JAKARTA - Kegemaran kaum bumiputra terhadap rokok kretek tiada dua. Bahkan, sejak zaman penjajahan Belanda. Saban hari rokok kretek laris manis terjual. Penggemarnya pun bertumbuh. Dari priyayi hingga jelata. Pejuang kemerdekaan Agus Salim, salah satunya.
The Grand Old Man telah menyukai rokok kretek sejak muda. Kebiasaannya menghisap rokok kretek sering jadi perhatian. Apalagi, saat ia menghisap kretek di acara pesta penobatan Ratu Elizabeth II. Suami Elizabeth, Pangeran Philip pun sampai penasaran.
Rokok adalah salah satu industri yang menjanjikan keuntungan melimpah di Hindia-Belanda. Pengemarnya bejibun. Rokok kretek, apalagi. Industrinya pun terus bertumbuh besar menyaingi rokok putih. Karenanya, seorang kaum bumiputra dapat kaya raya.
Nitisemito dan rokok produksinya Bal Tiga jadi bukti. Kekayaannya melimpah. Pria yang dijuluki Raja Kretek itu sampai dapat memperkerjakan pegawai dari kalangan orang Belanda. Pemandangan orang Eropa bekerja kepada kaum bumiputra bukan hal yang lumrah.
Keberhasilan industri kretek juga terlihat dari daya tahannya diterpa resesi 1929-1939. Industri lainnya justru telah di sapu bersih resesi. Sekalipun ingin bangkit, maka keinginan itu dianggap mustahil. Beda hal dengan industri rokok. Zaman krisis yang dikenal sebagai zaman meleset (Melaise) membuat industri rokok bersiasat.
Awalnya mereka mulai mengurangi kualitas cengkeh, tembakau, hingga pegawai. Kualitas rokok boleh menurun, tapi penggemarnya militan. Industri rokok pun jadi paling cepat bangkit. Lebih lagi, rokok jadi salah satu industri yang menyelamatkan Hindia-Belanda dari kebangkrutan lewat pajaknya.
“Kretek Jawa yang isapan pun menjadi saingan rokok putih. Van Der Rijden menyatakan, tahun 1931 produksi rokok putih mencapai 7,1 miliar batang per tahun. sedangkan produksi rokok kretek 6,4 miliar batang. Dari perbedaan angka produksi sigaret putih dan sigaret kretek kelihatan sejak lama ancaman persaingan kedua produk ini serius. Pemerintah kolonial Belanda ambil sikap, karena sejak tahun 1925 di Cirebon perusahaan patungan Inggris dan Amerika Serikat sudah membangun pabrik rokok putih BAT (British-American Tobacco) di Cirebon.”
“Pada tahun 1928 membangun pabriknya di Surabaya. Belanda pun ambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan asli ini, dengan mengeluarkan Staadsblad No 427 tahun 1935 – mengatur soal harga eceran minimum rokok putih agar tidak menekan industri rakyat kecil,” tutup Rudy Badil dalam kata pengantar buku Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (2011).
Agus Salim dan Rokok Kretek
Kuasa rokok kretek menyaingi rokok putih bukan tanpa alasan. Penggemarnya di kalangan kaum bumiputra bejibun. Apalagi, rokok kretek bukan melulu hanya memiliki fungsi untuk dinikmati belaka, tapi ada kebanggaan dari tiap hisapan rokok kretek sebagai bagian dari warisan budaya bangsa.
Agus Salim mengamini hal itu. Ia sedari muda telah menggemari rokok kretek. Saban hari, ia kerap menghisap rokok kreteknya. Apalagi ketika ia ingin mengajar atau berbicara di mimbar. Rokok kretek jadi pemantik retorikanya yang menggelegar. Baginya, kretek adalah identitas kaum bumiputra.
Agus Salim tak pernah lupa membawa kretek ketika bertandang keluar negeri. Diplomat andal itu bangga bukan main dengan rokok kreteknya. Termasuk ketika diutus Bung Karno menghadiri acara penobatan Ratu Elizabeth II di London Inggris pada 2 Juni 1953.
Agus Salim tak lupa membakar rokok kreteknya di acara penobatan Ratu Elizabeth II di Westminster Abbey. Ia membakarnya karena melihat banyak dari tamu undangan yang juga membakar rokok. Namun, di antara seluruh tamu undangan, rokok kretek Agus Salim yang dianggap membawa wangi menyengat.
Wangi rokok kretek Agus Salim lalu menarik perhatian suami dari Ratu Elizabeth II, Pangeran Philip. Empunya acara lalu mencoba bertanya kepada Agus Salim terkait rokok yang dihisap. Agus Salim dengan senang hati menjelaskan rokok yang dihisapnya berjenis kretek.
Suatu rokok yang berbahan campuran tembau, cengkeh, dan saus yang diramu secara khusus. Agus Salim pun menambahkan bahwa wangi yang dicium oleh Pangeran Philip adalah berasal dari cengkeh. Ia menjelaskan bahwa karena bau cengkeh inilah jadi daya tarik ragam suku bangsa, utamanya Inggris datang ke Indonesia.
“Saya kirim waktu itu Almarhum Haji Agus Salim, Sri Pakualam, lantas ada seorang lagi saya lupa. Kiai Salim, Agus Salim pada waktu resepsi, resmi-resminya resepsi, saudara-saudara yaitu koingin yang baru ini, Queen Elizabeth ada suaminya Duke of Edenburg, Pangeran Philip. Wah ada utusan Indonesia dengan ganteng berdiri disitu, Kiai Salim itu merokok rokok kretek, kretek—kretek—kretek. Nah, Duke of Edinburg yang selalu berjalan datang mendekati Haji Agus Salim.”
“What is that, what is that? Kiai Salim menjawab ini adalah rokok cengkeh, tobacco with clove, cengkeh itu clove. Duke of Edinburg berkata: it smells, it smells itu artinya sedikit bau. Dan Kiai Salim sebagai orang yang selalu sangat tangkas, tepat menjawab: yes, your highness, this very smell atravted your people a vew centuries ago to come to my country. Jadi bau cengkeh itulah yang membuat bangsa Tuan beberapa ratus tahun yang lalu datang di tanah air kami. Tangkas,” ungkap Bung Karno dalam amanatnya pada musyawarah Ganefo di Istana Negera berjudul Berikan Jiwa Ragamu Sepenuh-penuhnya, 12 September 1963.