JAKARTA - Perjalanan kaum bumiputra meraih kemerdekaan tak sebentar. Pengorbanan - dana, waktu, nyawa - diberikan untuk Indonesia. Kaum bumiputra pun berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun, Belanda enggan puas.
Mereka ingin menjajah Indonesia sekali lagi, tak peduli bagaimana caranya. Kekerasan pun dilanggengkan. Agresi Militer I dan II jadi bukti. Kaum bumiputra pun melawan. Salah satu strategi yang digunakan adalah pembumihangusan. Menghancurkan banyak jembatan, misalnya.
Kelicikan Belanda telah hadir sejak fase awal penjajahan. Mereka melanggengkan Devide at Impera (Politik Adu Domba) untuk mengadu kerajaan yang ada di Nusantara. Siasat itu berhasil. bahkan, membuat Belanda untung bejibun.
Kondisi itu tak jauh berbeda ketika kaum bumiputra melanggengkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Belanda tak puas. Negeri Kincir Angin masih ingin kembali menguasai Indonesia. Siasat baru dimainkan.
Mereka tak mau melanggar hukum internasional dengan membabi buta datang ke Indonesia lalu menguasainya. Belanda lalu mengakui Indonesia bukan lagi koloni. Indonesia dianggap sejajar seperti wilayah Belanda lainnya di Eropa.
Kelicikan itu membuat Belanda mencoba mengelabui hukum internasional. Mereka mengajak sekutu (Inggris) masuk bersama pejabat Belanda di bawah panji Pemerintah Sipil Hindia-Belanda (NICA) dengan kekuatan militernya.
Mereka ingin menduduki berbagai macam wilayah strategis milik Indonesia. Pun mencoba melumpuhkan seluruh kekuatan militer Indonesia yang masih seumur jagung. Agresi Militer I dan II jadi ajian. Alih-alih bangsa Indonesia mundur, kaum bumiputra justru melawan.
“Pemimpin utama Indonesia waktu itu ialah Soekarno-Hatta. Mereka ini menghadapi dilema yang sulit: tunduk kepada sekutu atau kepada pemuda? Jika mereka tunduk kepada atau bersikap manis terhadap sekutu, mereka menjauhkan diri dari dukungan pemuda yang semangat revolusionernya begitu berkobar-kobar dan merupakan kekuatan yang besar bagi RI. Tetapi kalau mereka tunduk kepada kemauan pemuda yang tegas-tegas ingin menghadapi kedatangan sekutu secara revolusioner berarti dimusuhi sekutu.”
“Untuklah situasi waktu itu menolong mereka. Sekutu datang terlambat, sehingga mereka bersama dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya berhasil membina kekuatan meskipun mula-mula secara simbolis, seperti yang nampak dari pernyataan yang muncul di mana-mana yang mendukung proklamasi. Pengibaran Sang Saka terus meluas, sedangkan semua orang berlencana Merah Putih di dada,” ungkap G. Moedjanto dalam buku Indonesia Abad Ke-20 Bagian 1 (1993).
Hancurkan Jembatan
Jalan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia tetap dipilih. Akan tetapi, perlawanan terhadap Belanda lewat angkat senjata tetap dilantunkan pejuang kemerdekaan. Kedua strategi itu bergulir karena kaum bumiputra telah lama geram dengan kolonialisme Belanda di Indonesia. Sebab, kaum bumiputra diperas bak sapi perah.
Kekayaan sumber daya alamnya diambil, sedang nasib kaum bumiputra dibiarkan tak menentu dan kerap didiskriminasi. Narasi angkat senjata itu membuat pejuang kemerdekaan banyak bersembunyi ke luar kota dalam masa perang revolusi.
Mereka memilih melakukan perang gerilya. Banyak di antara pejuang kemerdekaan mencoba menghadang dan menyergap patroli Belanda. Ajian itu membawakan hasil. Namun, untuk menghambat pergerakan militer NICA, pejuang kemerdekaan ikut melakukan stategi bumi hangus.
Jalan-jalan sekaligus jembatan-jembatan yang menghubungkan kampung-kampung basis pejuang kemerdekaan banyak dihancurkan. Kedua fasilitas itu cukup vital untuk mobilisasi militer. Opsi penghancuran itu dipilih supaya militer NICA tak melangkah lebih jauh. Lagi pula, hampir seluruh jembatan yang menghubungkan jalan ke wilayah basis pejuang kemerdekaan tiada yang utuh.
Perlawanan semacam itu berlangsung hampir di seluruh wilayah Nusantara. Korban dari kaum bumiputra banyak berjatuhan. Demikian pula dari pihak Belanda. Kaum bumiputra mengorbankan segalanya untuk satu tujuan: kemerdekaan Indonesia.
“Di dataran-dataran Jawa yang tidak dapat dipertahankan lagi, golongan Republiken memindahkan sebanyak mungkin hasil bumi untuk ekspor, perangkat transportasi serta mesin-mesin ke jantung pertahanan Republik seperti Magelang, Yogyakarta, Madiun, dan Kediri. Hal itu dilakukan sebelum pasukan Belanda masuk lebih dalam ke wilayah Republik.”
“Kemudian, dibuat rencana kebijakan bumihangus yang akan diterapkan pada barang-barang dan komoditas yang tidak dapat dipindahkan. Bagaimanapun, kedatangan Belanda yang begitu cepat serta upaya-upaya para Republiken yang kurang terorganisasi secara baik menyebabkan hanya sedikit hasil bumi dan peralatan yang dapat diselamatkan. Meskipun dilaksakan secara luas, taktik bumihangus rupanya lebih sering diterapkan pada bangunan-bangunan dan peralatan alih-alih pada setor ekspor hasil bumi,” ungkap sejarawan George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).