JAKARTA - Gunung Semeru (3.676 m) punya daya tarik tinggi untuk dijelajahi. Keindahannya tiada dua. Pelancong-pelancong dari luar negeri pun kepincut. Bahkan, semenjak masa penjajahan Belanda. Semua berubah kala Semeru meletus. Keindahannya meredup. Letusan Semeru pada 1909 jadi muaranya.
Ratusan orang meninggal dunia. Sedang puluhan desa luluh lantak. Bencana itulah yang kemudian menyatukan seluruh kelompok etnis – bumiputra hingga Belanda-- di Nusantara guna menggalang dukungan untuk korban letusan Semeru.
Budaya dan alam Nusantara telah kesohor sejak masa penjajahan Belanda. pelancong-pelancong dari luar negeri pun berdatangan. Mereka datang dengan harapan dapat menikmati seluruh sajian alam dan budaya Nusantara. Itulah yang kemudian menginspirasi ahli geologi berkebangsaan Belanda, G.F. Clingnett mendaki Gunung Semeru.
Ia menganggap Semeru bak surga ilmu pengetahuan. Lagi pula, dalam kosmologi Hindu, Semeru adalah pusat jagat raya. Ia memilih mendaki Semeru dari sebelah barat daya, Widodaren. Ia pun mengukuhkan dirinya sebagai orang pertama yang berhasil berdiri di atas pucak Gunung Semeru, Mahameru pada 1838.
Keberhasilan G.F. Clingnett nyatanya mengundang pelancong lainnya. Satu demi satu pelancong dunia datang ke Semeru. Sekalipun tak semuanya datang dengan tujuan sampai ke puncak Mahameru. Beberapa di antara pelancong banyak pula yang hanya menghabiskan waktu berada di kawasan kaki Gunung Semeru dan menikmati pemandangan indah Ranu Kumbolo.
Momentum kesohornya Gunung Semeru juga dipicu dengan kehadiran buku saku yang terbitkan biro pariwisata di Batavia, Official Tourist Bureau Waltevreden (cikal bakal Badan Pariwisata Hindia Belanda, Vereeniging Toeristenverkeer) pada 1900. Java, The Wonderland, namanya. Buku itu berisikan puja-puja seluruh destinasi pariwisata unggulan yang ada di Pulau Jawa, termasuk Gunung Semeru.
“Di tengah perjalanan melewati jalanan Moengal (Mungal), sebuah pemandangan luar biasa terlihat dari bagian selatan. Di sana kita melihat sebuah puncak gunung, Semeru, berdiri dengan anggunnya, dan berada di bawah kemegahan sinaran menyilaukan matahari pagi.
“Semeru terlihat jelas seperti jika kita melukis imajinasi dengan warna-warna hidup. Melukiskan luas langit yang biru, disertai bentangan hutan yang tertutup cemara hijau.”tertulis dalam buku promosi wisata Hindia Belanda, Java, the Wonderland (1900).
Letusan Semeru
Eksistensi Gunung Semeru sebagai destinasi pariwisata andalan Hindia-Belanda sempat terganggu. Erupsi gunung yang tertinggi di Pulau Jawa itu mengubah segalanya pada 29-30 Agustus 1909. Sebuah bencana alam yang membawa petaka bagi seisi Jawa khususnya, bagi desa-desa di sekitar kaki gunung.
Orang-orang yang kehilangan nyawa karena dampak letusan tak sedikit. Ratusannya orang tercatat meninggal dunia, ada yang menyebut nyawa yang hilang berada dikisaran 208 jiwa, ada pula yang menyebut 500-an Jiwa. Sedang desa yang mengalami kerusakan serius akibat letusan mencapai 38 desa.
Maha dashyat letusan Semeru membuat puluhan ribu penduduk mengungsi. Mereka yang mengungsi kebanyakan telah kehilangan segalanya. Dari keluarga, harta-benda, dan juga sumber penghidupan. Orang-orang pun mengenang letusan Gunung Semeru sebagai De Ramp te Lumadjang: Bencana Lumajang.
Seisi Hindia Belanda pun berduka. Kehadiran bencana alam itu membawa kedukaan yang amat dalam. Apalagi, mereka yang terkena dampaknya tak sedikit. Momentum itulah yang membuat segenap rakyat Hindia-Belanda tergerak nuraninya. Mereka melupakan sejenak permusuhan, utamanya kaum bumiputra dan orang Belanda.
Kaum bumiputra, China, Arab, Belanda, dan etnis lainnya bersatu dalam menggalang bantuan untuk korban Bencana Lumajang. Mereka bersatu karena kemanusiaan dan mendirikan suatu komisi sementara untuk menyalurkan bantuan. tujuannya supaya bantuan dapat terkumpul dan disalurkan.
“Sementara surat-surat kabar Melayu pun ada berdaya upaya akan memperoleh uang derma itu dan terutama surat kabar Perniagaan yang sudah cukup memperoleh derma dari pembacanya lebih kurang 1.000 gulden. Sebagaian pembaca sudah dapat tahu juga bangsa Tionghoa Betawi sudah menyatakan dari dermawannya nyata pada ikhtiarnya Eerste Toneel Vereeniging Opera China di Betawi yang sudah memberi pertunjukan dalam Schouwburg (gedung seni) Thalia di Mangga besar dan pendapatannya kurang lebih 2000 gulden sudah diserahkan pada yang wajib.”
“Lihat ikhtiarnya bangsa Tionghoa ini maka bangsa juga dalam hidup umum sudah dapat sekali dengan bangsa kita ada alamat yang menggirangkan, karena dengan bangsa Anak Negeri sudah berniaga. Pun Budi Utomo tak ketinggalan, di Surabaya kaum pengurusnya sudah pergi mengumpulkan dana buat bahaya itu, ini ada perbuatan yang harus dipuji dan diambil teladan,” ungkap Tirto Adhi Soerjo di surat kabar Medan Prijaji (1909) sebagaimana disusun Iswara N. Raditya dan Muhidin M. Dahlan dalam buku Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers, Pergerakan, dan Kebangsaan (2018).