JAKARTA - Mohammad Hatta adalah sosok yang penuh inspirasi. Kejujuran dan kesederhanaannya tiada dua. Ia tak pernah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Pun ia rela hidup susah untuk mempertahankan kejujurannya.
Jejak sederhanaan Bung Hatta lalu tertuang sepanjang perjalanan hidupnya. Apalagi setelah ia tak menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Ia tak menjalankan hari-hari pensiun dengan bergelimang harta. Bung Hatta justru hidup nelangsa. Tagihan listrik saja ia kesulitan membayar.
Bung Hatta terlahir dari garis keluarga kaya raya di tanah Minang. Saban hari, segala keinginan Bung hatta kerap dituruti. Namun, kekayaan keluarga tak membuat Hatta besar kepala. Alih-alih melulu memanfaatkan kekayaan keluarganya, Hatta lebih memilih untuk hidup sederhana.
Ia justru mengabdikan dirinya untuk perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia. Waktunya banyak digunakan untuk belajar dan berdiskusi. Tiada tempat untuk foya-foya ala kaum elite berpunya. Kesederhanaan itu dilanggengkannya dari menjadi siswa di Batavia (kini: Jakarta) hingga mahasiswa di Belanda.
Laku hidupnya lurus saja. Ia enggan memuja kesenangan yang berlebihan. Ia tak mau menggunakan uang yang bukan haknya. Satu-satunya yang dipikirkan Hatta adalah cara kaum bumiputra lepas dari belenggu penjajahan.
Perjuangan Hatta dan segenap pejuang kemerdekaan terbalas. Indonesia merdeka dan Hatta kemudian dikenal sebagai Wakil Presiden Indonesia mendampingi Soekarno. Namun, laku hidup Hatta tak banyak berubah.
Sekretaris pribadinya, Iding Wangsa Widjaja mengamini kehidupan sederhana Hatta sebagai orang nomor dua Indonesia. Segala macam kelebihan uang semasa ia menjabat kerap dikembalikan ke negara. Sebab, Hatta merasa sisa uang itu bukan haknya.
“Setiap bulan selalu ada sisa uang untuk anggaran rutin biaya rumah tangga Wakil Presiden Indonesia. Uang itu selalu ia kembalikan ke kas negara. Tokoh yang sangat dihormati ini pun menolak pemberian uang. Pada suatu saat, Bung Hatta menerima undangan untuk napak tilas ke Banda Neira, tempat ia dan para pejuang pernah dibuang pada masa penjajahan.”
“Kegiatan ini diselenggarakan pemerintah, dan karena itu biaya perjalanan dan penginapan ditanggung oleh pemerintah. Namun, saat itu, rupanya ada ‘inisiatif' dari pimpinan setempat. Seorang petugas protokol gubernur datang menemui Bung Hatta dan menyerahkan amplop. Surat apa ini? tanya Bung Hatta. Petugas protokol itu menjawab, Ini bukan surat, tapi uang untuk Bapak. Bung Hatta menolak pemberian uang itu, karena biaya perjalanan dan penginapan sudah ditanggung negara,” ungkap Yudi Latif dalam buku Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan (2014).
Kesulitan Bayar Listrik
Kehidupan Hatta yang sederhana terus bertahan. Bahkan, hingga Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Indonesia karena perbedaan visi. Pengunduran diri itu jadi bukti bahwa Hatta adalah sosok yang tak gila jabatan.
Hatta pun keluar dari rumah dinas Wakil Presiden Indonesia. Ia lalu menempati rumah lamanya di Jalan Diponegoro 57, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana Hatta dan keluarganya hidup dalam kesederhanaan. Ia bertolak belakang dari kehidupan kebanyakan pejabat negara umumnya yang justru menikmati kekayaan di masa pensiun.
Boro-boro menikmati harta, hidup Hatta sehari-hari nelangsa. Ia hanya mengandalkan uang pensiunnya yang kecil untuk menghidupi keluarganya. Padahal, uang itu tak cukup untuk menutup biaya hidup sehari-hari.
Bahkan, uang pensiunnya tak cukup membayar semua tagihan Hatta. Utamanya, tagihan listrik. Sebagai ajian untuk membayar tagihan, Hatta terpaksa mencari pendapatan tambahan dari aktivitasnya mengajar sebagai dosen tamu dan menulis di media massa.
Kondisi berat itu dijalaninya dengan suka cita. Hatta tak mengeluh sedikitpun. Sekalipun ia tetap kesulitan ketika tiba waktunya membayar tagihan listrik. Namun, semuanya berubah ketika kesulitan hidup Hatta sampai ke telingga oleh Ali Sadikin.
Gubernur DKI Jakarta 1966-1977 itu terharu dengan kesederhanaan hidup Hatta. Ia pun bergerak untuk membantu Hatta. Semua karena jasa Hatta yang begitu besar bagi bangsa dan negara. Lagi pula, negara akan durhaka bila membiarkan tokoh bangsanya hidup kesusahan. Segala macam tagihan yang memberatkan Hatta semuanya langsung ditanggung pemerintah DKI Jakarta.
“Beliau mendapatkan kesulitan mengenai pembayaran Perusahaan Air Minum (PAM) dan Iuran Rehabilitasi Daerah (Ireda). Begitu sederhananya hidup pemimpin kita itu. Saya tidak tahu persis berapa pensiun yang beliau terima waktu itu. Tapi dengan adanya kabar demikian yang sampai pada saya, terharu saya mendengarnya. Saya segera mencari akal, mencari jalan apa yang saya dapat perbuat semampu saya untuk membantunya.”
“Maka setelah kami menetapkan bahwa Bung Hatta itu sudah menjadi warga kota Jakarta utama, saya bicarakan masalah yang beliau hadapi itu dengan pegangan bahwa Bung Hatta itu sudah menjadi warga kota utama itu, saya mengusulkan kepada DPRD agar beliau diberi fasilitas, yakni fasilitas air (PAM) dan Ireda, artinya beliau sendiri tidak usah membayar kedua hal itu, dibebaskan dari keharusan membayarnya. DPRD menyetujui,”ungkap Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).