Ferdinand Marcos Jr Lanjutkan Jejak Sang Ayah Jadi Penguasa Filipina
Presiden Filipina, Ferdinand 'Bongbong' Marcos Jr. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Ferdinand Marcos Sr pernah jadi aib sejarah Filipina. Kekuasaannya membawa Filipina ke titik terendah. Alih-alih mengedepankan hidup pro rakyat, Marcos hanya tahu 'mengenyangkan' petinggi militer. Ajian itu membuatnya dikenang bak diktator. Namun, rakyat Filipina ogah takluk.

Mereka bergerak cepat dengan melengserkan Marcos. Rakyat Filipina pun menikmati kehidupan tanpa rezim diktator. Aneh bin ajaib, setelah tiga dekade, rakyat justru memilih anaknya, Ferdinand Marcos Jr jadi penguasa Filipina baru.

Laku hidup pria bernama lengkap Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos Sr terkenal manipulatif. Ia menyebut dirinya bak seorang pahlawan yang berjasa besar bagi Filipina. Marcos muncul pada garda terdepan selama invasi Jepang di Filipina pada Perang Dunia II.

Ketokohan itu jadi barang dagangan politik. Seisi Filipina menganggapnya bak pahlawan. Pun jalannya menaiki tangga politik Filipina berlangsung mulus. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPR Filipina dari Partai Nacionalista pada 1949-1959.

Ferndinand Marcos Jr berpidato saat kampanye Pilpres Filipina 2022. (Wikimedia Commons)

Kariernya bahkan terus moncer. Ia mampu menjelma sebagai orang nomor satu di Filipina. Jabatan itu dijalaninya dua periode sedari 1965. Kepemimpinannya dianggap mampu membawa angin perubahan.

Narasi itu telah dituangkan Marcos lewat heroisme melawan Jepang. Padahal, di kemudian hari klaim Marcos tak lebih dari penipuan belaka. Semuanya mampu disembunyikan rapat kala ia memimpin. Marcos juga mulai mengontrol media massa hingga sejarah.

Ia menggunakan militer sebagai alat kekuasaan dan meneror rakyat. Barang siapa yang melanggengkan kritik kepada pemerintah akan dilawan. Bahkan, disiksa hingga dibunuh. Kediktatoran itu membuat laju kuasanya bertahan lama.

Rakyat Filipina jadi korban. Kemiskinan menghantui mereka. Tekanan itu membuat perlawanan dilanggengkan. Marcos berkelit. Rezimnya pun menumpas tokoh oposisi, Benigno Aquino. Nyatanya, ajian itu jadi senjata makan tuan.

Istri Benigno Aquino, Corazon Aquino kemudian menggantikan suaminya melawan. Hasilnya gemilang. Seisi Filipina bergerak menggulingkan pemerintahan Marcos pada 1986.

Ferdinand Marcos Sr, Presiden Filipina ke-10 yang berkuasa 1965-1986. (Wikimedia Commons)

“Corazon Aquino lantas memimpin unjuk rasa yang menyerukan pembangkangan sipil pada 16 Februari 1986 di Luneta Park, Manila. Demonstrasi ini membesar menjadi Revolusi Kekuatan Rakyat yang berlangsung selama 22-25 Februari 1986. Unjuk rasa damai ini diikuti 2 juta lebih warga Filipina, termasuk politikus, kelompok militer, dan tokoh gereja.”

“Marcos akhirnya lengser. Dia dan keluarganya kabur ke Hawaii pada 25 Februari 1986 dengan membawa jutaan dolar Amerika Serikat uang tunai, perhiasan, emas, dan saham. Marcos meninggal dalam usia 72 tahun di Honolulu pada 1989 karena penyakit ginjal, jantung, dan paru-paru. Setelah kepergian Marcos, orang menemukan tempat penyiksaan khusus tahanan politik di Malacanang. Mereka juga menemukan koleksi Ibu Negara Imelda Marcos, seperti 3.000 pasang sepatu, 500 kutang, dan 200 ikat pinggang, di rumah mewah Marcos di Tacloban, Pulau Leyte,” terang Iwan Kurniawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Masa Gelap Sang Diktator (2022).

Kembalinya Dinasti Marcos

Kehidupan berangsur baik setelah Marcos angkat kaki dari Filipina. Sekalipun ragam masalah seperti kestabilan ekonomi dan perebutan kekuasaan hadir. Rakyat mulai bernapas lega karena rezim diktator tak lagi mengekang masyarakat.

Pola pemerintahan Marcos jadi yang paling dibenci seisi Filipina. Semua karena Marcos mencoreng muka Filipina jadi pemimpin terkorup dunia kedua sepanjang masa, di bawah Presiden Indonesia, Soeharto (1967-1998).

Bahkan, pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte yang melanggengkan perlawanan terhadap jaringan narkoba dan melanggar HAM kalah pamor dengan Marcos. Sebab, Marcos langsung memborong tiga kesalahan sekaligus. Dari diktator, pelanggar HAM, dan koruptor.

Semua berubah kala anak sang diktator, Ferdinand Marcos Jr mulai masuk gelanggang politik. Ambisi kuasa pria yang akrab disapa Bongbong tiada dua. ia tak ingin disamakan dengan bapaknya. Ironinya, Bongbong bak mencoba mengadopsi gaya kuasa bapaknya tiga dekade lalu pada Pilpres Filipina 2022.

Bongbong Marcos bersama ayah ibunya, Ferdinand Marcos Sr dan Imelda Marcos, serta Imee Marcos (kakak) dan Irene Marcos (adik) di Istana Malacanang usai pelantikan Marcos Sr sebagai Presiden Filipina untuk masa jabatan kedua pada Desember 1969. (Wikimedia Commons)

Buah tak jauh jatuh dari pohonnya. Bongbong bak menyerupai bapaknya dengan bertindak manipulatif. Ia memahami benar bahwa demografi pemilih di Filipina mulai banyak dari generasi muda. Alias, orang-orang yang masih mengingat kepedihan era bapaknya terlampau sedikit.

Bongbong pun mulai menciptakan pola nostalgia yang menerangkan prestasi bapaknya. Sang ayah digambarkannya bak juru selamat Filipina. Narasi bapaknya yang membawa kemakmuran dan stabilitas ekonomi dikuatkan. Padahal, realita berkata lain.

Ajian itu diperkuat dengan janji-janji kampanye Bongbong yang menyentuh hati rakyat Filipina. Penyediaan lapangan kerja hingga terjaminnya bahan pokok. Hasilnya gemilang. Dosa-dosa masa lalu ayahnya tak lagi jadi masalah.

Rakyat Filipina bak amnesia sejarah. Seisi Filipina seperti telah memaafkan perlakuan buruk ayahnya dan memilih Bongbong sebagai orang nomor satu Filipina yang menjabat sedari 2022. Karenanya, dinasti kepemimpinan Marcos secara resmi kembali ke Filipina. Kepemimpinan kerap mendapatkan sorotan tajam.

“Namun di dalam negeri, para analis mengatakan kinerja Bongbong kurang mengesankan. Di bawah kepemimpinannya, harga pangan melonjak, dan permasalahan yang sudah berlangsung lama, seperti sistem pendidikan yang terlalu ketat, masih belum terselesaikan.”

“Krisis HAM yang ditinggalkan oleh pendahulunya Rodrigo Duterte, yang memimpin tindakan brutal yang disebut perang terhadap narkoba masih jadi momok kepemimpinan Bongbong. Alias, belum juga ditangani dengan baik,” tertulis di laman The Guardian, 29 Juni 2023.