Dibebani Dosa Masa Lalu, Bongbong Marcos Mulus Jadi Presiden Filipina karena Konstitusi Mengizinkannya
Ferdinand Marcos Jr. atau Bongbong Marcos, melenggang jadi presiden meskipun dibayangi banyak kasus sebagai bagian dari dinasti politik di Filipina. (DW/Artur Widal/Picture Alliance/NurPhoto)

Bagikan:

JAKARTA- Ferdinand Marcos Jr atau yang akrab disapa Bongbong Marcos berhasil memenangi Pemilu Presiden Filipina 2022. Anak kedua dari tiga bersaudara dan satu-satunya putra mantan Presiden Filipina era 1965-1986, Ferdinand Marcos itu mendominasi perolehan suara, mengungguli sembilan kandidat lainnya.

Kemenangan Bongbong Marcos bisa ditebak pada 10 Mei meskipun penghitungan suara belum selesai, namun sudah mencapai 98 persen. Setelah kemenangan Bongbong yang kini berusia 64 tahun resmi diumumkan, itu menandai kembalinya Dinasti Marcos ke panggung teratas politik Filipina.

Pada 36 tahun lalu, ayah Bongbong digulingkan lewat People Power Revolution. Rakyat Filipina yang muak pada kleptokrasi dan kediktatoran Ferdinand Marcos, menggelar demonstrasi besar-besaran di negeri itu sepanjang 22-25 Februari 1986.

Bongbong Marcos dalam sebuah kesempatan kampanye menjelang Pilpres Filipina pada 9 Mei 2022 yang akhirnya dia menangi. (Wikimedia Commons/Patrickroque01)

Kebencian rakyat kepada Rezim Marcos diperparah oleh pembunuhan mantan senator Benigno “Ninoy” Aquino Jr oleh militer Filipina pada 21 Agustus 1983. Ninoy yang merupakan rival utama Marcos dalam perpolitikan Filipina, ditembak saat turun dari pesawat yang membawanya pulang dari pengasingan di Amerika Serikat. Marcos dituding sebagai dalang pembunuhan tersebut, meskipun tidak pernah dapat dibuktikan.

Korupsi, kemiskinan, kediktatoran, kecurangan pemilu, ditambah pembunuhan Ninoy menjadi pemicu People Power Revolution. Marcos pun akhirnya turun tahta, dan melarikan diri ke Hawaii pada 25 Februari 1986 malam bersama seluruh anggota keluarganya, termasuk Bongbong. Berakhirlah kekuasaan Marcos yang sudah berlangsung selama 21 tahun.

Dosa Leluhur

Keluarga Marcos merupakan salah satu dinasti politik di Filipina. Beberapa dinasti politik di Filipina selain Marcos adalah Aquino, Ampatuan, Duterte, Roxas, Estrada, Macapagal, dan Binay. Dinasti Marcos dimulai dari kakek Bongbong, Mariano Marcos yang menjadi senator dari Provinsi Ilocos Norte pada 1925-1931.

Mariano pernah dihukum akibat kasus pembunuhan atas rival politiknya di Ilocos Norte, Julio Nalundasan pada 1935. Pengadilan menuduh Mariano melakukan persekongkolan jahat dengan keluarganya, termasuk Ferdinand Marcos, untuk membunuh Nalundasan. Setelah diadili pada 1938 keluarga Marcos dipenjara selama dua tahun, sebelum dibebaskan pada 1940.

Bongbong Marcos saat masih anak-anak di Istana Malacanang ketika ayahnya, Ferdinand Marcos usai dilantik menjadi Presiden Filipina untuk masa jabatan kedua pada 1969. (Wikipedia)

Mariano oleh keluarga Marcos selalu diagung-agungkan sebagai pejuang yang melawan penjajah Jepang dalam Perang Dunia II. Dalam buku The Marcos Dynasty, dikisahkan bahwa kematian Mariano pada 8 Maret 1945 karena dieksekusi tentara Jepang.

Namun dalam kesaksian seorang mantan tentara Amerika, Robert Lapham, kematian Mariano justru karena dibunuh Gerilyawan Luzon. Mariano dituduh sebagai pengkhianat dengan membantu Jepang untuk memerangi Gerilyawan Luzon yang dilatih Lapham. Mariano akhirnya tewas dibunuh bangsanya sendiri.

Pesan Amerika Serikat

Jatuh bangun dinasti politik Marcos memang dramatis. Kasus-kasus kekerasan, hak asasi, dan kriminal selalu membayangi Bongbong. Namun Konstitusi Filipina 1987 pascakejatuhan Ferdinand Marcos terkesan melindungi kepentingan dinasti politik di negeri itu.

Terlepas dari pengakuan yang luar biasa bahwa dinasti politik melahirkan politik patronase dan korupsi, tidak ada langkah substansial yang dilakukan untuk mengatasi masalah ini di Filipina. Tak heran jika Bongbong dengan begitu banyak kasus yang membayanginya, tetap bisa melenggang ke kursi Presiden Filipina. 

Amerika Serikat sebagai mitra utama Filipina menyikapi kemenangan Bongbong Marcos dengan hati-hati. Melalui pernyataan Menlu Antony Blinken, Amerika mengingatkan soal sisi penting hak asasi di Filipina. Sesuatu yang dikhawatirkan akan tereduksi di era Bongbong nanti, akibat warisan kediktatoran sang ayah.

Ditambah lagi kekhawatiran bahwa Bongbong akan meneruskan gaya otoriter Rodrigo Duterte yang diwariskan lewat putrinya, Sara Duterte sebagai wakil presiden yang mendampingi Bongbong.

“Kami berharap dapat bekerja sama dengan Presiden terpilih Marcos untuk memperkuat aliansi abadi antara Amerika Serikat dan Filipina. Sebagai teman, mitra, dan sekutu, kami akan terus bekerja sama erat dengan Filipina untuk mempromosikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Serta untuk memajukan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka, terhubung, aman, sejahtera, dan tangguh,” kata Blinken seperti dikutip GMA News pada 12 Mei.

Bongbong Marcos bersama kandidat calon Wakil Presiden Filipina yang berpasangan dengannya, Sara Duterte. (Facebook/@Bongbong Marcos)

Amerika Serikat belajar dari pengalaman presiden pendahulu Bongbong, Duterte. Setelah dilantik sebagai presiden pada 2016, Duterte menghina Barack Obama dengan kata-kata kotor setelah Presiden Amerika itu mengangkat soal hak asasi manusia di Filipina.

“Ada beberapa pertimbangan historis yang pada awalnya dapat menyebabkan tantangan dalam komunikasi,” ujar Kurt Campbell, Staf Ahli Gedung Putih untuk urusan Asia.

Hingga 12 Mei pagi, penghitungan suara hasil Pilpres Filipina 2022 menunjukkan Bongbong memenangi 31.103.670 suara. Rival terberatnya, Leni Robredo berada di peringkat kedua dengan selisih sangat jauh, 14.821.724 suara.

Menanggapi segala kekhawatiran bahwa Bongbong akan meneruskan gaya kleptokrasi dan kediktatoran sang ayah, ditambah otoritarian Duterte, dia mengatakan bahwa lebih baik menilai hasil kerja dia nanti ketimbang menghakimi atas dosa masa lalu.

“Nilailah saya melalui hasil kerja dan tindakan saya, bukan dari leluhur saya. Ini adalah janji saya, untuk menjadi presiden bagi seluruh rakyat Filipina,” ujar Bongbong Marcos yang disampaikan juru bicaranya, Vic Rodriguez seperti dikutip BBC.