Kekejaman Belanda di Pembantaian Rawagede dalam Sejarah Hari Ini, 9 Desember 1947
Potret pasukan NICA dalam perang revolusi. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 75 tahun yang lalu, 9 Desember 1947, pasukan Belanda melakukan pembantaian di Desa Rawagede (kini: Desa Balongsari). Pasukan Belanda menembak mati seluruh penduduk laki-laki di desa itu. Akibatnya, 431 penduduk tewas.

Sebelumnya, pasukan Belanda geram dengan aksi pejuang republik di berbagai daerah kerap melawan mereka dalam masa revolusi. Belanda pun membalasnya. Namun, serangan Belanda tak melulu menyasar pejuang kemerdekaan, penduduk desa yang tak ingin menyerang kerap terkena imbasnya.

Hasrat Belanda menjajah Indonesia terus bertumbuh. Apalagi setelah Jepang menyerah ke sekutu pada 1945. Belanda pun bersiasat untuk membonceng sekutu - Inggris - untuk masuk kembali ke Indonesia. Siasat itu jadi kesempatan Belanda membawa pasukan di bawah panji Pemerintahan Sipil Hindia Belanda, NICA secara besar-besaran.

Pasukan Belanda dilengkapi dengan persenjataan yang memadai. Mereka mencoba memainkan teror. Mereka masuk ke kampung-kampung untuk mencari pejuang kemerdekaan. Ajian itu untuk menegaskan kepada kaum bumiputra bahwa Indonesia belum siap untuk merdeka.

Kalangan pejuang republik menanggapinya berbeda. Intimidasi yang Belanda lakukan justru dianggap sebagai penanda perang baru saja dimulai. Mereka tak mau lagi hidup terjajah. Pejuang kemerdekaan pun melawan. Perlawanan itu muncul di mana-mana.

Potret pasukan NICA dalam perang revolusi. (Wikimedia Commons)

Mereka berkorban segalanya supaya tak lagi dijajah oleh Belanda. Di Jakarta, utamanya. Saban hari tiada hari tanpa perlawanan. Belanda pun tak tinggal diam. Mereka pun menurunkan kekuatan lengkapnya untuk melawan kaum bumiputra.

“Memang NICA semakin buas tampaknya. Untuk melakukan ‘pembersihan’ di Sawah Besar, NICA mempergunakan mobil-mobil berlapis baja, senjata-senjata berat, sedangkan Pemuda Pelopor yang bertahan di situ bersama rakyat hanya punya bambu runcing, golok, pedang, beberapa pistol, senapan, dan granat yang dirampas dari Jepang.”

“Di Asem Reges, sekitar Gang Kali Got, di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk) NICA menempatkan senjata mitraliur. Serdadu-serdadu NICA menyerang pemuda-pemuda yang sudah terkurung di Sawah Besar. Walaupun Pemuda-Pemuda Pelopor memberikan perlawanan, akhirnya mereka terpaksa mundur,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 7 (2015).

Operasi militer Belanda bahkan sampai masuk desa. Mereka mencari pejuang republik. Kapten Lukas Kustario, salah satunya. Pejuang republik itu dianggap licin dan merepotkan Belanda. Ia selalu dapat lepas ketika dikejar oleh Belanda.

Belanda pun tak mau kecolongan. Belanda mencari terus keberadaan Lukas Kustario yang diketahui kerap sembunyi di Desa Rawagede, Jawa Barat. Di desa yang berada di antara Karawang-Bekasi itu Belanda membawa pasukan besar pada 9 Desember 1947.

Lukas Kustario diketahui tak berada di tempat. Alih-alih mundur, pasukan Belanda justru menangkap seluruh laki-laki yang berada di desa. Mereka di bawah ke tanah lapang untuk dimintai keterangan terkait Lukas Kustario. Namun, tiada yang menjawab. Belanda pun mengeksusi 431 warga yang membuat Rawagede bak banjir darah.

Potret pasukan NICA dalam perang revolusi. (Wikimedia Commons)

“Sejak subuh, sekitar pukul 04.00, pasukan Belanda mengepung Desa Rawagede untuk mencari pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario. Di bawah pimpinan Alphons Wijman, sekitar 300 tentara Belanda menggeledah rumah warga.”

“Penduduk laki-laki dikumpulkan di tanah lapang untuk ditanya mengenai keberadaan Lukas. Karena tak ada satu pun penduduk yang memberitahukan keberadaan Lukas, pemimpin tentara Belanda memerintahkan menembak mati semua penduduk laki-laki dari usia remaja hingga dewasa. Sebanyak 431 penduduk tewas akibat berondongan peluru dan tusukan bayonet pasukan Belanda,” terang Suryani Ika Sari dan Kalim, dalam laporannya di Majalah Tempo berjudul Tragedi Rawagede dan Misteri Kapten Lukas (2011).