JAKARTA - Bisnis jual beli minuman keras (miras) adalah usaha yang menguntungkan di Batavia. Peminatnya bejibun. Pun jenis minuman keras yang dihadirkan cukup banyak. Dari bir, gin, hingga arak. Semuanya mudah didapat, asalkan punya uang.
Eksistensi miras itu membuat kebiasan minum miras tumbuh subur. Saban hari orang Belanda melanggengkan mabuk-mabukan. Efeknya ke mana-mana. Mereka kerap mencari sasaran kemarahan. Aksi pengeroyokan kepada budak-budak yang ada, utamanya.
Orang China dan Belanda jadi aktor penting langgengkan bisnis miras di Batavia (kini: Jakarta). Dua suku bangsa itu kerap bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen miras di era Maskapai Dagang Belanda, VOC. Usaha itu laris manis. Alias balik modalnya cepat, untungnya besar pula.
Kehadiran ragam pabrik minuman keras di Batavia jadi buktinya. Dari pabrik bir, gin, hingga arak. Pabrik-pabrik itu meningkat tiap tahunnya. Pun produksinya ikut bertambah. Semuanya karena miras telah menjadi ajian penting dalam tiap ritus hidup warga Batavia, mulai dari kelahiran hingga pernikahan. Tidak boleh tidak ada. Apapun perayaannya, mabuk-mabukan tak boleh ketinggalan.
Kebiasaan mabuk-mabukan itu bahkan muncul dalam upacara pemakaman. Pihak keluarga yang meninggal seraya memiliki kewajiban menyediakan kudapan dan minum keras untuk para pelayat. Namun, kehadiran miras acap kali membawa masalah.
Upacara pemakaman yang notabene dipenuhi kesedihan, berubah jadi medan laga. Orang-orang dalam pengaruh alkohol membuat kericuhan dengan memukul satu sama lain. Pekelahian pun tak terhindarkan. Peristiwa itu kian berulang. Sedang VOC ogah-ogahan melarang peredaran minuman keras yang menyumbang pajak cukup besar.
“Upacara pemakaman harus diakhiri dengan menggelar jamuan makan yang pantas, biasa diparodikan sebagai jamuan pernikahan di pemakaman. Di zaman Batavia itu, umur orang rata-rata tidak terlalu panjang dan pemakaman dilakukan silih berganti, sehingga lama-kelamaan upacara pemakaman berubah berubah dari peristiwa penuh kesedihan menjadi perhelatan gembira.”
“Acara itu penuh gelak tawa dan makan minum kendati sedang dirundung malang. Catatan arsip tahun 1658 bercerita bahwa akibat cukup banyak minuman keras ditenggak pada pesta pemakaman, sering terjadi ulah memalukan dan pertikaian di sekitar makam. Oleh karena itu, dikeluarkan larangan untuk mengkonsumsi minuman keras selama upacara penguburan,” ungkap sejarawan Hendrik Niemeijer dalam buku Batavia: Masyakarat Kolonial Abad XVII (2012).
Pemabuk Siksa Budak
Kebiasan mabuk-mabukan di kalangan orang Belanda tak melulu membawa pertikaian antar sesamanya saja. Kadang kala orang lainnya kerap kena getahnya dari pemabuk-pemabuk Belanda itu. Kalangan budak, apalagi.
Petaka bagi para budak berjumpa dengan pemabuk di jalanan Batavia. Pengaruh alkohol jadi penyebab utama pemabuk Belanda dengan teman-temannya spontan meluapkan emosi kepada para budak yang ditemukan di jalanan. Aksi pengeroyokan tak terhindarkan.
Akal sehat sudah tak digunakan lagi oleh orang Belanda. Pengeroyokan di bawah pengaruh miras terus dilanggengkan sekalipun ada budak yang ada cidera parah. Kuasa ingin membunuh budak pun dikuatkan dengan pandangan orang Belanda yang menganggap rendah kehidupan kaum budak. Alias, mereka melihat nyawa budak tak berharga.
Pengeroyokan budak tak melulu dilakukan di jalanan. Aksi main hakim sendiri kerap dilakukan tuan Belanda yang hobi mabuk-mabukan. Di perkebunan, terutama. Empunya budak yang dalam kondisi dipengaruhi alkohol kerap menyiksa budak-budak, bahkan sampai mati.
Kejadian itu terus berulang. Namun, VOC tak banyak bertindak. Alih-alih memutus mata rantai penyebaran miras, menghukum pemabuk-pemabuk yang melakukan pengeroyokan saja tak mampu. Empunya kuasa baru mau bergerak menghukum ketika yang dikeroyok adalah budak dari pejabat tinggi VOC.
“Ketika para serdadu atau kelasi seperti itu menjadi warga kota Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak dan celaka besar bagi orang-orang malang itu bila jatuh ke tangan mereka, karena mereka akan memaksa budak-budak itu bekerja siang malam tanpa istirahat untuk menghidupi mereka dan diri sendiri, sementara para majikan itu mabuk-mabukan di bar sepanjang hari.”
“Mereka menyiksa para budak yang malang itu dengan begitu kejamnya séhingga sebagian besar merasa putus asa dan bunuh diri. Ada yang gantung diri, ada yang menggunakan besi, ada juga yang terjun ke air di mana kematian tampaknya tak terlalu menyiksa,” ungkap Jean Bastiste Tavernier sebagaimana ditulis Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis (2006).