JAKARTA - Masa sekolah Gusti Raden Mas Dorodjatun, kemudian dikenal Sultan Hamengkubowo IX, penuh dinamika. Kehidupannya tak seperti Anak Raja Yogyakarta pada umumnya. Ayahnya, Hamengkubowo VIII menjauhkan Dorodjatun dari segala macam kemudahan.
Ia pun tumbuh jadi pribadi disiplin, sederhana, dan berani. Saban hari ia kerap bersinggungan dengan sinyo-sinyo rasis. Amarahnya pun memuncak dan antem-anteman (berantem) terjadi. Kemudian, antem-anteman jadi kegemarannya.
Kata manja hampir pasti tak akan masuk dalam kamus hidup Dorodjatun. Ia ditempa dengan begitu keras sejak kecil. Dari ayahnya yang masih berstatus Pangeran Jawa bernama Gusti Raden Mas Sujadi, kemudian naik takhta jadi Penguasa Yogayakarta yang dikenang sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII.
Didikan yang diterapkan ayahnya jauh berbeda dengan keluarga raja lainnya. Dorodjatun justru tak dibiarkan hidup manja. Boleh jadi satu-satunya kemewahan yang diberikan ayahnya kepada Dorodjatun hanya akses menumpuh pendidikan.
Suatu barang ‘mahal’ pada eranya. Semuanya karena Sultan Hamengkubuwono VIII mampu berpikir jauh melampau zaman. Pendidikan dianggapnya sebagai jalan satu-satunya lepas dari kebodohan dan jeratan penjajah asing.
Pendidikan yang ditempuh Dorodjatun pun bersyarat. Ia yang masih berusia empat tahun dipaksa hidup jauh dari keraton. Ayahnya kemudian menentukan Dorodjatun harus indekos di rumah seorang Belanda terpandang. Mulder, namanya.
Hasilnya gemilang. Hidup di rumah Mulder yang notabene seorang kepala sekolah di salah satu sekolah di Yogyakarta dapat membuat Dorodjatun menyerap cara hidup orang Eropa. Ia jadi fasih berbahasa Belanda. Pria yang akrab disapa Mulder sebagai Henkie itu belajar hidup disiplin dan sederhana.
Tiada abdi dalem yang mendampingi Dorodjatun selama indekos. Pelajaran berharga dari Mulder nyatanya memiliki arti penting kala Dorodjatun masuk sekolah. Ia jadi murid menonjol di Sekolah Frobel (setingkat TK) dan Neutrale Europese Lagere School (setingkat SD).
“Sang ayah rupanya mampu melihat tanda-tanda zaman. Di awal abad ke-20 itu, beberapa paham demokrasi mulai tumbuh di Eropa. Maka Hamengkubowo pun sesuai dengan semangat zaman ingin mendidik putranda mengikuti kemajuan zaman. ia tak membiarkan Dorodjatun bergelimang kemanjaan istana.”
“Ketika masih berusia empat tahun seperti putra-putra Keraton Kesultanan Yogyakarta yang lain. Dorodjatun diharuskan mondok jauh dari mahligai. Ia dititipkan di rumah Mulder, seorang Belanda, kepala sekolah salah satu sekolah di Yogyakarta. Ia harus belajar disiplin dan hidup sederhana,” tulis Budiman S. Hartoyo dan kawan-kawan dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Lebih Besar dari Takhtanya (1988).
Hobi Berantem
Kehidupan Dorodjatun di sekolah dasar penuh dinamika. Sebab, kaum bumiputra jadi kelompok minoritas di dalam kelas. Dorodjatun pun harus membagi kelas dengan mereka yang berasal dari keturunan Belanda, Sinyo dan orang China.
Masa-masa sekolahnya tak mulus-mulus saja. Sekalipun Dorodjatun dikenal cerdas. Ia melihat langsung bagaimana diskriminasi yang hadir di sekolah. Kaum bumiputra kerap dipandang rendah oleh sinyo-sinyo rasis.
Perlakukan diskriminatif itu membuatnya sering mendapat masalah. Ia sering dihukum oleh gurunya karena kerap antem-anteman (berantem). Amarah memuncak jadi alasan Dorodjatun. Kadang kala ita berantem dengan sinyo-sinyo rasis. Kadang pula ia berantem dengan orang China.
Nyalinya dalam berantem pun tinggi. Bahkan, Dorodjatun tak malu-malu mengakui bahwa ia hobi dan senang berantem. Alih-alih hanya berantem, Dorodjatun juga senang melihat rekan-rekannya berantem. Perkelahian putra Penguasa Pontianak, Syarif Abdul Hamid Alkadrie, misalnya.
Sosok yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamid II diketahui satu sekolah dengan Dorodjatun. Namun, urusan berantem Dorodjatun mengakui Hamid yang kala itu kerap disapa Mosez terbilang sedikit feminim. Mozes bahkan kalah saat diadu dengan seorang wanita.
“O, sering sekali! Sebabnya karena saya suka antem-anteman (pukul-pukulan). (Mengingat ini, Hamengku Buwono IX tampak tertawa geli). Pada waktu itu saya pernah sekelas dengan Hamid, kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamid II.”
“Ketika kecil sebutannya adalah Mozes. la tinggal di Yogya, hanya ditemani seorang gotvermante (pengasuh-pendidik) berkebangsaan Inggris bernama Nyonya Fox. Saya hanya ingat ia sedikit feminim. Kebiasaan antem-anteman antara anak lelaki tak begitu disukainya. Súatu kali ia ‘diadu’ dengan seorang murid perempuan yang jago berkelahi, dan ia kalah,” kenang Dorodjatun yang kala itu sudah menjadi Sultan Hamengkubowo IX sebagaimana dikutip Mohamad Roem dalam buku Takhta untuk Rakyat (2013).