JAKARTA - Semeru adalah gunung tertinggi di pulau Jawa. Dalam kosmologi Hindu, Semeru diartikan sebagai pusat jagat raya. Orang-orang menjulukinya sebagai gunung tempat bersemayamnya para Dewa. Alhasil, Semeru sering diaktualisasikan sebagai wujud “kebesaran” karena tingginya yang mencapai 3.676 m. Sebagai contoh, eksistensi Semeru tak cuma ada dalam dokumen Belanda. Sebab, Semeru telah hadir dalam naskah kuno, Tantu Pagelaran dari abad 15.
Kehadiran Gunung Semeru dalam naskah Tantu Pagelaran jadi bukti bahwa Gunung Para Dewa penting dalam peradaban di Tanah Jawa. Dalam naskah Tantu Pangelaran, dikisahkan awal mula Gunung Semeru berasal dari India. Kala itu, Pulau Jawa masih terombang-ambing oleh samudera. Dikutip dari Norman Edwin dalam tulisannya di Majalah Swara Alam berjudul Pertapaan Kameswara dan Prasasti di Danau (1992), kedudukan Pulau Jawa digambarkan masih belum mantap pada posisi yang sekarang.
Seketika, Batara Guru --sang penguasa tunggal-- memerintahkan para Dewa dan raksasa untuk memindahkan Gunung Mahameru di India sebagai pemberat. Tujuannya agar Pulau Jawa tidak terombang-ambing lagi. Baik Dewa dan raksasa langsung melaksanakan perintah Sang Batara Guru. Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura yang besar bukan main, lalu menggendong Mahameru. Dewa Brahma mengubah dirinya menjadi ular yang panjang sekali, lalu melilit gunung itu agar bisa ditarik ke Tanah Jawa.
Mahameru kemudian diletakkan di barat Pulau Jawa. Karena tak seimbang, dengan buru-buru mereka memindahkan Gunung Mahameru ke timur. Dalam perjalanannya, beberapa bagian dari Mahameru tercecer dan membentuk gunung-gunung di sepanjang Pulau Jawa. Mahameru pun berhasil ditempatkan di sebelah timur.
“Tetapi masalah belum lagi selesai, karena ternyata Gunung Mahameru itu miring ke arah utara. Diputuskan lah untuk memotong ujung gunung itu, lalu memindahkannya ke barat laut dan diberi nama Gunung Pawitra, Mahameru itu adalah Gunung Semeru, sedangkan Pawitra sekarang dikenal sebagai Gunung Penanggungan,” ungkap Norman Edwin.
Gelar Gunung Para Dewa pun dilegitimasi oleh cerita Gunung Semeru sebagai area pertapaan Dewa Siwa. Untuk memperindah lokasi pertapaan, Dewa Siwa disebutkan membuat sebuah danau untuk pemandian. Konon, danau tersebut adalah Ranu Kumbolo. Kisah-kisah itu juga diperkuat dengan ditemukannya situs purbakala di sekitar Gunung Semeru. Yang paling dikenal adalah prasasti di Ranu Kumbolo dan Arcapada.
Prasasti di Ranu Kumbolo yang berbahasa Jawa kuno diperkirakan telah hadir sejak awal abad 12. Pesan-pesan dalam prasasti berisikan tulisan memperingati kunjungan dari Kameswara, seorang raja dari kerajaan Kediri yang berziarah ke sebuah pemandian suci. Diduga raja pun sempat melakukan pertapaan di kawasan itu.
Pendakian pertama kali
Orang yang berjasa mengenalkan Semeru ke dunia adalah ahli geologi berkebangsaan Belanda, GF Clingnett. Clingnett yang penasaran dengan legenda Semeru menjadi orang pertama yang mendaki gunung itu. Menurut Carel Willem Wormser dalam buku Kemewahan Gunung-Gunung (1928), empunya buku menulis Clingnet mendaki Gunung Semeru dari sebelah barat daya lewat Widodaren pada 19 Oktober 1838. Jalur itu terkenal sebagai jalur pendakian yang sukar. Akan tetapi setelah pendakian Clingnet, pendaki-pendaki Eropa lainnya muncul satu demi satu.
Beberapa di antaranya ada nama seorang ahli botani berkebangsaan Belanda, FW Junghuhn yang telah mendaki Semeru dari utara lewat Gunung Ayek-Ayek, Gunung Ider-Ider, dan Gunung Kepolo pada 1844. Sesudahnya, residen Pasuruan mencoba peruntungan untuk mendaki Semeru. Namun, pihak residen gagal mencapai puncak. Perlahan-lahan Semeru jadi populer.
Kepopuleran itu berkat badan pariwisata bentukan pemerintah Hindia-Belanda (Batavia Vereeniging Toeristenverkeer). Badan wisata dengan akronim BVT itu lalu mencatatkan Semeru sebagai destinasi wisata wajib di kunjungi jika berkunjung ke pulau Jawa. Lewat buku panduannya yang berjudul Java The Wonderland (1900), Semeru menjadi destinasi yang banyak dibahas kala menyebut daerah Jawa Timur.
“Di tengah perjalanan melewati jalanan Moengal (Mungal), sebuah pemandangan luar biasa terlihat dari terbuka di bagian selatan. Di sana kita melihat sebuah puncak gunung, Smeroe (Semeru), berdiri dengan anggunnya, dan berada di bawah kemegahan sinaran menyilaukan matahari pagi. Smeroe terlihat jelas seperti jika kita melukis imajinasi dengan warna-warna hidup melukiskan luas langit yang biru, disertai bentangan hutan yang tertutup cemara hijau,” cerita buku Java The Wonderland.
Untuk mengenang eksistensi Semeru, khalayak umum masih dapat mengakses catatan harian dari Soe Hok Gie dalam buku Catatan Seorang Demostran (2008). Gie yang juga dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa era 1960-an menggambarkan Semeru sebagai tempatnya menemukan kesunyian abadi. Selain itu, kemegahan semeru juga dapat dilihat dari lagu gubahan salah satu Band legendaris Indonesia, Dewa 19 berjudul Mahameru (1994). Berikut penggalan liriknya:
Mahameru berikan damainya
Di dalam beku Arcapada
Mahameru sebuah legenda tersisa
Puncak abadi para dewa.
BACA JUGA:
Letusan Gunung Semeru
Gunung Semeru pertama kali meletus pada tanggal 8 November 1818. Letusan besar berikutnya terjadi pada pada 29-30 Agustus 1909 yang dikenal dengan bencana Lumajang. Kemudian, terjadi lagi letusan besar di tahun 1981 yang menewaskan ratusan penduduk di wilayah sekitarnya. Pada 1942 juga terjadi letusan besar di Semeru. Letusan itu sampai di lereng sebelah timur Semeru pada ketinggian antara 1.400 dan 1.775 meter.
Tahun 1961 terjadi letusan tipe stromboli dengan tinggi abu 3.000 m di atas puncak. Juga di tahun 1963, terjadi lagi awan panas dan aliran lava mencapai 8 km dari kawah. Sejak tahun 1967 aktivitas Gunung Semeru terus bekerja meletuskan abu dan lava.
“Pada letusan biasa, sebuah tiang asap membumbung dengan bergulung-gulung berupa ‘bom’ dan abu mencapai ketinggian 300-600 m, di atas kawah dengan interval letusan 15-30 menit. Pada tahun 1968, pertumbuhan kubah lava terus berlangsung. Terjadi banjir lahar yang membawa korban tiga orang penduduk Desa Sumber Wungkil. Juga pada tahun 1977, terjadi lagi guguran lava yang menghasilkan awan panas, ‘menyerang’ dan menghancurkan beberapa desa,” tulis Cut Dwi Septiasari dalam buku Soe Hok Gie: Sekali Lagi (2009).
Tahun 1978 dan 1981 juga terjadi letusan dan awan panas dengan jarak luncur maksimum 10 km. Pun guguran kubah lava yang menghasilkan awan panas terjadi pada akhir 1990. Atas kejadian itu, kawah Jonggring Seloko. Singkat cerita, pada tahun 1 Desember 2020, warga yang tinggal di lereng Gunung Semeru lagi-lagi harus mengungsi. Langkah itu dijadikan opsi untuk menghindari guguran lava pijar dari gunung api tersebut.