JAKARTA – Sejarah hari ini, 60 tahun yang lalu, 17 Maret 1963, Gunung Agung meletus dengan dahsyatnya. Seisi Pulau Bali pun terancam. Korban yang meninggal dunia mencapai ribuan orang. Pun mereka yang selamat harus menanggung nestapa. Gagal panen, kelaparan, dan harus mengungsi permanen.
Gunung Agung memiliki arti penting bagi warga Bali. Gunung itu dianggap sebagai gunung suci. Sumber kehidupan orang Bali. Sebab, adanya Gunung Agung mampu memberikan kesuburan bagi sekitarnya.
Gunung Agung memiliki pesona yang tiada dua. Gunung itu tak melulu jadi daya tarik pariwisata, tapi juga memiliki arti penting bagi segenap warga Bali. Semuanya karena tindak-tanduk kehidupan warga bali yang berorientasi ke gunung, dibanding ke laut.
Gunung dianggap bagian terpenting dari semesta kehidupan warga Bali. Bak sebuah pelindung dan berkah. Gunung Agung dielu-elukan sebagai muasal tanah di sekitar lereng gunung subur-subur. Tanah itu cocok untuk bercocok tanam yang notabene salah satu profesi yang banyak digeluti penduduk Bali pada zaman Orde Lama.
Kebesaran itu didukung pula oleh anggapan Gunung Agung adalah elemen penting dalam ritus agama Hindu. Gunung Agung disebut sebagai tempat bersemayamnya para dewa-dewa. Alias, istana dewata. Pun kemudian Gunung Agung dianggap keramat oleh warga.
Ia dapat membawa kabar bahagia, juga kabar buruk. Oleh sebab itu, segenap warga Bali menjaga eksistensi Gunung Agung. Apalagi Pura Besakih dihadirkan di sekitar lereng Gunung sebagai penanda kesucian Gunung Agung.
“Hal itu boleh saja dianggap akibat tidak ramahnya tepi laut Samudra Hindia yang dikelilingi oleh batu karang berbahaya serta terjangan arus lautnya yang ganas, yang membuat pelayaran menjadi sulit tapi sekaligus berguna melindungi penduduk dari serangan-serangan asing.”
“Namun alasan yang jauh lebih penting adalah karena ruang sosial Bali diatur oleh sebuah kosmos vang tersusun secara hierarkis, berdasarkan atas pertentangan yang saling melengkapi antara ‘dunia atas’ (kaja) arah gunung dan khususnya Gunung Agung sebagai gunung suci, sumber kesuburan dan kehidupan, persemayaman para dewata dan leluhur-leluhur yang didewakan dan dunia bawah (kelod) satu arah laut, tempat para setan, ditandai penyakit-penyakit dan maut,” ungkap Michel Picard dalam buku Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (2006).
Namun, keindahan Gunung Agung berubah menyeramkan pada 17 Maret 1963. Kala itu, Gunung Agung meletus. Letusannya maha dahsyat. Letusan itu membuat ribuan orang tewas, ribuan rumah hancur, dan 225 ribu orang yang selamat kehilangan mata pencaharian, dan ratusan ribu lainnya mengungsi secara permanen.
Petaka itu tambah parah dengan membuat petani gagal panen, kelaparan, dan muara hadirnya wabah penyakit. Musibah Gunung Agung meletus semakin membuat segenap rakyat Bali sengsara. Apalagi kehidupan di zaman itu mulai terasa serba sulit karena hadirnya resesi ekonomi 1960-an.
“Gunung Agung di Pulau Bali meletus didahului oleh kegiatan-kegiatan luar biasa. Bencana alam nasional ini telah menimbulkan ribuan korban jiwa dan harta benda rakyat yang sangat besar. Pertolongan telah diberikan bukan saja dari pemerintah, tapi dari rakyat Indonesia lainnya, tapi juga dari segenap penjuru dunia.”
“Letusan Gunung Agung yang tingginya 3.142 meter itu dalam tahun ini adalah yang keempat kalinya. Sebelum itu letusan telah terjadi pada tahun 1611, 1843, dan 1917” tulis laporan Majalah Mimbar Penerangan (1963).