Bagikan:

JAKARTA - Dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap kehadiran kereta api tiada dua. Transportasi massal itu dianggap mampu membawa keuntungan melimpah. Apalagi kereta api digadang-gadang dapat menandai abad baru kemenangan manusia atas jarak dan waktu.

Perencanaan proyek kereta api dilakukan dengan matang. Dari pemilihan ahli hingga komponen kereta. Semuanya diimpor dari Eropa. Ajian itu dilakukan karena Belanda ogah menggunakan komponen kereta api bekas atau berkualitas rendah.

Muara penjajahan yang dilanggengkan pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah perkara keuntungan. Di mana ada keuntungan, dukungan Belanda akan mengikuti. Utamanya, dalam menghadirkan alat transportasi massal yang memadai.

Keinginan itu karena Belanda sejak dulu telah mendambakan sebuah alat transportasi yang mampu membawa barang dan manusia dalam jumlah besar. Semuanya untuk memudahkan Belanda memanfaatkan potensi hasil bumi -kopi hingga tembakau- Nusantara dalam tanam paksa (1830-1870).

Belanda pun putar otak. Untung dari tanam paksa coba diputarnya untuk investasi dalam proyek pengadaan kereta api. Empunya kuasa memandang keuntungan dari hadirnya transportasi massal itu bejibun. Alih-alih hanya uang, kereta api dianggap mampu mendorong perkembangan lainnya, dari pendidikan hingga kesehatan umum.

Pemerintah Kerajaan Belanda sangat serius membangun insfrastruktur kereta api di Nusantara sebagai negeri jajahan. (Wikimedia Commons)

Raja Belanda Williem I lalu mengeluarkan dekrit pembangunan kereta api pertama di negeri koloni pada 1842. Dekrit itu membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda semangat memetakan bakal calon rute kereta api. Sekalipun baru dapat dieksekusi dengan baik 25 tahun setelahnya.

“Sebetulnya, dibutuhkan 25 tahun, setelah dekrit kereta api pertama dari raja untuk Hindia Belanda untuk membangun rel besi 25 kilometer yang pertama di tanah jajahan itu, dan dibutuhkan 10 tahun lagi untuk membangun 300 kilometer berikutnya semuanya di Jawa. Dengan langkah-langkah berat dan lambat, bukan dengan nyaman sebagaimana disarankan oleh Majalah Kopiist, kereta api di Hindia Belanda akhirnya muncul.”

“Pada tahun 1882, menurut kata-kata sebuah komisi khusus dari Indisch Genootschap yang terpelajar: kereta api dan ‘rel-rel kereta kecil,’ yakni trem-trem, juga di Hindia Belanda, terbukti merupakan yang paling bermanfaat dari temuan-temuan sekarang ini, kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban,” ungkap Rudolf Mrazek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).

Impor dari Eropa

Empunya kuasa tak main-main dalam menghadirkan kereta api di Hindia Belanda. Mereka menunjuk insinyur ternama untuk mengawasi jalannya proyek kereta api. Pun segala macam komponen kereta api menggunakan barang yang berkualitas. Alias, tidak ada yang memakai komponen kereta api bekas atau komponen berkualitas rendah.

Semuanya serba baru. Bahkan, Belanda mendatangkan seluruh komponen kereta api dari Eropa. Antara lain peralatas teknis, rel, hingga gerbong. Sisanya hanya beberapa bagian kecil dari komponen kereta yang menggunakan bahan dalam negeri. Ambil contoh penggunaan kayu jati untuk bantalan rel.

Pembangunan jalur kereta api dilakukan dengan penuh keseriusan. Sebab, kereta api dianggap Belanda sebagai investasi paling menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda awalnya tak ingin membagi konsesi kereta api. Namun, mengingat wilayah Nusantara yang cukup luas mereka mulai memberikan konsesi kepada perusahaan swasta.

Kereta api menjadi sarana transportasi yang sangat digemari masyarakat sejak dibangun pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons) 

Alhasil, usaha Belanda menghadirkan kereta api di Nusantara membuahkan hasil. Trayek Semarang-Yogyakarta pun resmi beroperasi pada 1867. Sedang, trayek Batavia-Buitenzorg (Bogor) baru beroperasi pada 1873. Kehadiran dua trayek itu disambut dengan gegap gempita. Lagi pula, empunya kuasa terus bergerak membangun banyak trayek kereta api lain.

“Pembangunan kedua trayek tersebut dilaksanakan di bawah pengawasan umum insinyur kepala J.P. de Bordes, seorang mantan militer berpangkat kapten yang telah berpengalaman membangun jalan kereta api di Negeri Belanda. Sebagai seorang liberalis, serta didukung oleh perusahaan, ia melaksanakan pembangunan tersebut menggunakan vrije arbeid (buruh bebas), di mana ia mencoba menerapkan teknologi konstruksi dari pengalamannya di Negeri Belanda.”

“Seluruh rel dan bantalan baja (sleepers) dan jembatan diimpor dari Eropa. Setelah beberapa lama bekerja, disadarinya bahwa cara yang biasa dilakukan di Negeri Belanda tidak sepenuhnya cocok bagi buruh bumiputra yang postur tubuhnya lebih kecil daripada orang Belanda. Namun setelah beberapa adaptasi maka pelaksanaan pembangunannya pun bisa berjalan lebih lancar,” ungkap M. Sahari Besari dalam buku Teknologi di Nusantara: 40 Abad Hambatan Inovasi (2008).