JAKARTA – Sejarah hari ini, 31 tahun yang lalu, 26 Februari 1992, Menteri Kehutanan (Menhut), Hasjrul Harahap menetapkan Hutan Alas Purwo sebagai Taman Nasional. Penetapan itu dilakukan karena Alas Purwo memiliki ragam fungsi. Dari perlindungan ekologis hingga ruang ilmu pengetahuan.
Sebelumnya, potensi Alas Purwo sudah dilirik jauh hari oleh penjajah Belanda. Mereka kemudian menjadikan Alas Purwo sebagai kawasan Suaka Margasatwa. Sebuah tempat untuk menjaga kelangsungan hidup flora dan fauna.
Hutan Alas Purwo pernah dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi. Alas Purwo diyakini sebagai tempat hidup rakyat Blambangan. Konon, hutan itu ditinggalkan kala perang datang.
Kondisi perang membuat Hutan Alas Purwo bak tak terjamah lagi oleh tangan manusia. Kesunyian itu membuat generasi setelahnya di masa penjajahan Belanda menganggap Alas Purwo angker. Keangkerannya pun diceritakan lewat kisah misteri yang dituturkan turun-temurun.
Belakangan, peneliti Belanda mencoba memutus mata rantai mitos Alas Purwo angker. Rimbawan, J.S. Ham, misalnya. Alih-alih menemukan Alas Purwo angker, hutan itu justru dianggapnya bak surga bagi flora dan fauna.
Ia bahkan meramal potensi alami dari Alas purwa dapat dimanfaatkan untuk banyak hal. Utamanya, untuk kegiatan ekonomis. Hutan itu akan digantikan dengan ladang-ladang atau pabrik milik saudagar kaya raya.
“Adapun bagi orang Eropa seperti Belanda, hutan angker dianggap isapan jempol semata. Pada 1908, seorang rimbawan J.S. Ham berpendapat bahwa hutan angker di Alas Purwo hanya mitos. Dia beranggapan hutan-hutan tersebut akan hilang.”
“Terlebih, Belanda pernah merusak dan menebang hutan angker di Jawa. Pada 1675, misalnya, ditemukan sisa penebangan hutan angker di Jepara oleh VOC, dan pada awal abad ke-19, Belanda mulai menanami kopi di hutan angker tersebut,” ungkap Pungky Widiaryanto dalam buku Taman Nasional Indonesia: Permata Warisan Bangsa (2021).
Pemerintah kolonial pun mulai melirik Alas Purwo. Namun, justru bukan untuk kegiatan ekonomi. Empunya kuasa melirik Alas Purwo bak surga flora dan fauna. Sebab, ada lebih dari 50 hewan yang hidup di Alas Purwo. Belanda meyakini Alas Purwo dapat menjelma sebagai laboratorium hidup yang bermanfaat.
Alas Purwo pun dijadikan Belanda sebagai kawasan Suaka Margasatwa oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer pada 1939. Status itu bertahan dalam waktu yang sangat lama.
Baru kemudian, pada pemerintahan Orde Baru (Orba) Alas Purwo berubah status. Menhut, Hasjrul Harahap melihat Alas Purwo lebih dari sekedar kawasan Suaka Margasatwa. Ia ingin menjadikan Alas Purwo naik kelas jadi Taman Nasional. Hal itu ditegaskan lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 283/Kpts-II/1992 pada 26 Februari 1992.
“Taman Nasional Alas Purwo merupakan kawasan pelestarian alam yang terletak di Kabupaten Banyuwangi. Kawasan ini telah ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO-PBB. Dulunya kawasan Alas Purwo adalah suaka margasatwa.”
“Penetapan itu berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1 September 1939 dengan luas 62.000 ha. Kemudian diubah menjadi Taman Nasional Alas Purwo pada tahun 1992 dengan luas 43.420 ha melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 283/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992,” terang Pandhu Yuanjaya dalam tulisannya di Jurnal Transformative berjudul Antara Pariwisata dan Ekologi: Pengembangan Ekowisata di Taman Nasional Alas Purwo (2020).