalam benak pemilih muda.”

 “Anak muda tidak memiliki pengalaman, ingatan, atau pengetahuan apa pun tentang rezim Marcos. Kondisi itu melegitimasi bahwa generasi Milenial dan Gen Z tampaknya menjadi penggerak utama dukungan terhadap Bongbong Marcos di media sosial. Perusahaan survei Pulse Asia juga menemukan bahwa 72% pemilih terdaftar berusia 18-24 tahun mendukung Marcos,” ujar Ella Hermonio dan Chad de Guzman dalam tulisannya di laman TIME berjudul A Dictator’s Son Rewrites History on TikTok in His Bid to Become the Philippines’ Next President (2022).