Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 43 tahun yang lalu, 15 Maret 1980, mantan Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta. Pemakaman itu dihadiri segenap pejabat negara. Bahkan, Presiden Soeharto juga turut hadir.

Bung Hatta dikenang sebagai orang yang memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara. Ia jadi aktor inti Indonesia dapat merdeka bersama pejuang kemerdekaan Indonesia lainnya. Ia pun mendampingi Bung Karno memimpin Indonesia.

Bung Hatta adalah sosok besar dalam sejarah Bangsa Indonesia. Nyalinya tinggi. Tindak-tanduknya melawan penjajahan tiada dua. Tiada yang ditakutkan oleh Bung Hatta selama kebenaran bersamanya. Laku hidup itulah yang kemudian dibawa Hatta ketika menuntut ilmu di Belanda.

Alih-alih hanya fokus memperoleh gelar sarjana belaka, kepekaannya terhadap kondisi kaum bumiputra yang terjajah justru semakin terasah. Ia tak dapat diam saja melihat kaumnya menderita di Nusantara. Bung Hatta pun menggelorakan perjuangan di Belanda dari tahun 1921 hingga 1932.

Perjuangan itulah yang membuat Bung Hatta merasakan dinginnya temboknya penjara di Belanda. Pun di dalam dinding penjara itu Hatta mampu menelurkan sebuah pembelaan (pledoi) di pengadilan Belanda yang boleh jadi akan diingat sepanjang massa. Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), namanya.

Makam Bung Hatta di TPU Tanah Kusir, Jakarta. (Perpusnas)

Kegarangan Hatta tak lantas berkurang ketika kembali ke Indonesia. Ia kerap merepotkan Belanda. Hatta kerap membakar semangat rakyat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun kewalahan. Satu-satunya opsi yang mereka dapat lakukan adalah penjara dan mengasingkan Hatta.

Ia pernah diasingkan ke Boven Digoel (Papua), dan Banda Neira (Kepulauan Banda). Nyali Hatta tak berkurang. Ia terus berjuang hingga Indonesia merdeka pada 1945. Ia pun didaulat sebagai Wakil Presiden Indonesia yang pertama mendamping Soekarno. Perjuangan itulah yang membentuk pribadi Hatta sebagai tokoh bangsa.  

“Terdapat kesan yang cukup jelas, Hatta menempuh jalan yang cukup lempang dalam kehidupannya. Hal ini dimungkinkan karena bertemunya faktor-faktor yang saling mendukung dalam pembentukan kepribadian dan jalan hidupnya. Latar belakang keluarga dan didikan dalam keluarga telah membentuk Hatta menjadi pribadi beragama yang takwa, tekun, dan berdispiln serta meminati masalah ekonomi.”

“Lingkungan adat dan budaya Minangkabau merupakan lahan yang subur bagi pertumbuhan Hatta, khususnya dalam gairah menambah ilmu, bersikap kritis dan egaliter. Begitu juga suasana masa penjajahan telah menampakkan dengan jelas dan langsung bagi Hatta tentang kondisi memprihatinkan masyarakat dan bangsa,” ungkap Zulfikri Suleman dalam buku Demokrasi untuk Indonesia: Pemikiran Politik Bung Hatta (2010).

Dukungan rakyat Indonesia kepada Bung Hatta mengalir deras. Ia dinilai sebagai sosok panutan, baik secara pribadi maupun sebagai pejabat. Orang-orang mengenalnya sebagai figur yang jujur, sederhana, berani, dan tak gila jabatan.

Dwitunggal Pemimpin Indonesia, Soekarno dan Hatta. (ANRI) 

Buktinya Hatta justru memilih mundur sebagai Wakil Presiden Indonesia karena sudah tak sepaham dengan Bung Karno pada 1956. Ia kemudian tetap aktif memberikan masukan, kadang pula kritik kepada petinggi negara hingga akhirnya hayatnya pada 14 Maret 1980.

Kepergian Hatta kemudian membuat seisi Nusantara berduka. Apalagi kala Hatta dimakamkan –sesuai wasiatnya—di TPU Tanah Kusir, Jakarta pada 15 Maret 1980. Mereka yang ikut melayat bejibun. Pun Presiden Soeharto termasuk salah satu di antaranya.

“Tapi toh Republik Indonesia tiba-tiba seperti kehilangan seorang ayah. Ketika iring-iringan jenazah sepanjang 4 KM itu Sabtu siang melewati Jalan Jenderal Sudirman, ratusan orang berbondong menghormat dan sejumlah orang kampung mengibarkan spanduk putih bercat hitam: Selamat Jalan, Bapakku!"

“Dan ketika tubuh yang berumur 77 tahun itu diturunkan ke liang lahat, di pemakaman rakyat di Tanah Kusir, hujan turun rintik sampai upacara selesai. Buya Hamka, yang memimpin sembahyang di rumah almarhum dan kemudian membacakan doa di makam, menangis di tengah kata-katanya,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Peninggalan Bung Hatta (1980).