Sultan Hamengkubuwono IV Jadi Raja Tanpa Mahkota karena Ulah Sang Paman
Sultan Hamengkubowono IV yang pernah berkuasa dari 1814-1822. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Pengangkatan Sultan Hamengkubowo IV membawa kehebohan bagi seisi tanah Jawa. Usianya masih amat belia sebagai penguasa Yogyakarta. Kondisi itu membawa petaka. Laku pemerintahannya jauh dari optimal.

Pamannya, Patih Danurejo IV tak mau kehilangan momentum. Alih-alih berlaku bijak dan membimbing Hamengkubuwono IV, Danurejo justru menjadikan kemenakannya serupa boneka. Bak raja tanpa mahkota. Ajian itu buat Danurejo yang korup kaya raya. Keluarganya pun ikut kecipratan manfaat.

Perihal ajal tiada yang tahu. Itulah narasi yang mewakili suasana kala Sultan Hamengkubuwono III meninggal dunia. Seisi Yogyakarta merasa kehilangan pemimpin. Kondisi itu tak jauh berbeda dengan yang hadir di keraton.

Pejabat tinggi Kesultanan Yogyakarta sedih bukan main. Namun, suksesi kepemimpinan harus tetap berlangsung. Satu-satu calon yang memenuhi syarat adalah Gusti Raden Mas Ibnu Jarot. Alhasil, Ia lalu dinobatkan sebagai raja baru Yogyakarta pada 1814.

Ia berhak menyandang nama Sultan Hamengkubuwono IV. Masalah muncul. Tak semuanya mendukung penobatan itu. Usia Hamengkubuwono IV baru menginjak 10 tahun. Kesepakatan dibuat. Opsi menjalankan roda pemerintahan untuk sementara waktu lalu dipegang wali raja, Pangeran Natakusuma atau Pakualam I.

Potret pasukan Kesultanan Yogyakarta. (Wikimedia Commons)

Penunjukkan itu kurang bijak. Natakusuma justru lebih mementingkan perkembangan pusat kuasanya di Kadipaten Pakualaman, dibanding Kasultanan Yogyakarta. Patih Kesultanan Yogyakarta, Danurejo IV pun mencium masalah itu bak peluang.

Ia memanfaatkan posisi dengan maksimal. Ia bertindak bak Penguasa Yogyakarta. Segala macam keputusan politik ia jalankan sendiri atas nama raja. Tujuannya jelas untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Urusan rakyat Yogyakarta hidup sengsara jadi lain soal – jika tak mau dikatakan ogah dipikir.

Kuasanya pun terus berlangsung sekalipun Hamengkubuwono IV sudah beranjak dewasa 1820. Hamengkubowo pun kembali ke singgasananya. Kepemimpinan Hamengkubuwono IV bak boneka. Ia dengan lihai dimanfaatkan oleh Danurejo.

Danurejo dengan leluasa mengganti pejabat penting di Kesultanan Yogyakarta dengan sanak familinya sendiri. Ajian itu supaya keluarganya kecipratan manfaat.

“Sultan Hamengkubuwono IV yang kemudian beranjak memasuki 18 tahun itu dikendalikan oleh mertuanya Patih Danurejo IV. Ia memerintahkan menambah jumlah gerbang-gerbang pungutan (tolpoorten) yang disewakan kepada orang-orang Cina melalui sistem perolehan (setoran).”

“Gerbang-gerbang pungutan ini amat merugikan rakyat. Patih sebenarnya tidak berhak mengeluarkan keputusan yang menentukan mengenai jalannya pemerintahan karena ia bukan pemilik negara," terang Nugroho Notosusanto dan kawan-kawan dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (2008).

Danurejo IV Beraksi

Boleh jadi Hamengkubuwono IV telah mengambil alih kekuasaan. Namun, kuasa Danurejo tak lantas hilang. Laku hidup Danurejo menjadikan Hamengkubuwono IV raja tanpa mahkota terus berlangsung. Ia terus bertindak bak benalu bagi Kesultanan Yogyakarta.

Danurejo bahkan dengan leluasa menjalin kontak dengan Belanda untuk memiskinkan rakyat Yogyakarta. Sedang Hamengkubuwono IV dibuat sibuk sendiri atas agenda lainnya. Semua itu mulus berlangsung karena Danurejo kerap mampu memanupulasi Hamengkubuwono.

Patih Yogyakarta jadi memiliki kuasa layaknya raja. Ia mampu ambil bagian dalam soal pajak dan sewa tanah. Ia pun mampu memberhentikan dan menerima pejabat baru. Bahkan, Danurejo banyak menjadikan sanak familinya sebagai pejabat.

Langkah itu membawa petaka besar bagi rakyat Yogyakarta. Pejabat yang diangkat banyak yang tak kompeten. Kepemimpinan Hamengkubuwono IV dikecam. Pangeran Diponegoro pun ambil sikap. Ia langsung mendatangi adiknya, Hamengkubuwono IV meminta pertanggung jawaban.

Hamengkubowo IV berkilah. Ia menyebut segala macam kebijakan sudah dibicarakan oleh Danurejo kepada banyak orang. Utamanya, Diponegoro. Namun, Diponegoro tak merasa Danurejo berbicara kepadanya. Danurejo lalu disebut sebagai duri dalam daging pemerintahan.

Bangsal Kepatihan Kraton Yogyakarta. (kratonjogja.id)

Namun, tiada yang dapat dilakukan. Danurejo terus saja mengendalikan Hamengkubuwono IV hingga penguasa Yogyakarta itu meninggal dunia. Hamengkubowo IV meninggal kala ia baru kembali ke Keraton Yogyakarta setelah pulang plesiran dari pesanggrahannya pada 6 Desember 1822.

Kematian itu dianggap Diponegoro atas ulah Danurejo. Namun, Danurejo terus berkelit bahkan ia bersekutu dengan Belanda untuk melawan Diponegoro. Danurejo terus melanggengkan kuasanya atas Yogyakarta, sekalipun Sultan Hamengkubowo V masih berusia tiga tahun sudah dinobatkan.

“Dalam babadnya, Diponegoro melukiskan bagaimana pengangkatan para pejabat polisi ini dilaksanakan tanpa persetujuannya dan ia hanya diberitahu secara tak langsung melalui perantaraan beberapat anggota keluarga Sultan dan bupati keraton yang sudah uzur. Lalu Pangeran menemui langsung adiknya. Sultan keempat, dengan pilihan, atau menerima sarannya bahwa pengangkatan itu menimbulkan beban pajak yang berat di pedesaan dan membatalkan surat pengangkatan.”

“Atau membiarkan surat tersebut tetap berlaku sehingga dengan demikian terang-terangan memihak dua lawan berat Diponegoro di keraton yakni Danurejo IV dan Wironegoro. Sultan tampaknya memilih menarik surat pengangkatan itu, tapi kemudian timbul pertengkaran antara Diponegoro dan Wironegoro tatkala Wironegoro mempertahankan tindakannya dan dengan sengit menentang pembatalan,” terang Sejarawan Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan (2011).