JAKARTA - Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disambut dengan gegap gempita. Seisi Indonesia menaruh harapan supaya pejabat korup dapat diberantas dengan maksimal. KPK pun mulai mengasah tajinya. Alih-alih berkembang dengan mulus, langkah KPK bak dijegal.
Lembaga antirasuah itu coba dikerdilkan perannya oleh Susno Duadji. Sosok yang menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) era 2008-2009 itu mempersonifikasikan KPK dengan istilah cicak. Sedang polisi adalah buaya. Susno mengatakan: cicak kok mau lawan buaya.
Praktik korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Tindakan merugikan negara langgeng karena tiada seperangkat aturan yang membuat pejabat korup ketakutan. Mereka terus melanggengkan aksinya.
Praktek korupsi pun tak dilakukan sendiri, tapi berkelompok. Korupsi kian mengeliat pada masa Orde Baru (Orba). Pemerintah Orba hanya memahami narasi pemerintah tak boleh kalah lawan rakyat, sedang dengan pejabat, seperangkat narasi itu tak berlaku.
Korupsi mewabah. Rakyat Indonesia pun bak memanen keprihatinan tiap harinya. Semuanya mulai menemukan titik terang kala era Orba berganti era reformasi. Semenjak itu upaya pemberantasan korupsi mulai dibicarakan dalam tataran serius.
Kepedulian terkait korupsi mulai di utarakan tokoh bangsa yang prihatin. Mari’e Muhammad, salah satunya. Menteri Keuangan era 1993-1998 yang dikenal bersih itu kemudian meminta pemerintah untuk membentuk sebuah lembaga khusus untuk membuat pejabat kapok korupsi.
Keinginan itu sempat digaungkan Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie. Kuasa Habibie yang singkat membuat mandat pemberantasan korupsi baru digodok serius pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Pemilik gaya bahasa ‘Gitu aja kok repot’ kemudian meletakkan fondasi penting terkait kehadiran KPK. Ia menulis dan menandatangani sebuah surat ke DPR. Surat yang bernomor R-13/PU/VI/2001 itu berisi narasi pengantar pembentukan UU KPK bertanggal 5 Juni 2001.
KPK baru benar-benar diwujudkan di era pemerintahan Megawati Soekarnoputri pada 27 Desember 2002. Perlahan-lahan KPK mulai mengusut kasus demi kasus korupsi. Sekalipun tahun-tahun pertamanya berlangsung kurang optimal.
“Meski belum optimal dan menuai banyak kritik, langkah KPK dalam tiga tahun terakhir tetap memberi sinyal positif dalam agenda pemberantasan korupsi. Sejumlah kalangan mulai merasa tidak nyaman dengan KPK. Bahkan beberapa instansi tempat korupsi yang selama ini sulit disentuh aparat enegak hukum mulai merasa terancam dengan kehadiran KPK. Oleh karena itu, mulai muncul upaya untuk menjinakkan KPK.”
“Sampai sejauh ini sejumlah langkah telah (dan sedang) dilakukan sebagai bagian dari upaya menjinakkan KPK. Misalnya, mengajukan uji materi (judicial review) terhadap seumlah undang-undang dalam ranah pemberantasan korupsi, termasuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Catatan yang ada, terhadap undang-undang tersebut telah berkali-kali diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” tulis Saldi Isra dalam buku Jangan Bunuh KPK (2009).
Cicak Versus Buaya
KPK kian berkembang pesat. Apalagi, di awal kuasa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Wewenang yang diberikan pemerintah kepada KPK cukup besar. Barang siapa yang korupsi, niscaya pemerintah akan memberi ruang KPK untuk mengejar koruptor.
Upaya pencegahan korupsi turut dilanggengkan. KPK banyak mengisi seminar dan acara populer lainnya untuk melanggengkan upaya pencegahan. Dari lingkungan sekolah hingga institusi pemerintahan. Dukungan masyarakat kepada KPK menguat.
KPK jadi punya kepercayaan diri dalam mengawal kasus korupsi di Tanah Air. Namun, Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Begitulah yang dihadapi KPK. Isu pelemahan KPK mulai santer terdengar.
Upaya itu terlihat nyata kala KPK mulai menyeret Kabaresrim, Susno Duadji dalam dua kasus korupsi sekaligus pada 2009. Kasus korupsi pengamanan dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat dan kasus PT Salmah Arowana Lestari (SAL) milik Anggodo Widjojo.
Susno Duadji merasa telepon genggamnya disadap oleh penegak hukum yang lain. Kondisi itu membuat Polri berang. KPK dianggap melakukan penyadapan tak sesuai prosedur dan ketentuan. Polisi pun memeriksa Wakil Ketua KPK, Chandra Hamzah.
Susno beranggapan Polri akan kehilangan martabatnya jika tak menindak orang yang melanggar Undang-Undang. Kasus itu kemudian mendapatkan perhatian media massa nasional. Utamanya, Majalah Tempo.
Jurnalis Tempo Anne L. Handayani, Ramidi, dan Wahyu Dhyatmika menemui Susno dan mewawancarainya. Penggalan wawancara Susno yang menyebut Cicak (KPK) dan Polisi (Buaya) jadi viral kala Majalah Tempo edisi 6 Juli 2009 terbit.
Personifikasi yang diungkap Susno dikecam masyarakat. Khalayak umum menilai Susno bak meremehkan dan merendahkan KPK. Karenanya, gelora dukungan kepada KPK muncul di mana-mana. Ragam kalangan mendukung KPK dan mengecam tindakan Polri melemahkan KPK. Dari aktivis hingga pesohor negeri. Pun peristiwa itu dikenal sebagai cicak versus buaya jilid pertama.
BACA JUGA:
“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari.”
“Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? Enggak, cuma menyesal: Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa, terang Susno dalam wawancaranya bersama tempo berjudul Cicak Kok Mau Melawan Buaya (2009).