JAKARTA - Hari ini, 32 tahun yang lalu, 8 November 1990, Presiden Soeharto menetapkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pahlawan nasional. Penetapan Sultan Yogyakarta itu dilakukan atas peran dan sumbangsihnya yang besar bagi nusa dan bangsa.
Tanpa kehadirannya Indonesia akan sulit untuk merdeka. Peranannya yang paling terlihat adalah saat Ibu Kota Indonesia harus pindah ke Yogyakarta dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Sri Sultan menanggung segalanya. Dari fasilitas perkantoran hingga gaji pegawai.
Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX tak bisa dianggap remeh dalam peta sejarah Indonesia. Tanpanya boleh jadi Indonesia takkan bertumbuh. Ia terlibat aktif dalam upaya kaum bumiputra lepas dari belenggu penjajahan. Ia berdiri menentang penjajahan Belanda.
Sumbangsihnya paling nyata adalah pada masa revolusi. Segala macam upaya mempertahankan kemerdekaan didukung penuh olehnya. Pemerintah Indonesia diizinkan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta. Segala macam fasilitas pemerintahan pun disiapkan. Termasuk bantuan untuk gaji pegawai.
Kebaikan hati Sultan Yogyakarta pun dikenang oleh banyak orang. Istri Soekarno, Fatmawati dan Hoegeng Imam Santoso (kemudian jadi Kapolri) adalah beberapa di antaranya. Keduanya merasakan bagaimana sulitnya kala seluruh petinggi Indonesia ditawan Belanda dalam Agresi Militer II. Kondisi itu membuat pemerintahan Indonesia sulit berjalan.
Pegawai-pegawai pemerintahan, termasuk militer otomatis tak menerima gaji. Namun, supaya perjuangan tetap berjalan, Sang Raja ambil kendali. Ia pun ‘mewakafkan’ sebagian besar harta miliknya untuk perjuangan. Ia aktif mengirim dana kepada pejuang kemerdekaan, termasuk kepada Hoegeng dan Fatmawati.
“Namun, ada salah satu hal yang tak terlupakan di zaman Agresi II di Yogyakarta itu bagi kami sekeluarga. Dan agaknya juga bagi pejuang republik yang tinggal dalam kota Yogya. Soalnya saya tidak menerima gaji lagi berhubung keadaan yang kacau balau, apalagi para pejabat tinggi negara pada ditawan di Pulau Bangka dan Brastagi. Untuk makan sehari-hari saya bekerja di Restoran Pinokio.”
“Dan Mery (istri Hoegeng) harus berjualan satu dan makanan lain di sana juga. Kehidupan amat sulit. Namun, suatu hari datanglah seorang ke rumah mengantarkan uang ke rumah. Jumlahnya besar juga, 12,50 gulden, maklumlah mata uang NICA yang tinggi nilai tukarnya. Namun, uang gulden itu diberikan dalam bentuk uang koin semua. Oleh pengantar ditambahkan, bahwa itu: uang dari Sultan,” ungkap Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).
Presiden Soeharto mengetahui dengan jelas penokohan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam masa revolusi. Apalagi ia melihat jelas pengaruhnya ketika masih menjabat Letnan Kolonel dan bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta pada masa itu.
Ia banyak pula dibantu oleh Sultan Yogyakarta. Sebagai apresiasi, Presiden Soeharto menetapkan Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai pahlawan nasional di Istana Merdeka pada 8 November 1990. Pemberian piagam penganugerahan itu diberikan Soeharto kepada perwakilan keluarga Sri Sultan Hamengkubuwono IX: Sultan Hamengkubuwono X.
“Presiden Soeharto dalam rangka Peringatan Hari Pahlawan 1990 pada tanggal 8 November 1990 bertempat di Istana Merdeka Jakarta, telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada al marhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mantan Wakil Presiden RI yang juga mantan Menteri Pertahanan RI dan mantan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.”
“Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX berdasarkan Keputusan Presiden nomor 053/TK/1990 tersebut penghargaan atas jasa-jasanya yang sangat luar biasa dan tindak kepahlawanannya dalam perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda dan Jepang serta dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Tindak kepahlawanan yang demikian itu dapat dijadikan teladan bagi setiap warga negera Indonesia,” tertulis dalam laporan Majalah Dharmasena berjudul Gelar Pahlawan Nasional untuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1990).